Patah hati membawa Russel menemukan jati dirinya di tubuh militer negri. Alih-alih dapat mengobati luka hati dengan menumpahkan rasa cintanya pada setiap jengkal tanah bumi pertiwi, ia justru diresahkan oleh 'Jenggala', misinya dari atasan.
Jenggala, sosok cantik, kuat namun keras kepala. Sifat yang ia dapatkan dari sang ayah. Siapa sangka dibalik sikap frontalnya, Jenggala menyimpan banyak rahasia layaknya rimba nusantara yang membuat Russel menaruh perhatian khusus untuknya di luar tugas atasan.
~~~~
"Lautan kusebrangi, Jenggala (hutan) kan kujelajahi..."
Gala langsung menyilangkan kedua tangannya di dada, "dasar tentara kurang aj ar!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua puluh empat ~ Ingatan tentang Gala
Dan demi apa, Gala sudah mengganti pakaiannya, dengan stelan jeans cutbray dan t shirt oversize putih bergambar lukisan abstrak, serta sepatu yang senada dengan warna bajunya, menantikan Russel menjemput, ini gila...tak masuk akal.
"Alamak, sudah dapat teman hee?" tanya om Dandi. Ia baru datang pagi tadi bersama tanta Yubi langsung dari kota Karang demi menghadiri euforia pernikahan Ayunda dan Aziz, meski terlambat sebab pekerjaan om Dandi yang sulit ditinggal.
"Bukan teman. Bawahan papa yang kemarin jemput itu loh...Beta sonde pu teman disini." (aku ngga punya temen)
"Halah.." om Dandi, dengan wajah yang menyepelekan itu membuat Gala berdecih. Padahal dibanding aksinya saat ini, ia justru lebih sering keluar bersama Ali dan Igna, atau Carlos saat di kota Karang, tapi om Dandi tak pernah memperlihatkan wajah menyebalkannya seperti barusan.
"Nemenin kemana sih?" ada sorot mata menggoda dari mama juga untuknya saat Gala memilih menunggu Russel di ruang tamu sambil bermain game di ponsel.
"Ngga tau, katanya sih keliling sekitaran makko aja. Mungkin cari barang buat bekal nugas besok, mungkin..." jawaban Gala itu memancing reaksi saling melirik dari mama dan tanta Yubi, "sudah sampai di tau kapan nyonk tu batugas? (laki laki itu bertugas) Lantas besok, tau nyonk itu pu Ina...pu mama, (ayahnya...ibunya,) jadwalnya tidur, jadwalnya makan, ee..luar biasa." Seolah kagetnya itu dibuat-buat dengan bertepuk tangan, sebal sekali.
Dan om Dandi terlihat senang sekali, ketiganya kompak menggoda Gala. Gala mendelik kesal, "Russel just kawan, tak lebih."
"Oooo, tadi bilang sonde pu kawan disini." Goda om Dandi lagi membuat Gala manyun dan berwajah sengit.
"Ihhh," galaknya menatap om Dandi yang refleks mengangkat kedua tangannya semacam, menyerah!
Betulan kok! Ia hanya menganggap Russel sebatas itu, lagipula ia tak enak menolaknya, sudah terlalu banyak hutang nya pada Russel. Ah iya, bukan apa-apa juga ia menerima, sebab ia malas berada di rumah lama-lama khawatir pasangan pengantin baru itu datang lagi sesore ini buat numpang mandi mungkin, numpang makan, atau numpang bikin anak, upss! Ditambah, ia cukup bosan juga berada di rumah seharian.
"Sekalian tanya jalan. Mama ada beberapa kampus unggulan yang bisa kamu pilih nanti untuk melanjutkan S2. Ada negri dan swasta, Russel pun pasti tau."
Russel mengangguk sopan pada mama, tanta Yubi dan om Dandi, selepas Gala menyampirkan tas selempang nya di bahu. Ia bahkan menyempatkan turun sejenak dari motor hanya untuk salim takzim pada ketiganya.
"Aku pergi ya.."
"Jangan malam-malam ya Sel," ujar mama memberikan pesan.
"Siap Bu."
Dan Gala masih berwajah sewot saat melihat kerlingan om Dandi padanya, "apa sih!" serunya membuat tanta Yubi mencubit perut suaminya, "sudah ee. Jangan diganggu terus."
"Kenapa?" tanya Russel digelengi Gala. Bersamaan dengan Gala yang sudah naik ke atas motor Russel menggunakan helm datang pula Aziz dan Ayunda.
Russel mengangguk sopan dan melajukan motornya. Ayunda hanya tersenyum simpul baik pada Russel atau pada adiknya. Sementara pandangan terheran-heran ditunjukan Aziz.
"Mau kemana mereka, ma?" tanya Ayunda.
"Jalan-jalan." Mama tersenyum.
"Loh, tumben."
"Mama percaya Russel sih, dia juga yang bawa Gala pulang kemarin, papa bilang. Jadi ngga mungkin macam-macam."
"Dulu abang yang sering direcokin Lala, sekarang Lala punya penjaga baru." Kikik Ayunda, "suruh punya temen, ma. Biar ngga repotin terus bawahan papa."
Benar, sesuai prediksi Gala. Mereka berhenti di parkiran mall Ciparu.
"Kita cari apa?" tanya Gala akhirnya bertanya. Russel membuka helmnya, "kado. Aku butuh bantuan kamu buat pilih."
"Pilih?"
"I-yap. Aku ngga ngerti selera perempuan--lanjut usia." Katanya bikin gagal fokus, yang benar saja! Memangnya Gala terlihat seperti seorang suster di panti jompo?
"Loh, apalagi aku. Buat siapa?"
"Ummaku." Jawab Russel cukup membuat Gala mencerna kata umma, "Oma? Omamu ulang tahun?"
"Udah kelewat sih, aku telat."
Oh, oke. Kepedean ngga sih, jika Gala mengira Russel akan mengajaknya bertemu Omanya?
"Nanti sekalian mampir buat kasiin ya.." ujar Russel membuat Gala membulatkan matanya, bener!"aduhhh, aku malu. Lagian lama engga?"
"Engga. Engga...engga lama, cuma ketemu umma, udah itu aja."
Gala tak pernah berpikir macam-macam atau akan seperti apa nanti di rumah umma Russel, mungkin rumah sederhana dengan isian kakek--nenek sebab Russel bilang sudah terlewat dan terlambat. Oke...no problem.
Russel menggiring Gala untuk masuk ke dalam mall dengan meraih tangan Gala dalam genggaman. Meski kemudian Gala menepisnya secara hati-hati, "kok tanya aku? Oma mu harusnya kamu yang lebih paham."
Russel menoleh menghentikan langkahnya, "biar aku punya temen bingung."
"Hiih." seru Gala refleks. Lantas keduanya masuk, dan Gala memberikan saran untuk masuk ke butik batik, toko barang, atau mungkin produk kesehatan.
"Kalo tas, ummaku sudah banyak. Makanan kesukaan, ummaku masakannya paling top se serambi mekkah."
Jadi.
"Belakangan ini, mintanya sering aneh-aneh. Pengen dibeliin kain kafan, pengen dibeliin permen kapas. Pernah sekali waktu, minta cucu-cucunya yang masih belum punya pasangan bawa calon ke rumah." Russel mengingat semua permintaan umma Salwa yang terkadang membuatnya, Panji, Ryu dan Kalingga kebingungan.
Gala tersenyum tipis tanpa bersuara, "sudah sepuh."
Iya, Russel mengangguk-angguk, apakah itu pertanda sesuatu? Ia harap jangan dulu.
"Kalo alat kesehatan? Biasanya kalo udah sepuh maunya pake alat-alat kesehatan yang simple, gampang dibawa kemana-mana."
"Ide bagus."
Kado sudah dibeli dan dibungkus. Lantas Russel tidak buru-buru menyudahi acara jalannya bersama Gala. Ia justru mengajak Gala untuk sejenak jajan di area foodcourt.
"Mau makan apa?"
Gala menoleh sedikit mendongak, "aku ngga jajan." Jawabnya teringat akan sesuatu, saldo uang di ATM nya sudah mulai menipis, hanya tersisa beberapa saja sebagai dana jaga-jaga jika ia harus kembali ke kota Karang secara urgent.
"Aku yang traktir sebagai upah. Ngga masuk hitungan hutang loh. Justru hutangnya udah kecicil sekarang."
"Beneran?" tunjuk Gala sangsi.
Pria yang merapatkan jaket di badannya itu mengangguk, "bener. So, mau jajan apa? Bebas, pesan sesukamu."
Jika tidak salah menebak maka Russel tebak, gadis ini akan memilih..es krim.
"Es krim, aku mau es krim." Jawab Gala menunjuk salah satu gerai, lalu mengedar lagi.
Dan...kebab.
"Kebab, aku juga mau kebab."
Russel tersenyum, benar tebakannya. Jadi benar, ingatannya tentang Gala, Gala itu adalah gadis manja yang sering ia lihat ketika melakukan fisik sore rutin di makko. Gadis dengan seragam putih abunya dan selalu memaksa papanya atau menggelayuti lelaki yang bernama Aziz itu untuk mengantarnya jajan es krim serta kebab di kawasan makko.
Setelah beberapa hari ini menelaah, Russel akhirnya menyadari satu hal, jika belakangan ini bukanlah kali pertamanya ia melihat Gala, namun wajah itu, wajah ceria itu wajah yang tak asing buatnya.
Bukan saja karena ia mirip dengan Ayunda, namun memang Russel sering menjumpainya di kawasan markas komando sebelum akhirnya ia tau jawaban ketika, tak lagi menjumpai gadis ini setiap sorenya, sebab memilih meninggalkan Makko beberapa tahun belakang.
Ia juga tau alasan, kenapa wajah manja itu kini berubah dingin membeku.
Russel turut mencomot cemilan di tengah-tengah meja sembari melihat Gala yang asik menikmati es krimnya.
"Udah berapa lama ngga jajan es krim di makko, kulihat gerai es krim yang dulu sering kubeli udah ngga ada." Pengakuan Gala itu semakin meyakinkan Russel.
"Pindah." Jawab Russel, "sekarang udah ngga deket asrama brigade 1 lagi. Tapi pindah ke deket arena olahraga di depan sini."
Gala mengangguk paham.
"Gerai kebab masih ada, tapi yang jualnya udah bukan si mas mas yang itu lagi."
Gala mendongak antusias, "eh kamu tau juga gerai kebab itu, aku sering jajan kebab disana juga?"
Ada tawa kecil yang kemudian berubah kaku lagi, sebab ingatan es krim dan kebab itu menyeret kenangan manisnya bersama papa dan Aziz.
Ia memutar sendok di cup es krimnya seperti tengah berpikir sesuatu, "kamu tau info loker disini ngga? kira kira yang butuhin sarjana seni musik, fresh graduate kok."
Russel menatapnya, "kamu mau kerja?"
Gala mengangguk, "yaa...aku udah terbiasa ambil part time, di kota Karang, makanya ambil kerjaan disc jockey. Biar bisa ambil waktu kuliah santai, malamnya baru kerja." lebih tepatnya, ia terbiasa memegang uang dan mencarinya sendiri. Jadi untuk menengadahkan tangannya pada mama apalagi papa, ia cukup dibuat malu.
Russel menggeleng, "nanti coba aku cari info. Bukannya mau kuliah?"
Gala mengangguk, "aku masih cukup bingung, buat stay disini..."
"Kenapa, kampus di ibukota bagus-bagus. Masih belum berdamai dengan komandan?"
Gala menatapnya dalam diam, seolah sorot mata datar yang beredar itu menyiratkan jawaban, iya...bingung, frustasi, ngga tau harus gimana. Ngga tau harus memulai darimana. Ngga tau maunya apa.
.
.
.
bukan ajijah
lanjut
sebel😐 gini aja baru sadar klo jadi duri dlm pernikahan
sabar ya mah mengikhlaskan semua itu memang sulit tp dituntut harus kuat jg buat anak"