Nayla hidup dalam pernikahan penuh luka, suami tempramental, mertua galak, dan rumah yang tak pernah memberinya kehangatan. Hingga suatu malam, sebuah kecelakaan merenggut tubuhnya… namun tidak jiwanya.
Ketika Nayla membuka mata, ia terbangun di tubuh wanita lain, Arlena Wijaya, istri seorang pengusaha muda kaya raya. Rumah megah, kamar mewah, perhatian yang tulus… dan seorang suami bernama Davin Wijaya, pria hangat yang memperlakukannya seolah ia adalah dunia.
Davin mengira istrinya mengalami gegar otak setelah jatuh dari tangga, hingga tidak sadar bahwa “Arlena” kini adalah jiwa lain yang ketakutan.
Namun kejutan terbesar datang ketika Nayla mengetahui bahwa Arlena sudah memiliki seorang putra berusia empat tahun, Zavier anak manis yang langsung memanggilnya Mama dan mencuri hatinya sejak pandangan pertama.
Nayla bingung, haruskah tetap menjadi Arlena yang hidup penuh cinta, atau mencari jalan untuk kembali menjadi Nayla..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erunisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Davin pulang lebih cepat. Entah kenapa, ada rasa tidak tenang sejak siang. Perasaan yang membuat langkah Davin tergesa begitu memasuki rumah. Namun kegelisahannya berubah menjadi kekhawatiran nyata ketika ia tidak menemukan Arlena di mana pun.
"Arlena belum pulang?” tanya Davin pada salah satu pelayan.
Pelayan itu menggeleng. “Belum, Tuan.”
Davin langsung menoleh pada sopir yang biasa mengantar istrinya. “Arlena ke mana?”
“Ke rumah Bu Farida, Tuan,” jawab sopir cepat. “Katanya masih rindu, dan tadi meminta saya menjemput Tuan muda, dan katanya di antar ke rumah saja, Nyonya nanti akan menghubungi saya kalau mau pulang, tapi sampai sekarang nyonya belum memberi kabar.” tambah sopir cepat.
Tanpa berpikir panjang, Davin meraih kunci mobil.
Davin tidak ingin menunggu. Davin takut istrinya hilang, dan Davin langsung menyusul istrinya.
Davin berhenti tepat didepan rumah bu Farida,
Rumah yang tidak berubah, hangat dan sederhana, ada suara tawa dari dalam. Davin yang baru turun dari mobil langsung terdiam di ambang pintu ketika melihat pemandangan yang ia lihat.
Arlena sedang duduk di sofa, kepalanya sedikit mendongak karena tertawa. Tawanya lepas, jujur, tanpa beban. Senyum itu… senyum yang sudah lama sekali tidak Davin lihat.
Dada Davin menghangat sekaligus perih.
"Jadi beginilah wajahnya ketika benar-benar bahagia?" Davin bertanya didalam hati.
Davin berdiri mematung beberapa detik, seolah takut mengganggu momen bahagia istrinya. Hingga akhirnya Arlena menoleh, dan mata mereka bertemu.
Wajah Arlena langsung berubah cerah.
“Mas!” seru Arlena spontan.
Arlena bangkit dan berjalan cepat menghampiri Davin, senyumnya masih sama, bahkan lebih hangat. Tanpa ragu, Arlena menyambut Davin seperti seseorang yang benar-benar merindukan.
“Kamu pulang cepat hari ini?” tanya Arlena lembut.
Davin mengangguk, suaranya sedikit tertahan. “Aku khawatir, aku pulang tapi kamu tidak ada di rumah.”
Farida yang sejak tadi memperhatikan mereka tertawa kecil. “Astaga, Arlena. Suamimu ini kelihatannya benar-benar mencarimu.”
Arlena tersipu. “Aku cuma main sebentar.”
Farida menyeringai nakal. “Sebentar katanya, tapi suaminya langsung menyusul. Kamu sadar nggak sih? Kamu itu punya suami yang sangat mencintaimu.”
Wajah Arlena semakin memerah. Ia menunduk malu, refleks memegang ujung bajunya.
Davin tersenyum tipis, matanya tidak lepas dari istrinya.
“Selama dia tersenyum seperti itu,” kata Davin pelan namun hanya didalam hati, "Aku bersedia menemani kemanapun kamu pergi." kata Davin lagi, tapi tentunya hanya didalam hati.
Arlena menatap Davin, ada getar halus di dadanya. Perasaan yang asing, hangat, dan menenangkan.
Untuk pertama kalinya Nayla merasakan dicintai oleh suaminya, meskipun sekarang dia bernama Arlena, tapi entah apapun itu, Nayla hanya berharap jika ini mimpi Nayla enggan untuk bangun.
Dan Davin juga merasakan hal yang sama, Jika ini adalah perubahan, maka ia akan menjaganya.
Jika ini adalah mimpi, maka ia tidak akan membiarkannya berakhir.
Karena senyum Arlena saat ini
adalah sesuatu yang ingin ia lihat setiap hari, seumur hidupnya.
Davin ikut duduk di sofa, posisinya bersebelahan dengan Arlena. Jarak mereka dekat, cukup untuk membuat Davin menangkap getar halus pada tangan istrinya. Davin tahu, ada hal serius yang ingin istrinya bicarakan, dibalik tawanya yang begitu lepas tadi, baru saja ada rahasia besar yang disimpan.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Davin pelan, suaranya dibuat setenang mungkin.
Arlena menarik napas dalam-dalam. Tatapannya beralih pada Farida, lalu kembali pada Davin. Untuk sesaat, ia ragu. Namun akhirnya ia memilih jujur.
“Mas…Pak Rama itu ayah Nayla,” ucap Arlena lirih.
Davin tertegun. Alisnya sedikit berkerut, tapi ia tidak memotong.
“Dia memalsukan kematiannya,” lanjut Arlena, suaranya mulai bergetar. “Semua orang percaya dia meninggal karena kecelakaan. Padahal itu hanya rekayasa. Dia melakukan itu supaya bisa menikah dengan perempuan lain.”
Farida menunduk. Matanya berkaca-kaca.
“Dan selama bertahun-tahun,” Arlena melanjutkan, “Bu Farida hidup sendiri. Membesarkan Nayla seorang diri. Tanpa tahu kalau pria yang ia cintai… sebenarnya memilih hidup bahagia dengan keluarga barunya.”
Ruang tamu itu mendadak terasa sunyi.
Davin mengepalkan tangannya perlahan. Rahangnya mengeras, bukan karena marah pada Arlena, melainkan pada pria yang tega melakukan semua itu.
“Mas,” kata Arlena lagi, kini menatap Davin penuh harap. “Aku ingin Bu Farida bertemu Rama. Sekali saja. Bukan untuk memohon, bukan untuk memaksa… tapi untuk menutup luka yang terlalu lama terbuka.”
Arlena berhenti sejenak, lalu berkata lebih pelan, “Aku tidak bisa melakukannya sendiri.”
Davin menoleh pada Arlena. Wajah istrinya terlihat begitu tulus, begitu rapuh dalam kejujurannya. Senyum cerah yang tadi ia lihat kini bercampur dengan keteguhan, keteguhan seseorang yang ingin melindungi orang yang ia sayangi.
Tanpa ragu, Davin mengangguk.
“Aku bantu,” katanya tegas.
Arlena terperanjat kecil. “Mas?”
“Aku bantu,” ulang Davin, kali ini sambil menggenggam tangan Arlena. “Bukan cuma karena ini benar. Tapi karena kamu memintanya.”
Farida menutup mulutnya, air mata akhirnya jatuh. “Davin… terima kasih…”
Davin tersenyum sopan. “Bu Farida tidak sendirian.”
Arlena menatap Davin dengan mata berkaca-kaca. Ada kehangatan yang menjalar di dadanya, perasaan aman yang tidak pernah ia rasakan di kehidupan lamanya.
"Begini kah rasanya punya seseorang yang berdiri di sampingku tanpa syarat?" Nayla bertanya didalam hatinya sendiri.
Davin menatap Arlena sejenak lebih lama. Wajah cerah istrinya, yang kini terlihat lega, membuat dadanya menghangat.
Dalam hati Davin berbisik jujur, "Kalau semua ini hanya untuk melihat senyummu tetap ada, aku akan melakukannya berkali-kali."
Nayla sadar satu hal yang membuat dadanya bergetar pelan,
Ia mungkin terperangkap di tubuh orang lain,
namun untuk pertama kali dalam hidupnya,
ia tidak lagi sendirian. Dan Nayla yakin kali ini ia akan menyelesaikan semua masalah.
Davin akhirnya berdiri dan mengulurkan tangan pada Arlena.
“Kita pulang,” katanya lembut, namun jelas tidak memberi ruang untuk ditawar.
Arlena menoleh ke arah Farida. Perempuan itu menatap ke arah Nayla, yang kini berada di tubuh Arlena, Farida kemudian mengangguk.
“Bu…” Arlena tersenyum kecil. “Aku pulang dulu. Nanti kita ketemu lagi.”
Farida mengangguk, meski hatinya seperti enggan melepaskan Arlena. “Hati-hati di jalan.”
Arlena kembali memeluk Farida sebelum akhirnya berjalan ke arah Davin. Tangannya otomatis menggenggam lengan suaminya, gerakan spontan yang bahkan tidak Nayla sadari.
Di dalam mobil, suasana terasa tenang. Lampu jalan memantul di kaca, sementara Arlena menatap keluar jendela, pikirannya berkelana.
“Kamu sudah makan?” tanya Davin tiba-tiba.
Arlena menoleh. “Belum.”
“Kita mampir makan dulu,” ujar Davin.
Arlena mengangguk. “Boleh.”
Tidak ada penolakan. Tidak ada keberatan. Hal sederhana itu justru membuat Davin tersenyum kecil. Ia suka versi Arlena yang sekarang, sederhana, mudah diajak bicara, dan tidak penuh tuntutan.
Mereka berhenti di sebuah restoran yang cukup tenang. Davin membuka pintu untuk Arlena, kebiasaan kecil yang membuat Arlena kembali merasa canggung. Ia masih belum terbiasa diperlakukan seistimewa ini.
Namun kecanggungan itu sirna seketika.
“Arlena?”
Suara itu membuat langkah Arlena terhenti.
Ia menoleh, dan mendapati seorang pria berdiri tidak jauh dari mereka.
Davin langsung menegang.
Refleks, ia melirik Arlena, dadanya mengeras oleh rasa was-was yang tak bisa ia sembunyikan.
Roy… salah satu dari permainan Arlena.
Pria yang dulu pernah singgah dalam hidup Arlena. Pria yang statusnya tidak pernah benar-benar jelas.
Roy tersenyum, senyum percaya diri yang dulu mungkin mampu meluluhkan Arlena. “Kita ketemu lagi.
Namun yang terjadi kini jauh dari yang Roy bayangkan.
Arlena menatap Roy. Tatapan dingin. Sinis. Tidak ada kehangatan, tidak ada nostalgia. Hanya jarak. Dan Nayla bisa menebak pria yang di hadapannya ini adalah Roy.
“Mas,” kata Arlena tenang sambil menggenggam lengan Davin sedikit lebih erat. “Ayo masuk.”
Tidak ada sapaan balasan. Tidak ada senyum.
Bahkan tidak ada satu kata pun untuk Roy.
Arlena melangkah pergi, meninggalkan Roy yang terdiam dengan wajah terkejut.
Davin ikut melangkah, masih sedikit terkejut, namun kali ini bukan karena cemburu, melainkan karena lega.
Di dalam restoran, Davin akhirnya berkata pelan, “Aku kira…”
Arlena menatap Davin. “Aku bukan dia yang dulu.”
Kalimat itu sederhana, namun cukup membuat Davin terdiam.
Davin menatap Arlena lebih lama, seolah ingin memastikan satu hal.
Dan saat itu Davin tahu, perempuan yang duduk di depannya mungkin masih bernama Arlena,
namun hatinya, sudah tidak lagi menoleh ke belakang.
Bagi Nayla, tatapan sinis itu adalah penutup masa lalu.
Bagi Davin, tatapan itu adalah awal keyakinan.
Davin tidak perlu takut kehilangan.
Karena Arlena yang sekarang memilihnya, tanpa ragu, Davin tidak akan melepaskannya.
"Jadi pria itu yang namanya Roy?" tanya Nayla di dalam hati.
"Baiklah, aku juga akan menyelesaikan masalah Arlena dengan pria itu, setidaknya memberi kepastian ke pria bernama Roy itu kalau Arlena sudah sadar." kata Nayla didalam hati.