Ini bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang pengkhianatan tak berujung, tentang pengorbanan dan harapan yang gagal untuk dikabulkan.
Angelika Sinnata. Cantik, anggun, berparas sempurna. Sayangnya, tidak dengan hatinya. Kehidupan mewah yang ia miliki membuat dirinya lupa tentang siapa dirinya. Memiliki suami tampan, kaya dan penuh cinta nyatanya tak cukup untuk membuat Angelika puas. Hingga ia memilih mengkhianati suaminya sendiri dengan segala cara.
Angelina Lineeta. Cantik dan mempesona dengan kesempurnaan hati, sayangnya kehidupan yang ia miliki tidaklah sesempurna Angelika.
Pertemuan kembali antara keduanya yang ternyata adalah saudara kembar yang terpisah justru membuat Angelina terjebak dalam lingkaran pernikahan Angelika.
Apa yang Angelika rencanakan? Dan mengapa?
Lalu, apa yang akan terjadi dengan nasib pernikahan Angelika bersama suaminya? Akankah tetap bertahan?
Ikuti kisah mereka...!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Pertemuan dengan Alan.
Dean segera membawa langkahnya mendekat pada Angelika begitu melihat wanitanya keluar dari bandara, menarik wanita itu masuk ke dalam pelukannya dan mendekapnya erat, bahkan memberikan ciuman di bibir wanita itu serta menyesapnya lembut.
Angelika menerimanya, membalas tanpa ragu, seakan tidak peduli sedang di mana mereka berada saat ini. Ciuman yang Dean berikan selalu berhasil membuat dirinya terlena, jauh berbeda dengan ketika suaminya yang melakukan itu padanya.
"Aku merindukanmu," bisik Dean di telinga Angelika yang membuat wanita itu tersenyum
"Aku hanya pergi dua hari, Dean," Angelika terkekeh pelan setelah Dean melepaskan ciumannya.
"Dua hari seperti selamanya bagiku," sahut Dean melingkari pinggang Angelika, lalu menariknya mendekat dan memberikan kecupan cepat di bibir.
"Begitukah?" Angelika tersenyum, lalu melingkarkan kedua tangannya ke leher Dean, menarik wajah pria itu mendekat.
"Lalu, kenapa tidak kamu tunjukkan saja seberapa besar kamu merindukanku," bisiknya menggoda.
Seringai tipis terbentuk di bibir Dean, mendekatkan wajahnya pada wajah Angelika hingga ia bisa merasakan hembusan napas hangat wanitanya menyapu wajahnya.
"Kuharap, kamu tidak menyesal sudah mengatakan itu," jawab Dean yang segera menarik wanitanya menuju tempat di mana ia memarkirkan mobil, membawa wanita itu ke apartemen miliknya.
.
.
.
"Sayang... Coba lihat siapa yang datang bersamaku."
Suara Leon segera menarik perhatian Angelina yang saat itu tengah duduk bersandar di atas tempat tidur menatap ke luar jendela menoleh ke arah pintu, mendapati pria itu kembali datang setelah beberapa saat lalu berpamitan untuk pulang sebentar.
Leonardo Sylvain, nama yang pria itu sebutkan pada Angelina setelah ia dinyatakan mengalami amnesia retrograde yang mana sebagian memori di dalam dirinya hilang akibat benturan di kepala yang ia terima saat kecelakaan.
Tentu saja hanya Angelina dan dokter itu saja yang tahu bahwa amnesia itu tidaklah benar, semua itu adalah bagian dari rencana Angelika yang tidak bisa Angelina ungkapkan. Yang membuat ia tidak mengerti adalah, mengapa Angelika melakukan itu semua dan kemana Angelika pergi?
Sudah dua hari ini ia menghadapi Leon dalam diam, memainkan perannya dengan tidak terlalu banyak bicara. Kesabaran, kelembutan dalam bersikap dan bertutur kata, sudah cukup untuk membuat Angelina menyadari bahwa Leon sangat mencintai Angelika. Tetapi, mengapa Angelika meminta dirinya untuk menggantikan posisinya?
Begitu banyak pertanyaan yang tidak bisa ia jawab, hingga ia memilih untuk mencoba untuk mengenal pria itu secara perlahan guna menyempurnakan perannya sebagai Angelika.
"Kemarilah Son, sapa Mommymu," Leon kembali berkata dengan pandangan tertuju ke balik dinding di samping pintu.
Angelina mengarahkan pandangan ke arah yang sama, menunggu, mencari jawaban siapa yang datang bersama Leon. Sesaat kemudian, seorang bocah laki-laki menjulurkan kepalanya, menatap Angelina.
"Ayo," ajak Leon menarik lembut tangan kecil bocah itu mendekat ke tempat di mana Angelina duduk.
Seiring dengan jarak yang kian terkikis antara Angelina dengan bocah itu, Angelina kembali dibuat terpana dengan paras tampan dari bocah itu setelah sebelumnya ia sempat terpana melihat ketampanan Leon.
Berbeda dengan Leon yang memiliki rambut hitam, bocah itu memiliki rambut coklat yang tampak begitu indah di mata Angelina, memiliki wajah menggemaskan yang sedikit tertutup karena bocah itu terus menundukkan kepala . Dan ketika bocah itu sampai di samping tempat tidur serta mengangkat wajah yang membuat pandangan mereka bertemu, barulah Angelina sadar, ada sorot ketakutan yang begitu besar di mata bocah itu.
Bocah itu kembali menunduk dengan gerakan cepat, menyatukan kedua tangan di depan tubuhnya, sedikit gemetar, dan semua itu luput dari perhatian Leon. Hal yang membuat Angelina bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga Angelika.
"Sayang..." Leon berbicara lembut, mengangkat bocah itu ke gendongannya hingga Angelina bisa memandang wajah bocah itu lebih dekat.
"Dia Alan. Alan Lex Sylvain, putra kita," ungkap Leon dengan senyum menggembang, berharap Angelina yang ia pikir adalah Angelika memberikan reaksi setelah melihat putra mereka.
Angelina hanya bisa diam, tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain memberikan tatapan asing pada bocah itu. Hatinya bimbang, haruskah ia memainkan peran yang akan menyakiti banyak orang? Tetapi ia juga tidak ingin ibunya celaka.
"Hari ini, kedua orang tua kita juga akan datang," Leon kembali berbicara, menutupi getir yang hatinya rasakan melihat istrinya tidak mengenali putra mereka.
"Sebenarnya, mereka ingin datang di hari saat kamu sudah sadar, tapi aku melarang mereka dan meminta mereka menunggu sampai kondisimu stabil," ucap Leon seraya menurunkan putranya untuk duduk di kursi di samping tempat tidur.
"Kuharap, kamu tidak marah,."
Angelina menggeleng, tersenyum. "Terima kasih."
Leon tersenyum, mengusap lembut pipi istrinya. Sesaat ia merasakan ada yang berbeda dari senyuman yang ia lihat dari istrinya, senyuman lembut yang tidak pernah ia lihat sejak ia mengenal Angelika pertamakali. Namun, perhatiannya segera teralihkan saat ponselnya tiba-tiba berdering, membuat pria itu segera mengeluarkan ponsel untuk melihat siapa yang menghubunginya.
"Dari Esteban," ungkap Leon seraya menunjukkan layar ponselnya pada sang istri.
"Dia asistenku, aku akan menjawab panggilannya sebentar," ucap Leon lagi yang mendapat anggukan dari Angelina.
"Kamu tetap di sini," sambung Leon beralih pada putranya.
Alan mengangguk patuh, tetapi tidak melepaskan pandangannya dari sosok sang ayah meski pria itu sudah menghilang di balik pintu.
"Alan..."
Panggilan itu terdengar lembut, tetapi sukses membuat Alan tersentak dan segera menoleh pada Angelina, menundukkan kepala dalam-dalam.
"Maaf, Mom. Aku lupa memakai topi. Daddy bilang, Mommy sakit, jadi aku ingin melihat Mommy," ucap Alan lirih.
Kerutan tipis segera terbentuk di dahi Angelina begitu ia mendengar jawaban yang dilontarkan Alan. Suara dari bocah itu sangat jelas bahwa bocah itu merasa takut, tapi karena apa Angelina belum bisa merabanya.
"Angkat wajahmu," pinta Angelina lembut.
Alan mengangkat wajah, mengerjap dengan sorot tidak percaya di mata jernih itu. Seakan ia sedang berhadapan dengan wanita yang bukan ibunya.
"Kemarilah," pinta Angelina lagi seraya menepuk sisi tempat tidur di sampingnya.
Alan menatap Angelina dengan sorot ragu, lalu menunduk lagi.
"Aku janji akan memakai topi setiap akan bertemu, Mommy. Hari ini aku lupa," ucap Alan mulai gemetar.
"Kenapa harus memakai topi?" tanya Angelina hati-hati.
"Karena... Karena Mommy tidak suka aku memiliki rambut yang sama dengan Mommy," jawab Alan.
Angelina memejamkan mata sejenak. Entah mengapa hatinya sakit mendengar jawaban polos bocah laki-laki di depannya. Apa yang Angelika lakukan terhadap Alan hingga membuat bocah itu menjadi setakut itu hanya untuk menatap ibunya sendiri.
"Kemarilah." Angelina mengulang permintaannya, menepuk sisi kosong di tempat tidur.
Alan bangun dari duduknya, menggunakan kursi yang ia duduki sebagai pijakan untuk naik ke tempat tidur dan duduk di tempat yang Angelina minta.
"Rambutmu indah," ucap Angelina lembut seraya mengusap penuh kasih kepala Alan. "Jadi, tidak perlu ditutupi."
Alan mengerjap pelan, menatap lekat wajah ibunya yang kini bersikap lembut padanya. Bayangan saat sang ibu selalu marah padanya disaat ia tidak melakukan kesalahan dan menjadikan warna rambut sebagai alasan berputar di depan matanya. Akan tetapi, kini sedikit terkikis dengan kelembutan sang ibu yang tidak pernah ia dapatkan.
Angelina tersenyum, menarik gemas hidung bocah laki-laki di depannya.
"Apa yang kamu lihat?" tanya Angelina.
Alan tidak memberikan jawaban, tetapi tangan kecilnya terulur menyentuh dahi Angelina yang terbungkus perban, entah dari mana keberanian itu datang, ia tidak tahu.
"Apakah ini sakit?" tanya Alan polos.
"Tidak," Angelina menggeleng, menurunkan tangan kecil itu dari dahinya.
"Boleh aku memelukmu?" pinta Angelina kemudian.
Satu kalimat itu membuat Alan membeku sejenak, tapi kemudian segera memeluk erat ibunya, menyembunyikan tangis yang tidak Angelina sadari dengan rasa bahagia akhirnya ia bisa memeluk sang ibu untuk pertama kali.
. .. .
. . . .
To be continued...