NovelToon NovelToon
Gadis Tengil Anak Konglomerat

Gadis Tengil Anak Konglomerat

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Nikahmuda / Diam-Diam Cinta / Idola sekolah
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rosseroo

Seorang gadis remaja yang kini duduk di bangku menengah atas. Ia bernama Rona Rosalie putri bungsu dari Aris Ronaldy seorang presdir di sebuah perusahaan ternama. Rona memiliki seorang kakak lelaki yang kini sedang mengenyam pendidikan S1 nya di Singapore. Dia adalah anak piatu, ibunya bernama Rosalie telah meninggal saat melahirkan dirinya.

Rona terkenal karena kecantikan dan kepintarannya, namun ia juga gadis yang nakal. Karena kenakalan nya, sang ayah sering mendapatkan surat peringatan dari sekolah sang putri. Kenakalan Rona, dikarenakan ia sering merasa kesepian dan kurang figur seorang ibu, hanya ada neneknya yang selalu menemaninya.

Rona hanya memiliki tiga orang teman, dan satu sahabat lelaki somplak bernama Samudra, dan biasa di panggil Sam. Mereka berdua sering bertengkar, namun mudah untuk akur kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosseroo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di mengganggu lagi

Suasana rumah, sunyi seperti biasa menjalar di sela-sela jam dinding. Raymond dan ayahnya pulang larut karena harus mengurus pekerjaan di kantor pusat; rumah yang luas terasa lapang namun hampa, hanya ada hilir mudik para pelayan yang sedang bekerja. Rona menyingkirkan rasa itu dengan naik ke pohon mangga di halaman belakang, duduk bersandar di cabang yang kuat sambil membaca buku favoritnya. Meski tidak kekurangan harta, ia sering merasa kekurangan satu hal yang tak bisa dibeli: perhatian. Angin membawa harum daun mangga, dan halaman yang sepi menjadi tempat pelarian terbaiknya.

Tiba-tiba, lewat gerbang terdengar langkah kaki dan suara tawa khas.

“Nenek!” Rona meloncat turun, buku yang jadi favoritnya terlupakan dari pangkuannya.

Nenek Sindy muncul dengan koper kecil dan selendang mewah, wajahnya masih bersinar seperti wanita sosialita yang baru pulang liburan. “Rona kecilku,” seru nenek sambil memeluk erat cucunya. “Liburan itu menyegarkan, tapi rumah itu rindu yang paling manis.”

Rona tersenyum tulus, hatinya hangat. “Kamu bawa oleh-oleh cerita, Nek?”

Nenek Sindy mengangkat alis, “Banyak! Tapi yang paling penting—kamu harus memberitahuku semua tentang hidupmu. Jangan selalu sembunyi di atas pohon.”

Mereka tertawa berdua; untuk pertama kali dalam beberapa hari, Rona merasa rumah itu bukan hanya bangunan yang megah tetapi tempat yang merangkul.

Di sekolah.

Ketegangan yang tak pernah jauh dari kehidupan Rona. Steve semakin agresif dalam pendekatannya—bukan sekadar rayuan manis, tapi cara-cara yang membuat banyak orang tidak nyaman. Ia mengejar Rona di lorong, mengirim pesan berulang kali, muncul di sudut kelas saat jam kosong, dan selalu punya alasan untuk “secara kebetulan” berdiri dekat saat Rona lewat.

"Loe selalu nongol dimana gue berada, berasa di kejar jin gue!" sentaknya melirik ke arah Steve. "Gak papa kamu sebut aku jin, jin yang jatuh cinta pada bidadari nya."

"Demi alex, gue merinding!" pekiknya, rona berlari meninggalkan tempat itu.

***

Suatu sore di lapangan, Steve hadir lagi ketika Rona sedang berlatih. Ia tersenyum predatori.

“Kamu makin girly aja, Na. Kenapa nggak kita keluar malam ini? Serius deh, kasih aku kesempatan buat kita jalan,” godanya, suara penuh kepedean.

"Tatapan loe aja udah tatapan buaya! Loe itu makhluk yang mengerikan buat seorang gadis, ngerti nggak Steve!!"

Steve terkekeh, "Na, rasain dulu besar cinta aku. Kalau kamu udah rasain, kamu akan tahu dan nggak akan menyesal." sanggahan Steve mencoba memaksa. "Nggak mau!!" pekik Rona.

Dari sisi lapangan, Samudra menyaksikan semuanya dengan rahang menegang. Mata polosnya berubah menjadi dingin. Ia mendekat, suaranya rendah tetapi jelas menantang.

“Jauhin dia, Steve. Udah jelas dia nggak mau.”

Steve mengangkat bahu, pura-pura santai. “Santai, Sam. Gue cuma mau deketin. Nggak ada salahnya kan?”

Samudra melangkah lebih dekat lagi, posturnya melindungi Rona tanpa harus teriak. “Ada yang salah kalau loe gangguin teman gue. Sekali lagi, mundur.”

Steve tersenyum sinis, “Atau apa? Loe mau jadi superhero? Ayo, coba tunjukin.”

Samudra menahan amarah, napasnya pendek. Di kepalanya berlalu kilatan ingatan—waktu Steve hampir melecehkan Rona dulu, tangannya yang refleks melangkah menolak, rasa kesal yang tak hilang. Ia ingin sekali membuat Steve merasakan malu dan sakit yang sama—untuk menegakkan batas. Tapi ia juga tahu kekerasan bukan solusi jangka panjang; bisa jadi malah memicu masalah lebih besar bagi Rona.

Rona berdiri di tengah, melihat dua dunia yang saling bertaut: satu yang ingin melindunginya tanpa kompromi, dan satu lagi yang tak pernah tahu batas. Ia menatap Samudra sejenak, lalu menoleh ke Steve dengan wajah datar namun tegas.

“Steve, cukup. Kalau loe terus begini, gue nggak akan diam. Bukan karena gue butuh perlindungan—tapi karena gue punya hak untuk merasa aman di sekolah ini. Apa loe nggak kapok udah pernah gue bikin babak belur? Kalau gue lakuin ulang, gue juga bakal kena hukuman lagi. So please, go away!”

Steve mendengus, mundur setengah langkah. Di antara kerumunan, bisik-bisik terdengar: ada yang kagum pada keberanian Rona, ada yang menunggu letupan berikutnya. Samudra menurunkan bahu perlahan, masih waspada tapi sedikit lega karena Rona memilih berdiri sendiri di depan situasi itu—bahkan saat hatinya jelas bergetar karena tak ingin membuat masalah besar.

***

Malam harinya, ketika lampu kamar menyala temaram, Rona duduk di meja belajarnya dan mengirim pesan singkat ke Samudra.

“Makasih Sam. Tapi jangan terlalu ikut campur kalau gue bisa atur sendiri.”

Jawaban Samudra muncul cepat, singkat tapi tegas:

“Janji aku jagain kamu—dengan cara yang nggak bikin kamu susah. Kalau aku harus lawan Steve demi itu, aku akan pikir dua kali supaya nggak bikin masalah buat kamu.”

Rona membaca pesan itu, menutup mata sejenak. Ia tahu jalan ke depan tak akan mudah: perhatian dari keluarga mungkin bertambah dengan kembalinya nenek, tetapi ancaman di sekolah tetap nyata. Dan di sisi lain, ada sahabat—atau mungkin sesuatu yang lebih—yang siap mengambil risiko untuknya.

Di sekolah.

Kantin siang itu riuh dengan suara sendok beradu piring, tawa anak-anak, dan aroma mie goreng bercampur bakso. Namun di sudut meja panjang, suasana berbeda: Erina dan gengnya menjerit-jerit tawa, bukan karena candaan, melainkan karena menekan seorang gadis mungil berkacamata tebal bernama Lala.

Di depan Lala, semangkuk bakso berisi kuah merah pekat penuh saus sambal diletakkan kasar.

“Ayo, makan ini sampai habis. Kalau nggak…” Erina mengangkat sendok berisi saus dan pura-pura mengarahkannya ke kepala Lala. “Kepalamu yang bakal jadi mangkuknya.”

Teman-teman Erina terbahak, menyoraki. Lala menggigit bibir, matanya berkaca-kaca. Tangan gemetar memegang sendok, tapi ia tak berani melawan. Ia hanya bisa menunduk.

“Apa salahku? Aku cuma—” suaranya hampir tak terdengar, “aku cuma suka sama Steve…”

Erina mendengus sinis, lalu meraih bungkusan kecil yang tadi Lala selipkan di loker Steve. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi, memamerkan ke teman-temannya.

“Lihat nih! Caper kelas cupu. Steve aja pasti jijik dapet beginian. Buang!” Ia melempar bungkusan itu ke tempat sampah. Tawa semakin keras. "Beraninya loe naroh sampah di loker Steve. Dia nggak suka barang beginian. Sadar diri dong, cupu!"

"Ta-tapi Steve juga tidak menyukaimu kan Erina, yang dia sukai justru rona-" kalimat Lala terpotong begitu nama Rona terdengar. "Stop, jangan bandingin gue sama si tukang bikin onar. Beda class!"

Rona yang sedang membeli jus di meja sebelah menghentikan langkah. Matanya menyipit, detak jantungnya naik. Ia benci sekali melihat ketidakadilan, apalagi ketika seseorang yang lemah dipermainkan begitu kejam. Dengan langkah mantap, ia menghampiri meja itu.

“Cukup, Erina.” Suara Rona dingin, tapi tegas.

Kerumunan langsung sunyi. Erina menoleh, alisnya terangkat. “Oh, pahlawan kesiangan datang. Kenapa? Mau ikutan makan bakso cabai juga?”

Rona menatap lurus ke arah Lala, lalu menggeser mangkuk bakso penuh saus dari hadapan gadis itu. “Kalau punya masalah sama perasaan orang, jangan salurkan dengan cara pengecut. Steve itu bukan barang siapa pun. Dia punya hak pilih sendiri. Dan loe,” Rona menatap Erina lebih tajam, “nggak punya hak buat rendahin orang lain yang hanya berani jujur sama perasaannya.”

Lala menatap Rona dengan mata berkaca, napasnya memburu. Erina terkekeh pelan, mencoba menutupi rasa terpojok.

“Wow, Rona sang dewi sekolah mulai berkhotbah. Loe pikir semua orang bakal kagum? Jangan-jangan loe cuma pengen keliatan hebat di depan Samudra—atau… Steve?”

Kerumunan mulai berbisik-bisik, beberapa bahkan menatap Erina dengan wajah tak nyaman. Rona tahu kata-katanya harus lebih kuat dari sekadar pembelaan.

“Kalau gue pengen keliatan hebat, gue tinggal diam dan biarin loe bikin orang lain menderita. Tapi gue nggak bisa. Karena diam artinya sama aja setuju sama kejahatan loe.”

Erina terdiam sesaat, lalu mendengus. “Terserah. Jangan salahin gue kalau suatu hari nanti loe yang jadi bahan permainan lagi.” Ia berdiri, menepis rambutnya angkuh, lalu pergi bersama gengnya yang tak lagi tertawa segarang tadi.

"Huh siapa takut.." desis Rona. Ia menarik napas dalam, lalu menoleh ke Lala yang masih pucat.

“Loe nggak salah, Lala. Berani suka sama seseorang itu wajar. Jangan biarin orang lain bikin kamu merasa hina.”

Lala terisak pelan, tapi ada senyum kecil yang muncul di balik tangisnya. “T-terima kasih, Rona…”

Kerumunan bubar perlahan, tapi sorot mata banyak orang kini berbeda. Ada yang kagum pada keberanian Rona, ada yang takut jika suatu saat harus berhadapan dengannya. Sementara jauh di belakang, Erina menggenggam erat botol minumannya, matanya menyala penuh dendam.

1
Nurika Hikmawati
wkwkwk... aku ngakak sih di part ini
Nurika Hikmawati
prikitiw... kiw kiw
Nurika Hikmawati
ya ampun... kamu ditembak sam Ron. panah asmara sdh meluncur 😍
Nurika Hikmawati
knp dicegah sih sam... erina udh keterlaluan. harusnya biarin aja
Nurika Hikmawati
ini udh parah sih. knp harus bawa2 ibunya rona yg almarhum. perlu dibejek mulutnya
Nurika Hikmawati
kalau begini kamu memang mau pgn cari masalah sm rona aja kan?
Drezzlle
ogeb Rona, Dia itu sayang Ama lu
Peka dikit
Drezzlle
Nah bagus Rona hajar aja
Drezzlle
ih mulutnya, dengki banget sih
Dewi Ink
wah parah, dipasang kamera , gila tu bocah steve/Curse/
Dewi Ink
betuul, kan Meraka udah mulai dewasa biar nanti pas waktunya gak kaget 🤣🤣
Dewi Ink
rona anaknya sanguin ya, ga malu ngaku sama neneknya.. yawis atuh sama2 sukaa si😍
mama Al
wah ada Risma

terimakasih sudah di promosikan
mama Al
suiiit suuiit ada yang jadian
mama Al
samudra; aku tulus rona
mama Al
jangan gitu Erina, kamu layak dapat yang lebih dari dua pria itu.
Mutia Kim🍑
Wah bahaya si Steve malah naruh CCTV di boneka itu
Rosse Roo: emang, rada2 si diaaa🤧
total 1 replies
Mutia Kim🍑
Omoo omooo ternyata sudah lama dijodohkan🤭
Mutia Kim🍑
Cie yg mengakui juga perasaannya, langgeng terus ya kalian/Kiss/
🌹Widianingsih,💐♥️
Sabar Sam, kamu harus berjuang menundukkan hati dan egonya yang keras kepala....nanti lama-lama juga Rona akan luluh dan menerima mu.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!