Dikhianati oleh murid yang paling ia percayai, Asura, sang Dewa Perang, kehilangan segalanya. Tubuhnya musnah, kekuatannya hilang, dan namanya dihapus dari dunia para Dewa. Namun, amarah dan dendamnya terlalu kuat untuk mati.
Ribuan tahun kemudian, ia terlahir kembali di dunia fantasi yang penuh sihir dan makhluk mistis bukan lagi sebagai Dewa yang ditakuti, melainkan seorang bocah miskin bernama Wang Lin.
Dalam tubuh lemah dan tanpa kekuatan, Wang Lin harus belajar hidup sebagai manusia biasa. Tapi jauh di dalam dirinya, api merah Dewa Asura masih menyala menunggu saatnya untuk bangkit.
“Kau boleh menghancurkan tubuhku, tapi tidak kehendakku.”
“Aku akan membalas semuanya, bahkan jika harus menantang langit sekali lagi.”
Antara dendam dan kehidupan barunya, Wang Lin perlahan menemukan arti kekuatan sejati dan mungkin... sedikit kehangatan yang dulu tak pernah ia miliki.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumun arch, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Retakan Di Langit
Langit terlihat jernih pagi itu. Namun di balik cahaya mentari, garis-garis halus retakan masih membayang seperti kaca yang nyaris pecah. Tak ada yang menyadari bahaya yang menggantung di atas dunia, kecuali satu orang: Wang Lin.
Ia berdiri di puncak gunung yang dulu menjadi arena pertarungannya dengan Rayan. Kini, hanya sunyi yang tersisa. Udara dingin berembus lembut, membawa aroma abu dan tanah basah.
“Retakan ini tidak hilang… hanya tertidur,” gumam Wang Lin sambil menatap langit.
Yue mendekat, wajahnya serius. “Selama dua minggu, aku sudah berkeliling desa-desa di lembah bawah. Semua orang mulai mengalami hal aneh,bayangan yang bergerak sendiri, suara bisikan di malam hari, bahkan ada yang melihat sosok mirip Rayan.”
Wang Lin menatap jauh ke bawah, ke arah lembah yang mulai ditutupi kabut ungu samar.
“Itu bukan Rayan. Itu sisa kesadarannya yang terperangkap dalam energi Asura lama. Mereka menggunakan bayangannya untuk membuka jalan kembali ke dunia.”
Yue mengerutkan kening. “Jadi mereka… akan bangkit lagi?”
Wang Lin mengangguk perlahan. “Ya. Dan setiap kali seseorang di dunia ini membiarkan amarah atau dendam menguasai hatinya, retakan itu akan melebar.”
Ia menggenggam udara di depannya. Api putih samar muncul di telapak tangannya, berdenyut lembut.
“Inilah harga dari kekuatan. Setiap percikan amarah bisa menjadi pintu bagi mereka.”
Suara gemuruh tiba-tiba terdengar di kejauhan. Burung-burung terbang panik dari hutan bawah. Yue menoleh cepat. “Itu dari arah barat! Kota Xiang!”
Wang Lin menutup matanya sejenak, mencoba merasakan gelombang energi itu. Getaran gelap, berat, dan dingin sesuatu yang asing tapi juga akrab.
“Energi Asura…” desisnya pelan. “Seseorang telah menyentuh kekuatan itu.”
Tanpa bicara lagi, Wang Lin melangkah maju. Angin berputar di sekeliling tubuhnya, mengangkat jubahnya ke udara. Yue berusaha mengejarnya, tapi langkah Wang Lin sudah berubah menjadi nyala api putih yang melesat menembus angin.
Beberapa jam kemudian, mereka tiba di tepi Kota Xiang. Kota itu hancur sebagian jalan-jalan terbelah, tembok runtuh, dan udara penuh dengan kabut ungu yang berdesir seperti napas makhluk hidup.
Di tengah reruntuhan itu, berdiri seorang pria muda dengan mata merah gelap. Api hitam berputar di sekeliling tubuhnya.
“Kau…” gumam Wang Lin, menatapnya. “Siapa namamu?”
Pria itu menatap balik dengan senyum miring. “Namaku… Kael.”
“Kau bukan manusia biasa.”
Kael tertawa kecil. “Tentu saja tidak. Aku mendengar suara dari langit, suara yang memberiku kekuatan ini.”
Wang Lin merasakan hawa dingin merayap ke seluruh tubuhnya. Suara dari langit? Hanya ada satu sumber yang bisa melakukannya.
“Asura purba,” bisiknya.
Kael menatap Wang Lin dengan penuh rasa ingin tahu. “Kau berbeda dari yang lain. Api di dalam tubuhmu… tidak hitam, tidak ungu. Tapi aku mengenalinya. Kau… yang menolak panggilan mereka, bukan?”
Wang Lin tidak menjawab. Ia tahu, melawan dengan kata-kata hanya akan memperkuat pengaruh Asura di dalam diri Kael.
"Pergilah dari kota ini,” ucap Wang Lin akhirnya, tenang tapi tajam. “Sebelum api itu menelan dirimu.”
Kael tertawa keras, suaranya bergema di antara reruntuhan.
“Terlambat, Wang Lin! Mereka sudah memilihku!”
Tiba-tiba tanah di bawah kaki mereka bergetar hebat. Dari bayangan Kael, muncul bentuk makhluk besar dengan dua tanduk api, matanya hitam, dan tubuhnya terbuat dari kabut ungu padat.
Yue berteriak, “Apa itu!?”
Wang Lin menatap makhluk itu dengan sorot mata kosong namun dingin.
“Asura bayangan. Manifestasi dari retakan.”
Kael mengangkat tangannya, dan makhluk itu mengaum keras, menatap langsung ke arah Wang Lin.
“Ayo, Guru Asura. Tunjukkan padaku, apakah kau benar-benar layak disebut dewa api…”
Wang Lin menarik napas dalam, mengangkat tangannya perlahan. Api putih muncul di sekeliling tubuhnya, tapi kali ini bukan api kemarahan melainkan api tenang, seperti cahaya jiwa.
“Kalau begitu… biarkan dunia tahu,” katanya pelan, “bahwa api tidak hanya bisa menghancurkan. Ia juga bisa menyembuhkan.”
Udara di sekitar mulai bergetar. Api putih meluas, menyelimuti kota yang hancur, menelan kabut ungu sedikit demi sedikit.
Namun dari balik cahaya itu, suara tawa Asura purba kembali terdengar.
“Sembuhkanlah kalau bisa, pewaris api. Tapi ingat… setiap luka yang kau tutup akan membuka seribu yang baru.”
Langit bergetar. Retakan di atas mereka semakin lebar.
Wang Lin menatap ke langit, api putihnya bergetar.
“Sepertinya… waktu kita hampir habis.”
Suara gemuruh itu belum juga berhenti. Langit di atas Kota Xiang kini seperti terbelah dua, satu sisi terang menyala oleh cahaya api putih Wang Lin, sisi lainnya diselimuti kabut ungu pekat yang menari seperti roh jahat.
Kael melangkah perlahan ke depan, setiap langkahnya membuat tanah terbelah dan udara bergetar.
“Kau pikir bisa menyelamatkan dunia ini dengan cahaya kecilmu, Wang Lin?” suaranya berat, tapi di balik nada sombong itu, ada getir yang sulit disembunyikan.
Wang Lin tak menjawab. Ia tahu sesuatu di balik sorot mata merah Kael, masih ada manusia. Masih ada sisa jiwa yang berjuang melawan kegelapan Asura.
“Kael,” katanya pelan, “aku bisa merasakan jiwamu masih bertahan. Jangan biarkan mereka memakanmu hidup-hidup.”
Kael tertawa getir, darah mengalir dari ujung bibirnya. “Kau pikir aku tidak mencoba?! Mereka memberiku kekuatan saat dunia menolak keberadaanku. Dan sekarang… aku harus membayar dengan tubuhku.”
Suara angin berubah menjadi pekik nyaring ketika makhluk bayangan di belakang Kael mengaum. Bayangan itu kini semakin besar menutupi sebagian langit, matanya bersinar merah seperti bara di neraka.
Yue yang berdiri beberapa meter di belakang Wang Lin memekik, “Guru! Retakannya semakin melebar! Jika makhluk itu keluar sepenuhnya, seluruh lembah bisa hancur!”
Wang Lin menatap Yue, lalu kembali ke Kael.
“Kalau begitu… tak ada pilihan lain.”
Ia mengatupkan kedua telapak tangannya. Api putih menyala dari tubuhnya, lebih terang dari sebelumnya seolah seluruh jiwa dan amarahnya berubah menjadi satu cahaya.
Langit berguncang hebat. Retakan di atas mereka mulai menutup perlahan, tetapi makhluk Asura berontak, mengamuk, mengeluarkan raungan yang mampu mengguncang pegunungan di sekeliling.
Kael menjerit, tubuhnya bergetar keras, seolah dua kekuatan bertarung di dalam dirinya. “Berhenti! Aku tidak mau… aku tidak mau menjadi monster lagi!”
Wang Lin menatapnya dengan mata penuh keteguhan. “Kalau begitu, lawan mereka dari dalam. Aku akan menutup retakan ini—tapi jiwamu yang harus memilih, Kael!”
Kael memejamkan mata. Suara tawa Asura bergema di udara. “Kau pikir kau bisa menolak takdirmu, manusia lemah?”
Namun kali ini, Kael tidak diam. Ia menjerit keras, dan api hitam di tubuhnya berubah warna menjadi merah darah, panas, liar, tapi manusiawi.
"Aku… bukan boneka kalian!” teriaknya.
Wang Lin menyalurkan seluruh energinya ke dalam satu serangan terakhir. “Api Penutup Langit!”
Cahaya putih membelah udara, menembus kabut ungu, dan menghantam langsung ke retakan di langit. Suara ledakan besar terdengar, diikuti cahaya menyilaukan yang membuat seluruh kota Xiang tenggelam dalam sinar putih.
Beberapa saat kemudian, semuanya hening.
Kabut ungu menghilang. Retakan di langit menutup sempurna, meninggalkan hanya awan tipis yang melayang lembut. Di tengah reruntuhan, Kael berlutut dengan napas tersengal, tubuhnya dipenuhi luka. Api di tubuhnya padam, dan matanya kembali normal.
“Sudah berakhir…” bisiknya lemah.
Wang Lin berjalan mendekat, menatapnya dengan tenang. “Belum. Ini baru permulaan. Retakan lain akan muncul di tempat lain. Tapi untuk hari ini… kau bebas.”
Kael tertawa kecil. “Bebas? Entahlah… aku bahkan tak tahu siapa aku lagi.”
Wang Lin menepuk pundaknya. “Kau manusia. Dan itu cukup.”
Yue mendekat, menatap keduanya dengan campuran lega dan khawatir. “Guru, langit sudah tenang… tapi aku merasakan sesuatu dari arah timur. Ada getaran aneh.”
Wang Lin menatap ke arah yang disebut Yue. Di ufuk timur, awan hitam berputar pelan, membentuk pusaran besar.
“Mereka tidak berhenti,” ucapnya pelan. “Asura purba… sepertinya baru saja bangun dari tidurnya.”
Kael menatap langit yang mulai gelap. “Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang, Wang Lin?”
Wang Lin tersenyum tipis, menatap cakrawala.
“Aku akan mencari sumbernya. Dan kali ini… aku tidak akan berjuang sendirian.”
Angin berhembus, membawa debu dan sisa abu dari medan pertempuran. Di kejauhan, suara petir bergema pertanda badai baru akan datang.
Namun di mata Wang Lin, api putih kecil kembali menyala. Bukan api amarah, bukan api dendam, melainkan api tekad.
“Karena dunia ini,” bisiknya, “masih layak untuk diperjuangkan.”