Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.
Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 / THTM
Suara panci dari dapur bergema samar, bercampur tawa kecil pelayan yang sedang menyiapkan sarapan. Aroma roti panggang menyebar ke seluruh lorong rumah besar itu. Pagi di rumah ini terasa riuh dan hangat, tapi tidak bagi Nayara. Setiap langkah menuju ruang makan terasa seperti meniti ujung pisau.
Ia baru saja mengambil buku catatan yang tertinggal di ruang belajar Elara saat tubuhnya menegang. Di ujung lorong, sosok itu sudah berdiri — tinggi, tenang, dan menatapnya dengan tatapan yang membuat udara sekitar seolah membeku.
Alaric.
Ia baru turun dari tangga, masih mengenakan kemeja hitam yang kancing atasnya belum sepenuhnya tertutup. Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh — waktu di mana Nayara seharusnya sudah bersiap berangkat ke sekolah bersama Elara. Tapi sekarang, langkahnya berhenti.
“Kau terlihat buru-buru,” suara Alaric terdengar ringan, tapi ada tekanan halus di balik nada datarnya.
Nayara menggenggam buku di dadanya. “Iya, Kak. Aku mau ngambil buku Elara… mau berangkat sekolah.”
Alaric menatapnya beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya. “Sekolah ya…” ia mengulang perlahan, seolah mempertimbangkan sesuatu yang hanya ia tahu. “Anak seumurmu memang seharusnya sibuk belajar. Tapi… belajar juga tentang tanggung jawab, bukan?”
Nayara menelan ludah, hatinya berdetak cepat. “Maksud Kakak?”
Alaric melangkah mendekat sedikit, suara langkah sepatunya tenggelam di antara derit pintu dan suara pelayan yang lewat membawa nampan. Tapi meskipun ramai, dunia Nayara seperti menyempit di antara tatapan mereka.
“Aku pikir kau cukup pintar untuk tahu maksudku,” katanya pelan. “Ada hal-hal yang tidak bisa kau abaikan begitu saja, Nayara. Beberapa rahasia, kalau tidak dijaga, bisa melukai banyak orang.”
Gadis itu mencoba tersenyum sopan, tapi wajahnya pucat. “Aku… nggak ngerti.”
Alaric menyandarkan satu tangan di dinding, membungkuk sedikit agar suaranya tak terdengar orang lain. “Besok sore, datanglah ke kantorku. Kita bicarakan sesuatu. Kalau kau datang, aku pastikan semuanya baik-baik saja. Tapi kalau tidak…” Ia berhenti, menatap mata Nayara tajam, “…mungkin orang lain akan mulai tahu hal-hal yang seharusnya tetap tersembunyi.”
Nayara mematung. “Kak… aku sekolah, aku—”
“Sekolahmu nggak akan terganggu,” potongnya cepat. “Aku tahu jam pulang mu. Aku bahkan tahu rute bus yang biasa kau pakai.”
Nada suaranya lembut, tapi dingin dan mengancam — seperti seseorang yang sudah memetakan setiap langkah mangsanya.
Beberapa detik kemudian langkah kaki Elara terdengar dari arah tangga. Alaric langsung berdiri tegak, seolah percakapan tadi tak pernah terjadi. “Sampai jumpa, Nayara,” katanya datar, lalu berjalan menjauh dengan langkah ringan.
Elara muncul sambil mengancingkan seragam. “Nay! Dari tadi dicari Mama ku, katanya sarapan dulu sebelum berangkat!”
Nayara tersentak kecil, buru-buru mengangguk. “Iya, El. Aku… bentar lagi.”
Elara menatapnya curiga. “Kamu nggak apa-apa? Mukamu pucat banget.”
“Enggak. Cuma lupa sarapan aja,” jawab Nayara cepat.
Saat mereka berjalan menuju ruang makan, pikiran Nayara masih berputar.
Besok sore. Kantor Alaric. Rahasia.
Ia tahu, apa pun yang menunggunya di sana… tidak akan sesederhana “bicara sebentar”.
—————————
Hari itu terasa berjalan lebih lambat dari biasanya.
Langit Jakarta cerah, tapi di dada Nayara, mendung seolah menggantung. Di kelas, suara guru bergema samar di telinganya, tapi tak ada satu pun kata yang benar-benar masuk. Ia hanya menatap buku catatannya—kosong. Satu kalimat pun tak sempat ia tulis sejak pelajaran dimulai.
Bayangan Alaric tadi pagi terus menempel di kepala. Tatapan itu. Nada suaranya. Kalimat terakhir yang diucapkan dengan dingin tapi menekan:
“Besok sore, ke kantorku.”
Ia mencoba menepisnya, tapi jantungnya malah berdebar lebih cepat. Apa yang akan pria itu lakukan jika ia menolak datang? Bagaimana jika benar, Alaric bisa membuka rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat?
Semuanya bisa hancur—bukan hanya dirinya, tapi juga Elara, keluarga Elara yang sudah seperti menganggapnya anak kandung dan juga keluarga kecilnya, ibunya, ayahnya. Semua.
Satu rahasia itu... seperti api kecil yang siap membakar hidupnya jika tersentuh angin.
“Na, kamu nggak apa-apa?” suara Elara membuyarkan lamunannya. Sahabatnya itu menatap dengan kening berkerut. “Kamu kayak orang yang nggak tidur semalam.”
Nayara tersenyum kikuk, “Enggak, aku cuma... lagi kepikiran ujian minggu depan aja.”
“Elah, Nay! Kamu kan selalu ranking atas, ngapain stres?” Elara menyenggolnya ringan. “Udah deh, nanti sore kita belajar bareng lagi di rumah, ya?”
“Iya,” jawab Nayara pelan, suaranya serak karena menahan gugup.
Tapi di dalam pikirannya, satu kalimat terus berputar seperti gema yang tak berhenti:
“Besok sore…”
Kata-kata itu seperti belenggu yang semakin menjerat setiap kali ia mencoba melupakan. Ia bahkan takut menatap wajah Elara terlalu lama, khawatir sahabatnya bisa membaca ketakutan di matanya.
Sore hari, setelah pulang sekolah, Nayara memutuskan langsung pulang ke rumah kecilnya. Ia butuh waktu sendiri, jauh dari tatapan Alaric, jauh dari kebisingan rumah besar itu. Tapi bahkan di rumahnya sendiri, ketenangan sulit ia temukan.
Tapi yang ia takutkan lebih dari sekadar pesan.
Ia takut… kedatangan.
Tangannya gemetar saat mengingat kejadian di hotel waktu itu—kejadian yang seharusnya tidak pernah ada.
Satu malam itu mengubah segalanya.
Dan jika Alaric benar-benar membuka semuanya, hidupnya tamat.
“Apa yang harus aku lakuin?” bisiknya lirih.
“Aku nggak mau semuanya rusak…”
Suara ibunya terdengar dari luar kamar, lembut tapi hangat. “Nay, makan dulu, Nak. Ibu udah masak tumis kesukaan kamu.” Kebetulan hari ini adalah hari libur ibunya dan hal itu membuat kedua orangtuanya berada di rumah mereka sekarang.
Nayara buru-buru menyeka air mata dan berusaha tersenyum sebelum keluar. “Iya, Bu, bentar ya.”
Ia tak ingin ibunya curiga. Tak ingin siapa pun tahu bahwa di balik senyum lembutnya, ia sedang berjuang menahan dunia yang hampir runtuh.
Namun malam itu, saat ia mencoba tidur, pikirannya tidak tenang.
Di antara gelap, suara langkah sepatu di koridor rumah besar keluarga Elara seolah terngiang kembali.
Dan di telinganya, suara berat itu masih jelas:
“Kalau kau datang, semuanya baik-baik saja…”
Nayara menarik selimut sampai menutupi wajah.
Tapi tidak ada yang bisa menutupi rasa takutnya.
—————————
“Kau Tak Akan Bisa Pergi”
Di ruang kerjanya yang sunyi, Alaric duduk menatap layar komputer yang sejak setengah jam lalu tak ia sentuh. Dokumen-dokumen penting terbuka, tapi pandangannya kabur.
Yang terlihat di kepalanya hanya satu wajah.
Nayara.
Setiap kali ia menutup mata, yang muncul adalah ekspresi panik gadis itu, suaranya yang gemetar, caranya menunduk setiap kali menatapnya.
Dan entah kenapa, semakin Nayara menghindar, semakin kuat keinginan Alaric untuk membuatnya kembali menatap dirinya.
Ia memutar kursinya pelan, menatap jendela besar yang menghadap langit sore.
Jakarta terlihat indah dari lantai atas kantor keluarga besar itu, tapi di balik keindahan itu, Alaric tahu — dirinya sedang bermain dengan sesuatu yang berbahaya.
Tapi sudah terlambat untuk berhenti.
Nayara terlalu dalam masuk ke pikirannya.
Ia mengambil ponsel di meja, membuka pesan singkat yang belum terkirim sejak pagi:
“Aku ingin kau datang ke sini besok sore. Sendirian.”
Alaric membaca ulang kalimat itu, senyum tipis muncul di bibirnya.
Ia tidak perlu menekan tombol “kirim”. Nayara pasti akan datang.
Bukan karena mau — tapi karena takut.
Dan itu saja sudah cukup.
Ia menyandarkan tubuh ke kursi, menatap langit yang mulai berganti warna jingga.
Perasaan aneh itu lagi… sesuatu yang dulu tak pernah ia rasakan terhadap siapa pun.
Ia sudah pernah dekat dengan banyak wanita, tapi tak ada yang meninggalkan jejak seperti Nayara. Ada sesuatu di diri gadis itu — sesuatu yang membuatnya ingin melindungi dan menghancurkan sekaligus.
Sementara itu, di rumah kecil Nayara, waktu berjalan lebih lambat.
Ia yang awalnya berniat untuk tidur tapi kini memilih duduk di kursinya, buku catatan sekolah terbuka tapi kosong.
Pikirannya bukan pada pelajaran, melainkan pada pesan yang mungkin datang kapan saja.
Ketika layar ponselnya tiba-tiba menyala, jantungnya langsung berdebar.
Tapi bukan pesan.
Hanya notifikasi waktu — jam menunjukkan pukul 21.37.
Ia mengembuskan napas lega, lalu menatap langit-langit kamar.
“Dia nggak bakal nyari aku malam ini, kan…?” gumamnya pelan.
Tapi entah kenapa, ketenangan itu terasa palsu.
Ia tahu benar, orang seperti Alaric tidak pernah sekadar bicara.
Jika ia bilang “besok”, maka tidak akan ada perubahan rencana.
Nayara memeluk lututnya lagi, tubuhnya sedikit gemetar.
Ia takut. Tapi lebih dari itu — ia benci kenyataan bahwa sebagian kecil dirinya justru berharap bisa memahami pria itu.
Apa yang sebenarnya diinginkan Alaric?
Kenapa ia seperti tak bisa melepaskan?
Kembali di rumah besar.
Alaric berdiri di balkon lantai dua. Angin malam berembus lembut, tapi pikirannya berisik.
Ia menatap halaman luas di bawah, tempat Nayara sering membantu ibunya membereskan bunga.
“Kau pikir bisa sembunyi dari aku, Nayara?” katanya pelan, hampir seperti bisikan pada angin.
“Aku tahu di mana mencari mu. Aku tahu cara membuatmu datang.”
Tatapannya tajam tapi anehnya… ada lembut di ujungnya.
Alaric menunduk, menggenggam pagar balkon. Ia sendiri heran kenapa perasaannya pada gadis itu terasa begitu rumit — seperti racun yang perlahan jadi candu.
Di balik semua kesombongan dan ketenangan itu, ada sesuatu yang mulai tumbuh tanpa ia sadari: rasa takut kehilangan.
Dan mungkin… itu alasan mengapa ia tak akan pernah membiarkan Nayara pergi.