Lima tahun pernikahan Bella dan Ryan belum juga dikaruniai anak, membuat rumah tangga mereka diambang perceraian. Setelah gagal beberapa kali diam-diam Bella mengikuti proses kehamilan lewat insenminasi, dengan dokter sahabatnya.
Usaha Bella berhasil. Bella positif hamil. Tapi sang dokter meminta janin itu digugurkan. Bella menolak. dia ingin membuktikan pada suami dan mertuanya bahwa dia tidak mandul..
Namun, janin di dalam perut Bella adalah milik seorang Ceo dingin yang memutuskan memiliki anak tanpa pernikahan. Dia mengontrak rahim perempuan untuk melahirkan anaknya. Tapi, karena kelalaian Dokter Sherly, benih itu tertukar.
Bagaimanakah Bella mengahadapi masalah dalam rumah tangganya. Mana yang dipilihnya, bayi dalam kandungannnya atau rumah tangganya. Yuk! beri dukungungan pada penulis, untuk tetap berkarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Delapan. Kecurigaan Opung.
"Pakai cincin atau tidak itu urusan kami, masalah buat Bibi?" ucap Gavin ketus.
"Tentu saja tidak. Tapi, pria sekelas kamu pelit amat sama tunangan kamu.... Kasihan. Memang sih, cewek kamu kampungan juga. Keliatan banget dari gayanya." sindir Hilda pedas membuat telinga Gavin memerah.
"Jangan menilai seseorang dari luarnya saja, Hilda. Yang berpenampilan bagus pun belum tentu punya adab dan akhlak yang baik." sahut Pak Bonar memberi pembelaan.
"Tapi kan Pa, jangan malu-maluin keluarga kita. Setidaknya selevel dengan keluarga kitalah."
"Maksudmu, Soraya lebih baik dari Bella gitu? Apa kamu sudah lupa apa yang dia lakukan pada Gavin, lima tahun yang lalu. Sangat tidak tau malu, berani menginjakkan kakinya lagi di lantai rumah ini." kecam Pak Bonar telak. Membuat semburat merah di wajah Soraya.
"Pa, Soraya pergi demi karirnya. Sekarang dia sudah sukses." Bela Hilda kesal.
"Lantas seenaknya mau balik ke Gavin, gitu?" beliak Pak Bonar meradang.
"Setidaknya dia lebih baik dari pada perempuan kampungan itu."
"Apa hak Bibi mengatur-ngatur jodohku. Bibi urus saja keluarga Bibi." sentak Gavin yang sejak tadi diam. "Biar Bibi tau ya, aku tidak akan terima siapa saja yang mencoba menghina wanitaku!" Gavin berdiri dan meraih lengan Bella. "Ayo pulang!"
"Tidak! Kamu dan Bella tidak boleh pergi. Menginap dulu beberapa hari bersama Opung. Dan kamu Hilda, segeralah pergi. Papa muak melihatmu!" usir Pak Bonar membuat Hilda melotot.
"Aku ini putrimu, Papa!" protes Hilda kesal.
"Dan kamu selalu mengacaukan rumah ini, pergi!"
"Pa, aku datang membawa urusan penting. Menawarkan kerja sama dengan perusahaan tempat Soraya bekerja." Hilda akhirnya teringat dengan tujuannya semula hendak menemui papanya.
"Bekerja sama dengan orang yang tidak punya adab? Kamu sudah gila ya!" ucap Pak Bonar berang. Kebenciannya pada Soraya karena telah membuat malu keluarganya meskipun lima tahun sudah berlalu, tidak akan luntur.
Soraya lah yang membuat cucu kesayangannya selama lima tahun ini berubah. Gavin berubah dingin terutama pada perempuan. Karena Soraya lah Gavin pergi dari rumah dan tinggal di rumah yang ia bangun sendiri. Demi apa, demi melupakan masa lalunya bersama Soraya.
Gavin bekerja keras siang dan malam, sehingga bisa membangun perusahaannya sendiri. Dia menjadi pengusaha yang sukses. Tapi, seiring dengan itu semua ada yang hilang dari cucunya itu. Senyumnya! Kehangatannya!
Gavin lebih memilih tenggelam dengaan urusan bisnis daripada sekedar nongkrong dengan wanita dan merencanakan sebuah pernikahan.
Meskipun sudah berkali-kali dia mengancam cucunya itu.
Dan disaat cucunya mengenalkan tunangannya, entah memang benar atau cuma mengelabuinya. Bersamaan itu pula Hilda membawa Soraya ke rumahnya. Membuat suasana memanas saja.
Hilda akhirnya mengajak pergi Soraya. Bella yang menyaksikan semua itu merasa shok juga. Tidak menyangka kalau kehidupan asmara Gavin penuh drama. Entah seperti apa perasaannya saat ini, saat mengetahui sekilas kehidupan Gavin.
"Jangan diambil hati, setidaknya kamu tau seperti apa orang-orang disekitarku." bisiknya pada Bella. Bella tersenyum kaku, karena dia memang tidak tau harus berbuat apa.
"Vin, kamu siapkanlah kamar untuk Bella, mungkin dia mau istirahat. Atau, biar dia di kamarmu saja."
"Gak usah repot kakek, biar Bella saja yang bereskan." Bella berdiri.
"Iya, kamu di kamar ku saja. Aku dan Martin di kamar tamu." sahut Gavin. "Mari!" Gavin melangkah hendak menunjukkan kamarnya dulu semasa masih tinggal di rumah opungnya.
"Maaf ya, kamu harus menyaksikan kejadian tadi. Selama kamu bersamaku, aku akan lindungi kamu dari Bibi."
"Tidak apa-apa, aku bisa menjaga diri."
"Kamu belum kenal siapa Bi Hilda. Sejak hari ini dia akan berusaha menjatuhkan kamu. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Aku akan pastikan kamu aman. Kamu harus jaga janin di rahimmu." Untuk pertama kalinya Bella melihat dan mendengar Gavin bersikap lembut dan seintens ini. Sejenak Bella lupa kalau hubungan antara mereka hanya sebatas janin di perutnya.
Sudah sepantasnya dia khawatir pada Bella. Karena hormon ibu hamil cendrung tidak stabil kalau mendapat tekanan. Gavin tidak ingin terjadi sesuatu pada calon anaknya yang masih berusia hitungan minggu.
Bella mengerti perasaan Gavin. Bahwa perhatiannya itu hanyalah karena dia mengandung bayinya.
'Kamu tidak perlu cemas. Aku akan menjaga janin ini sebaik mungkin karena aku juga sangat menginginkannya.' Hampir saja kalimat itu terucap dari mulut Bella. Namun, dia sadar posisinya, dia tidak mungkin mengucapkan kalimat itu. Gavin akan curiga nantinya, karena antara mereka tidak ada ikatan apa-apa.
"Aku memiliki rencana, menggelar acara pertunangan di rumah Opung. Aku tau Opung tengah mengendus hal yang mencurigakan dari kita. Dan setelah bertunangan, kita akan lanjut menikah. Aku tidak ingin kakek lebih curiga bila kita menunda lebih lama menikah. Perutmu akan semakin besar. Dan kuharap kamu sudah siap untuk memainkan peranmu. Sebab itulah yang tertulis dalam kontrak."
Hu-uk!
Bella tiba-tiba terbatuk. Karena dia memang belum membaca isi dari perjanjian itu.
"Dan aku mengingatkan lagi. Pernikahan kita akan berakhir begitu kamu melahirkan. Aku akan memerintahkan Martin untuk mengurus uang pembayaranmu. Separuhnya akan dibayar di awal dan sisanya setelah kamu melahirkan."
Hampir saja tubuh Bella limbung, mendengar uraian panjang Gavin. Inikah yang dicoba Sherly jelaskan padanya waktu itu. Menyuruhnya memikirkan baik-baik sebelum membuat keputusan?
"Kamu baik-baik saja, Bella?" kening Gavin berkerut melihat Bella yang sepertinya tidak sedang baik-baik.
"Aku tidak apa-apa. Sepertinya aku memang butuh istirahat. Maafkan aku." Bella segera menutup pintu. Mendadak tubuhnya terasa begitu lelah.
Gavin merasa sedikit heran. Apakah dirinya telah salah bicara. Bukankah semua yang dia utarakan adalah isi perjanjian kontrak yang telah ditanda tanganinya. Mengapa sikapnya seolah kaget. Atau kah dia memang kelelahan atau bosan diingatkan dengan isi kontrak perjanjian itu.
Gavin kembali ke ruang keluarga. Kakeknya masih duduk di kursinya sedangkan Martin asistennya entah kemana.
"Kakek kecewa sama kamu Gavin." desah Pak Bonar menatap cucunya.
"Soal apa Opung?" Gavin berusaha bersikap santai.
"Kamu telah membohongi Opung. Apa lagi yang hendak kamu sembunyikan. Kamu mau mempermainkan Bella ya?" tatapan Pak Bonar semakin lekat, membuat Gavin jengah.
"Maksud Opung apa? Jangan membuat Gavin bingung." Gavin menegakkan tubuhnya demi mendengar ucapan kakeknya.
"Justru kamu yang membuat Opung bingung. Apalagi yang kau tunggu. Apa kamu ingin semua orang melihat perut Bella makin membesar, baru kamu mau menikahinya. Jangan jadi pria pengecut, Gavin!" ucap Pak Bonar lirih namun tajam. Sontak Gavin terkejut.
"Opung?!" ***
"Iya, kamu tidak bisa membodohi lelaki tua ini. Dalam waktu dekat kamu harus menikahinya. Sesegera mungkin!" titah Pak Bonar.
"Iya Opung aku memang akan menikahinya. Tapi beri waktu untukku. Gavin harus ...."
"Apalagi yang kau pikirkan, ha!" Pak Bonar melempar pipa rokoknya pada Gavin. Gavin menangkapnya.***.