Di balik senyum manis dan mata indah Narynra, terdapat kesedihan mendalam yang disebabkan oleh pernikahan ayahnya dengan ibu tirinya. Sebelum pernikahan itu, Narynra membuat perjanjian rahasia dengan ibu tirinya yang hanya diketahui mereka berdua. Apakah isi perjanjian itu? Sementara itu hubungan Narynra dengan Kaka tirinya tidak pernah akur, dan situasi semakin buruk setelah ayahnya terkesan selalu membela kakak tirinya, membuat Narynra merasa tidak betah di rumahnya. Akankah Narynra dan kakak tirinya bisa berdamai?
Narynra kemudian bertemu Kayvan, seorang pria yang tampan dan perhatian. Setelah pertemuan pertama, Kayvan terus berusaha mendekati Narynra, dan mereka akhirnya menjalin hubungan asmara.
Sementara itu, seorang pria misterius selalu memperhatikan Narynra dari kejauhan dan terus mengirimkan pesan peringatan kepada Narynra bahwa Kayvan tidak baik untuknya. Siapa pria misterius ini? Apa tujuannya? Akankah Narynra bahagia bersama Kayvan atau atau bersama yang lain?,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Midnight Blue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
salah paham
Tiba-tiba Elisya merasa mual, dia menaruh tangan kanannya di mulutnya, berusaha menahan rasa mual yang semakin kuat. Namun, dia tidak bisa menahan lagi dan memuntahkan di wastafel. Suara muntahnya terdengar jelas di dapur yang sedang sunyi.
Narynra melihat Elisya dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah-olah dia tidak yakin apa yang sedang terjadi. Matanya terfokus pada Elisya, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Sementara Elisya yang sadar akan tatapan Narynra terlihat sangat gugup, dia mencoba untuk menenangkan diri dengan mengambil napas dalam-dalam.
Elisya membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap bisa menghilangkan rasa mual yang masih menghantui. Namun, dia tetap merasa gugup dan tidak nyaman di bawah tatapan Narynra yang tajam. Dia mencoba untuk menghindari kontak mata dengan Narynra, takut Narynra akan melihat kebenarannya.
Suasana di dapur menjadi tegang dan tidak nyaman, dengan Elisya yang terlihat gugup dan Narynra yang terlihat penasaran. Elisya merasa seperti sedang diinterogasi, meskipun Narynra belum bertanya apa-apa.
"Anda kenapa?" Tanya Narynra dengan tatapan yang tajam, suaranya terdengar sedikit kasar.
Elisya mencoba untuk menjawab dengan suara yang lembut, "Mmm-mu-ng-kin Ibu cuma masuk angin." Jawabannya terdengar gugup dan tidak yakin.
"Benarkah?" tanya Narynra memastikan, suaranya masih terdengar tajam. Elisya mengangguk, "Iya." Jawabnya singkat dan tidak menjelaskan apa-apa.
Narynra tampaknya tidak puas dengan jawaban Elisya, dia membuka mulutnya untuk bertanya lagi, tapi Elisya memotongnya.
"Ibu ke kamar dulu ada sesuatu yang Ibu lupakan, kalau udah selesai langsung istirahat aja, nanti Ibu yang hidangkan ke meja makan." Ucap Elisya dengan buru-buru, dia segera pergi meninggalkan Narynra tanpa memberikan kesempatan untuk Narynra bertanya lebih lanjut.
Melihat Elisya yang pergi tampak terburu-buru, Narynra merasa ada sesuatu yang Elisya sembunyikan. Dia mengerutkan keningnya, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Namun, Narynra memilih untuk tidak terlalu memikirkannya, dia lebih fokus pada apa yang sedang dia lakukan. Dengan gerakan tangan yang cepat dan terampil, Narynra melanjutkan pekerjaannya memasak, dia tidak ingin terganggu oleh pikiran-pikiran yang tidak perlu.
"Dia kenapa buru-buru begitu, sudahlah lebih baik aku segera selesaikan ini," ucap Narynra dalam hati.
Dia tidak menyadari bahwa Elisya sedang menyembunyikan sesuatu yang penting.
Narynra fokus pada pekerjaannya, mencoba untuk tidak memikirkan Elisya lagi. Dia mengaduk-aduk masakan dengan sendok, suaranya yang berdesir di wajan memenuhi ruangan.
Setelah beberapa saat, Narynra selesai memasak dan membersihkan dapur dengan rapi, dia menggosok-gosokkan tangannya pada apron untuk membersihkan sisa-sisa makanan.
Setelah puas dengan hasilnya, dia kemudian memutuskan pergi ke kamarnya untuk mandi dan membersihkan diri. Dia berjalan dengan langkah santai, meninggalkan dapur yang kini sunyi.
Sementara itu, Elisya keluar dari kamarnya dan menuju ke dapur untuk menyajikan makanan. Dengan satu tangan yang terluka, Elisya menyajikan makanan ke meja makan dengan susah payah. Dia harus bolak-balik beberapa kali untuk mengambil semua peralatan makan dan makanan, tangannya yang terluka membuatnya kesulitan untuk mengangkat piring dan gelas. Elisya menggigit bibirnya, berusaha untuk tidak menunjukkan rasa sakit yang dirasakannya.
Tiba-tiba, pintu rumah dibuka, Edward serta Lukas pulang. Mereka langsung pergi ke kamar untuk membersihkan diri, berganti pakaian dan mencuci tangan. Setelah selesai, mereka menuju ke ruang makan, melihat Elisya yang baru saja selesai menyajikan makanan.
Suasana di ruang makan menjadi tegang ketika Edward dan Lukas melihat tangan Elisya yang terbalut perban. Mereka berdua saling menatap, kemudian kembali memandang Elisya dengan penuh kekhawatiran.
"Tangan kamu kenapa sayang?" Tanya Edward dengan suara yang lembut, sambil menyentuh perban yang membalut tangan Elisya. Dia menatap Elisya dengan mata yang penuh pertanyaan, berusaha untuk memahami apa yang terjadi.
Lukas juga ikut bertanya, "Iya Bu, tangan ibu kenapa?" Dia berdiri di sebelah Edward, wajahnya penuh dengan kekhawatiran.
Elisya tersenyum lemah, berusaha untuk tidak menunjukkan rasa sakit yang dirasakannya. Dia menggelengkan kepala, "Gapapa, cuma ketumpahan teh aja tadi," jawab Elisya dengan suara yang lembut. Dia mengangkat tangannya yang terluka, menunjukkan perban yang membalut tangan kanannya.
"Gimana ceritanya kamu bisa ketumpahan teh?" Tanya Edward dengan rasa ingin tahu yang besar, sambil memiringkan kepala ke samping dan mengangkat alisnya. Dia menatap Elisya dengan ekspresi yang penuh penasaran.
Elisya mengambil napas dalam-dalam, kemudian mulai menjelaskan. "Tadi aku lagi goreng ikan, trus aku mundur buat hindari cipratan minyak," ucap Elisya sambil menggerakkan tangannya yang tidak terluka untuk menunjukkan gerakan yang dia lakukan. Dia mencontohkan gerakan mundur dengan tubuhnya, sambil mengangkat tangan yang tidak terluka untuk menunjukkan bagaimana dia menghindari cipratan minyak.
"Cuma itu bareng sama Narynra lewat pas dia bawa teh, trus tehnya tumpah ke tanganku," lanjut Elisya dengan ekspresi yang sedikit sedih. Dia menundukkan kepala, sepertinya dia masih merasa bersalah atas kecelakaan itu.
Elisya mengambil napas lagi, "Huuufftt...... salah aku karena ga hati-hati," ucap Elisya dengan nada yang sedikit menyesali. Dia menggoyangkan kepala, sepertinya dia sedang memikirkan bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi.
Edward dan Lukas saling menatap, kemudian kembali memandang Elisya. Mereka berdua mengangguk, sepertinya mereka sudah memahami apa yang terjadi.
Narynra datang lalu bergabung dengan mereka, langsung duduk di meja makan tanpa menyapa Edward, Lukas, dan Elisya yang masih berdiri. Dia mengambil makanan dan mulai memakannya dengan lahap, seolah-olah tidak ada yang salah.
Edward melirik Narynra dengan mata yang penuh kekecewaan. "Naryn," panggil Edward dengan nada yang lembut.
Narynra berhenti makan sejenak, lalu menjawab dengan nada yang datar, "Kenapa Yah?"
Edward menatap Narynra dengan mata yang tajam. "Kamu tau Ibu kamu tangannya terluka, kamu ga bantuin dia siapin makanan, malah sekarang langsung duduk tanpa sedikit perduli ke Ibu kamu," ucap Edward dengan nada yang penuh kekecewaan.
Narynra menatap tajam Edward, lalu beralih menatap Elisya seolah-olah dia bertanya maksud dari perkataan ayahnya. Tanpa berkata apa-apa, Narynra menanti reaksi Elisya.
"Mas Nar-" ucap Elisya terpotong
"Diem sayang, jangan kamu bela dia," ucap Edward pada Elisya. "Harusnya walaupun dia belum terima kamu jadi ibunya, walaupun sedikit setidaknya dia harus perduli dengan kamu, apalagi dengan keadaan kamu ini," lanjut Edward dengan nada yang penuh emosi.
Edward kemudian beralih ke Narynra, "Liat tangan Ibu kamu, kenapa kamu ga bantuin dia siapin makan, padahal kamu tau dia sedang terluka? Trus sekarang kamu datang tidak tanya keadaan ibu kamu, langsung duduk dan makan, apa kamu ga punya hati? Sepertinya selama ini Ayah kurang mendidik kamu sampai kamu jadi anak yang tidak punya rasa perduli dengan orang lain," ucap Edward dengan nada yang keras.
Narynra menatap Edward dengan mata yang berkaca-kaca, lalu menjawab dengan nada yang dingin, "Oh jadi Ayah pikir aku seperti yang Ayah bilang? Okeh, anggap aja aku seperti yang Ayah bilang. Tapi harusnya Ayah lebih tau aku gimana. Aku kecewa sama cara Ayah menilai aku," ucap Narynra dengan nada yang penuh emosi.
Narynra meletakkan sendoknya, lalu berdiri dengan perlahan. Dengan perasaan yang sangat sedih, dia meninggalkan meja makan dan pergi meninggalkan mereka. Suasana di ruang makan menjadi tegang dan tidak nyaman. Edward dan Elisya saling menatap.
Sementara Lukas menatap kepergian Narynra. "Baru kali ini aku lihat dia sangat kecewa" ucap Lukas dalam hati.
Elisya menatap Edward dengan mata yang sedikit kecewa, "Mas kamu salah, justru tadi Narynra yang bantuin aku masak dan asal kamu tau tadi setelah aku ketumpahan teh dia langsung obatin luka aku," ucap Elisya dengan nada yang lembut namun tegas.
Elisya melanjutkan, "Bahkan dia terlihat sangat perduli sama aku, setelah obatin luka aku dia juga larang aku buat masak dan dia sendiri yang masak semua makanan ini. Bahkan waktu aku suruh dia buat istirahat aja dia ga mau," ucap Elisya sambil menggelengkan kepala.
Elisya menatap Edward dengan mata yang sedikit kesal, "Kamu kenapa potong ucapan aku sih tadi, sekarang jadi salah paham kan?" ucap Elisya dengan nada yang sedikit kecewa.
Edward hendak meminta maaf, "Maaf sayang aku ga bermaksud begitu, aku pikir tad-"
Namun Elisya memotong ucapan Edward, "Sudahlah kamu makan aja sama Lukas, aku udah ga selera makan," ucap Elisya sambil menggelengkan kepala.
"Oh ya malam ini kamu tidur di kamar tamu aja, sebelum kamu dapat maaf Narynra kita jangan satu kamar lagi," lanjut Elisya dengan nada yang tegas.