WARNING❗
CERITA INI BUAT YANG MAU-MAU SAJA.
TIDAK WAJIB BACA JUGA BILA TAK SUKA.
⚠️⚠️⚠️
Setelah hampir satu tahun menjalani pernikahan, Leon baru tahu jika selama ini sang istri tak pernah menginginkan hadirnya anak diantara mereka.
Pilihan Agnes untuk childfree membuat hubungannya dengan sang suami semakin renggang dari hari ke hari.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Debby, sahabat Leon yang sekian lama menaruh rasa yang tak biasa pada Leon.
Badai perpisahan pun tak bisa mereka hindari.
Tapi, bagaimana jika beberapa tahun kemudian, semesta membuat mereka kembali berada di bawah langit yang sama?
Bagaimana reaksi Leon ketika tahu bahwa setelah berpisah dari istrinya, Leon tak hanya bergelar duda, tapi juga seorang ayah?
Sementara keadaan tak lagi sama seperti dulu.
"Tega kamu menyembunyikan keberadaan anakku, Nes." -Leonardo Alexander-
"Aku tak pernah bermaksud menyembunyikannya, tapi ... " -Leony Agnes-
"Mom, where's my dad?" -Alvaro Xzander-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dampak Perceraian
#08
“Tidak, Mommy bilang, tidak boleh menerima pemberian dari orang asing yang tidak kita kenal. Karena mungkin saja dia adalah orang jahat.”
Jawaban Al masih terngiang di kepala Leon, karena tak biasanya ada anak-anak yang menolak diberi ice cream. Lagi pula, dilihat dari sudut pandang manapun, dirinya tak punya tampang penjahat. Justru sebaliknya, baik, dan penyayang anak-anak.
Sayangnya, tadi Leon tak sempat berbincang banyak dengan Al, karena seorang pria datang menjemputnya. Sepertinya pria itu ayahnya.
“Apa Uncle terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak, Uncle baik, apalyagi cuka bawa Mayla pelgi ke minimalket becal. Cudah jelas baik itu.”
Jawaban Mayra ternyata sesuai kebutuhannya, tak mewakili Leon secara personal.
“Itu, sih, maunya kamu,” gerutu Leon.
“Mayra, tadi happy di sekolah?”
“Happy Uncle, cuma itu Al nya nyebelin,” adu Mayra.
Leon hanya menggelengkan kepala heran, masih TK saja, sudah seperti menanggung beban hidup satu dunia. “Memang semenyebalkan apa, sih, dia?”
Mendadak Leon penasaran, ada rasa yang menggelitik dalam dirinya. Mungkin karena Al berbeda, tak seperti anak-anak pada umumnya. Dan bahasa inggrisnya cukup fasih untuk anak seusia dia.
“Pokona gitu lyah, malyas kali diliku celyita, Al telalyu milyip cama ci kembal di lyumah.”
Leon pun tak melanjutkan perkataan, hanya kembali teringat bagaimana sorot mata Al yang tajam kala menatap wajahnya. Membual Al semakin terlihat mirip dengan seseorang, tapi siapa?
Dada Leon berdebar kala membayangkan tatapan Al, perasaan macam apa ini, kenapa hanya gara-gara Al, mendadak ada debaran halus menyusup ke bilik jantungnya? Leon terus membawa rasa penasarannya.
Sementara itu, Al sudah tiba di toko yang akan menjadi ladang bisnis baru sang Mommy. Agnes tengah mengarahkan para tukang yang sedang sibuk membereskan bangunan tua tersebut.
Meski para pekerja mengatakan struktur bangunan masih kokoh, tapi Agnes tak mau ambil resiko, jadi ia nekat membangun ulang banguan tersebut, agar usahanya bisa memiliki prospek masa depan yang jauh lebih lama.
Agnes membeli bangunan dan tanah tersebut dengan harga murah untuk ukuran tempat strategis di ibu kota. Bisa dibilang toko kue ini adalah impian Mama Wina dan juga impian Agnes sendiri.
“Mom!”
Agnes menolah, dan segera berjongkok menyambut kedatangan Al, “Anak Mommy sudah pulang,” sambut Agnes seraya mencium kedua pipi Al, kemudian memeluknya erat.
“Sudah punya berapa teman baru?” tanya Agnes.
“Baru satu, tapi perempuan merepotkan.”
“Heh?” Agnes tercengang dengan jawaban Al, namun, melihat Al cemberut, Agnes pun mengalihkan pembicaraan.
“Mau makan siang?”
“Nanti, Mom.”
Al melengos kemudian berjalan memasuki bangunan yang akan menjadi tempat, “Awas, Al, masih banyak cat dan banyak bahan bangunan berceceran.”
“Iya, Mom.”
Rama terlihat sedang berbincang dengan mandor bangunan, “Mas, sepertinya Al sedang Bete.”
“Iya, tapi sedikit, tadi aku sudah tanya pada ibu gurunya, hanya masalah dengan teman satu kelompoknya.”
“Oh, terima kasih, ya, Mas. Sudah membantuku.”
Rama menatap sang kekasih dengan tatapan lembut, “Al sudah seperti anakku sendiri, jadi kamu tak perlu berterima kasih. Oh, iya, besok aku harus ke luar kota, melihat pembangunan cabang baru. Kamu bisa sendiri mengantar jemput Al?”
“Bisa, jangan khawatir. Tadi agen penyalur ART sudah menghubungiku, hari ini ART baru sudah datang.”
Rama bernafas lega, “Syukurlah, aku jadi tenang, karena tak tega meninggalkan mamamu di rumah sendirian, apalagi harus menjemput Al.”
“Sebenarnya aku ingin membawa kalian, sekalian kita membicarakan persiapan pernikahan dengan orang tuaku.”
Agnes tersenyum tipis, sebenarnya ia pun belum siap bertemu dengan orang tua Rama, karena hatinya belum yakin seratus persen. Tapi menunda terlalu lama juga tak baik untuk psikologis Al, yang melihat ibunya menjalin hubungan dengan pria yang bukan ayah kandungnya.
“Aku percayakan semua pada Ibu, biar beliau yang mengatur.”
“Kamu, tak ingin apa gitu, di hari pernikahan kita?”
“Seperti baru pertama menikah saja, kita berdua sudah pernah gagal di pernikahan pertama, jadi untuk yang kedua, tak ada sesuatu yang kuharapkan selain rumah tangga yang awet dan harmonis.”
Bukannya senang, Rama justru cemburu mendengar jawaban Agnes.
“Inilah yang tak aku suka darimu,” gerutu Rama.
Agnes tercengang, “Kenapa? Ada yang salah?”
“Kamu, sih. Tak mau memanfaatkan uangku sebaik mungkin, padahal mantan istriku dulu membuatku hampir gulung tikar ketika kami berpisah.”
Agnes melirik sinis. “Karena tanpa uang darimu, aku sudah mahal, Tuan Rama.” Agnes pun melangkah masuk menyusul Al yang entah sedang mengerjakan apa, di dalam sana.
Jangankan menghamburkan uang dari calon suami, dulu saja ketika berpisah, Agnes menolak semua pemberian gono-gini dari suaminya. Bahkan Agnes meninggalkan cincin pernikahan, serta semua perhiasan yang pernah dihadiahkan mantan suaminya di kamar sesaat sebelum benar-benar pergi meninggalkan London.
***
“Bye, Uncle, tencu cudah bagi banak jajan buat Mayla.”
“Sama-sama, jangan lupa, kasih hadiah yang tadi Uncle belikan untuk Al.”
“Cemua belyes, acal becok dibawa pelgi bolyong jajan lyagi di minimalket becal,” ujarnya mengajukan syarat kembali.
Leon hanya bisa tersenyum mendengarnya, gemas, tapi juga heran dengan tingkah keponakan kecilnya tersebut. Entah bagaimana nanti bila anak Kenzo lahir, apakah juga akan rempong seperti Mayra?
“Habiskan dulu 3 kantong besar itu,” seloroh Leon, namun, Mayra menyeringai, kemudian kembali masuk kedalam rumah.
“Ye… cenangnya dili ini punya banyak uncle yang duitna banak kayak petik daun, becok minta bolyong jajan cama uncle yang mana lyagi, ya?”
Setelah mengantar Mayra, Leon kembali ke mobil, sebelum kembali melaju, ia membuka dashboard mobilnya, dan mencari obat yang biasa ia konsumsi.
“Ternyata sudah habis,” monolog Leon.
Leon pun menjalankan mobilnya menuju tujuan berikutnya, padahal ini satu-satunya hari libur yang ia miliki selama seminggu, karena esok ia sudah harus berhadapan lagi dengan pasien. Tapi ia harus rela menghabiskan jatah liburnya untuk mendatangi psikiater.
“Apa Gendis ada?” tanya Leon pada resepsionis.
“Ada, Dok. Beliau sudah menunggu Anda.”
Sang resepsionis pun mengantar leon ke ruangan Gendis, “Terima kasih.”
“Sama-sama, Dok.”
Dokter Gendis sudah menunggu dengan senyuman ramah seperti biasa, Leon langsung merebahkan tubuhnya di salah satu sofa malas, seperti sedang berada di kamarnya sendiri, karena sudah terlalu sering ia mendatangi ruangan Dokter Gendis untuk berkonsultasi.
“Bagaimana perasaanmu hari ini?” Tanya Dokter Gendis, wanita itu pun pindah ke sofa yang berada tepat di seberang Leon.
“Seperti biasa, hampa, kosong, rongga itu tak pernah terisi sepenuhnya kendati aku sudah berusaha menenggelamkan diri dengan berbagai rutinitas di tengah keluargaku.”
“Bahkan aku juga sudah menjalankan tips yang kamu berikan, beberapa kali hiking ke gunung, tapi tetap tak memberi dampak apa-apa.”
Sepanjang bercerita, leon memejamkan mata, mencoba merilekskan pikirannya sendiri. “Apa aku harus berhenti mendatangimu juga?”
Dokter gendis tergelak, beberapa tahun menangani Leon, membuat hubungan mereka akrab seperti teman. Bukan lagi seperti dokter dan pasiennya.
“Lakukan saja, aku senang bila itu terjadi. tapi dengan syarat kamu harus berhenti minum obat anti depresan.”
Leon membuka mata dan menatap gendis dengan tatapan kesalnya.
Beberapa tahun yang lalu, Leon mengalami patah hati hebat setelah Agnes pergi meninggalkannya. Padahal mereka sudah bercerai, tapi Leon belum siap ketika sebagian dari jantung hatinya pergi meninggalkannya.
Keluarga besar pun mengupayakan jalan agar mereka bisa kembali bersama, tapi Leon menolak. Dan memilih menjalani takdir hidupnya seorang diri tanpa pendamping lagi.
Leon bahkan cuti satu tahun sebelum bisa kembali ke rumah sakit lagi, serta masih harus mengkonsumsi obat bila gejala depresinya muncul.
Bila Agnes berjuang dengan kesulitan bertahan hidup, maka Leon berjuang untuk menata kembali emosi dalam dirinya setelah porak poranda akibat badai perceraian.
ikutan perih ei.....
Apa Leon baru tersadar jika Agnes duduk di pelaminan sama Rama
kasihan kali kau leon, gak tahu apa-apa tapi seolah semua kesalahan tertimpa padamu... kamu yg ditinggalkan, ditolak, dan harus menanggung rasa sakit sendirian... huhuhu, sakit sakit sakitnya tuh di sini... kezaaaammm kezaaaammm, othor tega bikin ibu menangisss😭