Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 MENJAUH
Hari ini adalah hari terakhirku di rumah itu. Aku sudah menyiapkan semuanya, hanya menyisakan beberapa benda kecil yang tidak berarti. Pagi itu, aku sengaja membiarkan semua baju kotor menumpuk di pojok kamar, piring-piring kotor masih berjejer di wastafel, dan lantai penuh debu yang tak tersapu.
Aku berdiri sejenak di tengah ruang tamu, menatap keadaan rumah yang berantakan. Bukan karena aku malas, tapi karena aku ingin Mas Erlangga dan keluarganya merasakan bagaimana hidup tanpa aku yang selalu diperlakukan seperti pembantu.
“Biar saja mereka yang mengurusnya… toh selama ini mereka hanya tahu menyuruh,” bisikku dengan senyum tipis.
…
Aku menahan napas, menyembunyikan degup jantung yang berisik di dada. Dengan senyum tipis, aku mendekati mertuaku yang sedang duduk di ruang tengah.
"Bu… saya mau keluar sebentar, belanja kebutuhan harian. Persediaan sudah mulai habis," ucapku pelan, berusaha terdengar wajar.
Beliau menoleh sekilas, wajahnya datar. "Iya, pergi saja. Jangan lama-lama," jawabnya singkat.
Aku mengangguk cepat. "Baik, Bu. Terima kasih."
Senyumku masih terpasang, padahal dalam hati aku menjerit lega. Hari ini, izin keluar itu bukan sekadar belanja—tapi tiket kebebasan untuk selamanya.
Aku melangkah keluar dengan langkah tergesa, seakan dunia baru menungguku di luar pagar rumah itu. Untuk terakhir kalinya aku menoleh, menatap rumah yang selama ini lebih banyak menyisakan luka daripada bahagia. Hanya sejenak, lalu aku membuang pandangan.
Di tanganku, tas kecil berisi beberapa menyimpan bukti perselingkuhannya. Nafasku terasa lebih ringan meski dada ini masih perih.
Dengan bukti ini aku bisa ajukan cerai secepatnya. Walau pun aku harus kumpulkan uang dulu untuk pengajuan.
…
Sebentar lagi aku akan sampai di tempat tinggalku yang baru. Jalan yang kulalui semakin sempit, dipenuhi semak di sisi kiri kanan. Aku memilih sebuah kosan murah dan terpencil, jauh dari keramaian, agar keberadaanku tidak mudah diketahui oleh Mas Erlangga.
Aku pun terpaksa harus tinggal di tempat ini. Ruangan sempit dengan tembok lembab, kipas angin tua yang sudah berdebu, dan jendela kecil yang hanya ditutup tirai lusuh. Tidak ada kenyamanan di sini, tapi setidaknya aku bisa bernapas lega tanpa tatapan sinis mertua atau ocehan Mira dan Clara.
Aku tidak mungkin pulang ke rumah ibu. Aku tahu betul, jika aku kembali, ibu hanya akan menyuruhku balik pada Mas Erlangga. Baginya, aku hanyalah alat untuk melunasi hutang mereka. Sekali pun aku menangis atau mengadu, ibu akan tetap membela Mas Erlangga.
Dan selama itu pula aku tidak akan mengaktifkan ponselku. Karena aku yakin mas Erlangga dan ibunya akan mencariku.
…
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Suara jangkrik terdengar bersahutan di luar kosan sempitku, aku mulai menyalakan ponselku yang sengaja aku matikan, saat ponsel itu sudah dalam mode siap layar ponsel terus menyala berkali-kali. Pesan demi pesan masuk, panggilan tanpa henti dari Mas Erlangga.
Aku hanya menatapnya sekilas, lalu meletakkannya kembali di atas meja kayu kecil di samping ranjang. Biarlah seperti itu. Aku tidak ingin menjawab, tidak ingin menenangkan dia, tidak ingin lagi memberi kesempatan untuk menjelaskan dengan kata-kata manis yang penuh kebohongan.
Untuk pertama kalinya aku merasa bebas, meski di tengah kesunyian malam ini ada rasa takut yang menyelinap. Namun aku tahu, jika aku membalas satu saja pesannya, semua usahaku untuk pergi akan sia-sia.
…
Menjelang pagi, aku terbangun dengan tubuh lebih segar dan enteng. Cahaya matahari yang masuk dari celah jendela kecil membuat ruang kosan sederhana ini terasa hangat. Biasanya, di jam seperti ini aku sudah berlari ke dapur, menyiapkan sarapan, membersihkan rumah, mengurus anak-anak Mas Erlangga, dan melayani semua kebutuhan mertua.
Tapi kali ini berbeda. Tidak ada suara bentakan, tidak ada tatapan meremehkan, tidak ada beban yang memaksaku bergerak sebelum aku sendiri siap. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, aku bisa duduk tenang di tepi ranjang, menghirup udara pagi tanpa terburu-buru.
"Dari pada pusing mikirin keluarga Mas Erlangga. Lebih baik aku keluar mencari makanan."
Aku melangkah keluar, menyusuri gang kecil yang sepi. Udara pagi terasa berbeda, lebih ringan, meski sesekali tercium aroma gorengan dari warung pinggir jalan. Aku memilih berjalan santai, mencoba menikmati setiap langkah.
Tak jauh dari kosan, aku menemukan sebuah warung sederhana yang menjual nasi uduk dan gorengan hangat. Aku duduk di bangku kayu yang agak reyot, memesan sepiring nasi uduk dengan tempe goreng.
Sambil menunggu, aku termenung sambil menunggu pesananku jadi. Tiba-tiba ponselku bergetar, Aku sempat ragu untuk melihatnya, tapi akhirnya kubuka juga.
Ternyata benar, dari Mas Erlangga.
Pesan demi pesan masuk, semua isinya sama saja—tuntutan dan cacian.
"Ratu, kamu pikir kamu bisa seenaknya meninggalkan rumah?!"
"Cepat pulang sebelum aku jemput dengan cara yang tidak enak!"
"Jangan lupa, kamu itu istri! Tugasmu urus rumah, urus anak-anak, bukan keluyuran seperti ini!"
Malas melihat pesan, aku memutuskan untuk mengabaikan. Sayangnya ponselku terus saja berbunyi. Ternyata bukan hanya pesan dari dia saja, melaikan ibu dan kakakku Bima ikut mengirim pesan dengan kata-kata yang cukup membuat ulu hatiku perih.
Dari ibu: “Ratu, kamu di mana? Erlangga datang ke rumah buat cari kamu. Kenapa kamu tidak pulang? Jangan bikin malu. Kembalilah, atau jangan harap ibu dengar alasanmu!”
Dari Bima: “Kamu durhaka! Kami yang susah payah, kamu malah kabur begitu saja. Pulang dan hadapi semua!”
Lalu ada satu pesan terakhir dari Erlangga yang membuat darahku mendidih: “Kembalilah atau aku buat ibu dan kakakmu menyesal. Jangan kira bisa lari begitu saja, Ratu!”
Melihat pesan dari mereka, yang selalu jadi tameng. Aku yang dipaksa menikah demi melunasi utang mereka. Aku yang dijadikan kambing hitam setiap ada masalah di rumah. Sekarang, biarlah mereka merasakan akibat dari pilihan mereka sendiri.
“Bagus,” batinku. “Kalau mereka diancam Erlangga, itu bukan urusanku lagi. Aku sudah keluar, aku sudah bebas. Biarlah ibu dan Bima merasakan sakit yang dulu mereka paksa aku tanggung.”
Ponselku terus bergetar, pesan masuk silih berganti. Kata-kata kasar, tuduhan durhaka, bahkan ancaman balik. Tapi aku justru tertawa kecil. “Kalian kira aku akan kembali karena belas kasihan? Tidak. Aku justru ingin melihat bagaimana kalian hancur bersama Erlangga. Itu balasanku.”
Selesai membeli makan, aku memutuskan untuk kembali ke kos. Baru saja aku melangkah untuk menyebrang, tiba-tiba.
“Awas!” suara itu begitu dekat dan panik.
Aku menoleh, hanya sepersekian detik sebelum sebuah motor melaju kencang ke arahku. Degup jantungku seakan melonjak ke tenggorokan, kakiku kaku tak sempat bergerak.
Dalam kekalutan itu, aku merasakan sebuah tarikan kuat di lenganku. Tubuhku terseret mundur, hampir terjatuh ke trotoar. Motor itu melintas dengan suara klakson memekakkan telinga, begitu dekat hingga hembusan anginnya terasa menyapu wajahku.
Aku terengah, masih syok. Tatapanku beralih pada sosok yang baru saja menarikku—seorang pria dengan napas terengah, matanya tajam menatapku.
“Kamu gila? Mau mati?” katanya, nadanya tegas sekaligus khawatir.
Aku masih terdiam, tubuhku gemetar, tak percaya aku hampir kehilangan nyawa barusan.
Aku masih berdiri kaku, tubuhku gemetar. Pria itu menatapku tajam sambil masih menggenggam lenganku.
“Kamu barusan nyebrang tanpa lihat kanan kiri? Mau celaka? Kalau aku nggak tarik, mungkin kamu sudah habis ditabrak.”
“A-aku… aku nggak sadar… pikiranku lagi…”
Pria itu menghela napas panjang, lalu melepas genggamannya dengan agak kasar, seakan menyalurkan kekesalan yang bercampur dengan rasa khawatir.
“Hati-hati dong, hidupmu itu berharga. Jangan sembarangan.”
Aku menunduk, suaraku bergetar. “Terima kasih… kalau bukan karena kamu, mungkin aku sudah…”
“Hei, jangan bilang hal aneh-aneh. Nyawa nggak bisa diulang. Kamu masih muda, jangan sampai hancur cuma karena pikiranmu sendiri.”
Aku menatap wajahnya sebentar, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Ada sesuatu pada sorot matanya, tegas tapi hangat.
“Maaf… aku benar-benar bikin repot.”
“Bukan soal repot. Tapi lain kali jangan bikin orang asing jantungan gara-gara kamu ceroboh. Dari dulu kamu memang tidak pernah berubah ya, Ratu."