carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
“Pa, makasih ya, sudah selalu sayang sama Carol. Padahal adanya Carol membuat Papa jauh dari Mama dan juga keluarga Papa.”
Anton yang mendengar itu merasa betapa jahatnya dirinya karena sempat menganggap anaknya dengan pikiran yang aneh-aneh.
Padahal maksud Carol, dirinya senang bisa dibesarkan Anton dan selalu menganggap Anton sebagai papanya.
Tapi Anton sendiri tidak pernah jujur kepada Carol bahwa dirinya bukan papa kandung Carol.
Apa aku harus mencari papa kandung Carol agar dia merasa lebih nyaman dan aman dibanding bersama aku?
Tapi Anton tidak rela jika Carol diambil orang lain. Ia takut Carol tidak bisa menerima kenyataan dan membencinya.
Lantas, apa jalan yang harus Anton pilih agar Carol mengerti apa yang ia mau dan apa yang bisa mereka jalankan ke depannya?
“Carol…”
Saat Anton ingin jujur, Carol malah sudah tertidur. Memang bukan waktu yang tepat untuk Anton berbicara.
Carol baru saja mengalami masalah, masa Anton mau menambah masalah Carol? Bukankah itu hanya akan membuat Carol makin stres?
Anton lalu membawa Carol ke kamarnya dan menidurkannya. Namun tiba-tiba Carol menangis.
Anton bingung, ada apa dengan Carol? Apakah Carol bermimpi buruk?
Anton menggenggam tangan Carol.
“Tenang, sayang. Ada Papa di sini. Kamu jangan merasa takut,” ucapnya lembut sambil mengusap kepala Carol.
Anton naik ke kasur Carol, lalu mendekapnya. Carol menurut saja saat Anton memeluknya.
Anton bingung, apakah perbuatannya ini salah atau tidak. Tapi saat ini Carol sangat membutuhkan dirinya.
Anton tak ingin mengecewakan hati Carol kalau tidak mau dilupakan oleh anak itu.
Anton merasa senang bisa bekerja di rumah tanpa gangguan. Ia merasa bisa menghabiskan banyak waktu bersama Carol.
Impian Anton tercapai, tapi Carol justru jadi begini karena guru yang tidak bertanggung jawab di sekolahnya.
Walau guru itu sudah diusir oleh Anton, tetap saja tidak menutup kemungkinan guru lain juga akan mengganggu anaknya.
Anton ingin memindahkan sekolah Carol, tapi ia ingin mendiskusikannya dulu agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Takutnya, saat Anton antusias, Carol justru merasa tertekan.
Anton selalu ingin yang terbaik untuk Carol. Baginya, kalau bukan yang terbaik, untuk apa repot-repot dilakukan?
Ia berharap bisa menjadi papa yang dapat diandalkan, bukan papa yang gagal.
Tring!
Handphone Anton berdering. Nomor tidak dikenal. Anton bingung siapa yang menelepon, tapi ia tetap mengangkatnya.
“Halo, ini siapa?”
“Sayangku, anakku, ini Mama. Sayang, kamu apa kabar?”
“Maaf, dengan siapa saya berbicara?”
“Ini Cindy, sayang. Mama kamu.”
Anton terdiam. Ia tidak percaya. Nomor itu memang nomor mamanya, tapi setahunya, mamanya dulu tidak pernah punya handphone saat Anton masih tinggal di rumah orang tuanya.
Anton bingung, ada apa mamanya menelepon. Biasanya kalau mamanya menghubungi, pasti untuk marah-marah.
Anton mencari nomor itu di aplikasi, dan benar, nama mamanya muncul.
“Kenapa, Ma?”
“Kamu apa kabar, sayang? Mama mau ketemu kamu. Apa boleh besok Mama ketemu kamu?”
“Baik, Ma. Nanti aku minta pengawal jemput Mama. Mama mau ketemu di mana?”
“Ketemu di Kafe B, nanti kita bicara di sana.”
Anton mengiyakan lalu mematikan telepon. Dalam hati, ia masih bingung dengan maksud mamanya.
Anton keluar dari kamar Carol dan sempat mengecek anaknya lagi. Setelah memastikan Carol tidur pulas, ia tersenyum.
Carol terlihat lucu saat tidur — seperti anak kecil yang sulit lelap. Anton lalu pergi ke kamarnya, mengambil minum dari kulkas mini, dan melanjutkan pekerjaan.
Namun tak lama, rasa lelah mulai terasa. Hari ini benar-benar melelahkan.
Anton akhirnya memutuskan untuk tidur lebih awal agar bisa menjaga kesehatan.
Keesokan paginya, Anton bangun dan bersiap untuk bekerja, sementara Carol bangun dan bersiap untuk sekolah.
Namun tubuh Carol gemetar. Ia takut dan bingung bagaimana cara menghadapi sekolah hari ini.
“Sayang, kamu nggak perlu ke sekolah dulu. Papa tahu kamu lagi nggak mood. Papa sudah minta izin ke kepala sekolah, kamu boleh sekolah di rumah dulu, ya.”
“Papa beneran? Tapi aku takut nanti teman-temanku nggak suka sama aku. Mereka tahu aku punya uang, nanti mereka semena-mena sama aku, Pa.”
“Tenang, sayang. Lagian, mana ada yang berani sama anak Papa yang cantik ini.”
Tok tok tok!
Pintu rumah berbunyi. Carol bingung, siapa yang datang pagi-pagi? Tak lama, terdengar suara gaduh dari luar.
“Pak, saya mau ketemu pacar saya! Kenapa nggak boleh, Pak? Pacar saya lagi butuh dukungan saya!”
Carol kaget mendengar suara itu. Mario? Kenapa bisa ada di rumahnya?
Padahal Carol tidak pernah memberi tahu siapapun alamat rumahnya. Apa Mario diam-diam mengikuti aku? pikirnya.
Tiba-tiba, tubuh Carol gemetar hebat tanpa bisa berkata apa-apa.
Anton yang melihat itu langsung menggendong Carol masuk ke kamar. Para pengawal sudah berjaga, jadi rumah aman.
Anton duduk di tepi ranjang dan menatap Carol.
“Sayang, kamu mau jalan-jalan aja, ya? Biar kamu nggak takut lagi. Papa nggak tega lihat kamu kayak gini. Papa juga nggak tenang kalau harus kerja dan ninggalin kamu.”
“Kalau Papa sibuk, nggak apa-apa. Papa keluar aja urusin urusan Papa. Carol nggak apa-apa, Pa. Maafin Carol, ya. Carol sudah jadi beban Papa. Carol nggak seharusnya nyusahin Papa begini.”
Anton hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa.
Tak lama, handphone-nya berdering lagi — dari klien. Ia mengangkatnya di depan Carol, sementara Carol asyik bermain dengan ponselnya sendiri.
Sesekali Anton memeluk Carol, agar anak itu tidak merasa sendiri.
Carol berusaha tenang agar tidak mengganggu Papa-nya yang sedang bekerja.
Setelah telepon selesai, Anton menatap Carol. Anak itu hanya diam dan tersenyum kecil.
Sekretaris Anton masuk.
“Apa, orang gila itu udah pergi.”
“Sudah, Pak. Sudah kami usir. Tenang aja.”
Anton menatap Carol lagi.
“Kamu mau jalan-jalan ke mana, sayang?”
“Ke mana aja, yang penting sama Papa.”
Anton tersenyum. Betapa baiknya anaknya itu.
Tak lama kemudian, nomor tak dikenal kembali menelepon. Anton kesal, merasa terganggu, lalu memutuskan untuk tidak mengangkatnya.
Daripada terganggu, ia memilih pergi jalan-jalan bersama Carol.
Setelah berjalan-jalan, raut wajah Carol berubah menjadi lebih cerah. Anton merasa tenang.
Ia berharap Carol selalu bahagia seperti itu, agar ia tahu apa yang dibutuhkan putrinya.
Baginya, kalau bisa dilakukan demi Carol, kenapa tidak?
Setelah sampai di tempat tujuan — taman dengan banyak wahana permainan — Carol berseru kegirangan.
“Wow! Papa ajak aku ke sini? Nggak salah, Pa?”
“Nggak, sayang. Kenapa? Kamu nggak suka ya?”
“Bukan nggak suka, Pa… tapi aku terlalu suka sampai bingung mau main yang mana dulu. Aku boleh naik semua wahana, nggak, Pa?”
“Boleh, kenapa nggak. Semuanya boleh, sayang. Papa nggak bakal larang kamu. Bahkan kalau kamu marah pun, Papa nggak tega.”
Carol langsung bermain body rafting. Bajunya basah kuyup, tapi Anton tidak berkata apa-apa.
Ia sudah janji tidak akan marah, karena semakin banyak ia marah, semakin Carol membangkang.
Anton hanya diam menunggu Carol selesai bermain, sementara sekretarisnya mengirimkan jadwal kerja.
Carol tahu Papa-nya sibuk, lalu menghampirinya. Anton menatap anaknya dengan senyum hangat.