Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 JEBAKAN MEYLANI
Sejak pernikahan Amara dengan Bagas, sikap Meylani semakin terang-terangan menunjukkan permusuhan. Kalau sebelumnya hanya sindiran halus, kini setiap kata dan gerakannya seolah ditujukan untuk menjatuhkan Amara.
Pagi itu, Amara turun ke ruang makan. Meylani sudah duduk anggun dengan setelan kerja rapi. Beberapa kerabat keluarga besar Atmadja hadir untuk sarapan bersama. Begitu Amara masuk, Meylani langsung tersenyum manis—senyum yang membuat Amara curiga.
“Amara, kemarilah,” kata Meylani, nadanya seolah penuh kasih. “Aku sudah ceritakan pada keluarga tentang kemampuanmu di bidang desain. Katanya kamu cukup berbakat. Mengapa tidak tunjukkan kepada kami? Biar semua orang tahu kamu tidak hanya numpang nama.”
Beberapa kerabat tertawa kecil. Amara terdiam, bingung harus bagaimana. Ia belum pernah diminta unjuk kemampuan di hadapan banyak orang seperti ini.
Bagas duduk di ujung meja, hanya mengamati tanpa komentar.
“Jangan malu,” lanjut Meylani, kali ini lebih keras agar semua mendengar. “Kalau memang punya bakat, tunjukkan. Atau… memang tidak ada yang bisa dibanggakan?”
Amara menarik napas panjang. Ia tahu ini jebakan. Jika ia menolak, semua akan semakin meremehkan. Jika ia mencoba dan gagal, itu akan jadi bahan ejekan selamanya.
“Iya, Bu,” jawab Amara akhirnya. “Saya akan tunjukkan.”
Ia meminta kertas dan pensil. Dengan tangan yang agak gemetar, ia mulai menggambar. Awalnya garis-garisnya kaku, tapi kemudian pikirannya tenang. Ia membayangkan wajah ibunya, senyum lembut yang selalu memberi kekuatan. Perlahan, gambar itu menjadi potret seorang wanita sederhana dengan mata penuh kasih.
Saat ia selesai, ruangan hening sejenak. Seorang kerabat mendekat, menatap hasil gambarnya, lalu bersuara, “Bagus sekali. Detailnya hidup. Dia benar-benar berbakat.”
Meylani tersenyum kaku. Ia tidak menyangka Amara bisa membuat semua orang kagum.
Bagas menatap gambar itu lama, sebelum akhirnya berkata singkat, “Simpan hasil itu. Jangan dibuang.
Siang harinya, Meylani memanggil Amara ke ruang tamu. Tidak ada siapa pun selain mereka.
“Kau memang pandai menggambar,” kata Meylani, kali ini tanpa senyum. “Tapi jangan kira satu gambar bisa membuatmu diterima di keluarga ini.”
Amara menatapnya tenang. “Aku tidak pernah berniat merebut posisi siapa pun. Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan baik.”
“Dengan baik?” Meylani mendekat, suaranya tajam. “Kau pikir kau bisa hidup tenang setelah menikahi suamiku? Kau salah besar, Amara. Aku akan pastikan setiap langkahmu di rumah ini penuh duri.”
Amara menegakkan tubuh. Meski jantungnya berdebar, suaranya tegas. “Kalau itu yang harus aku hadapi, aku siap.”
Meylani menatapnya lama, lalu tersenyum miring. “Kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan.”
Malam itu, Amara duduk di balkon kamarnya, menatap langit malam. Suara langkah membuatnya menoleh—Bagas datang membawa segelas teh hangat.
“Untukmu,” katanya singkat.
Amara menerimanya, agak terkejut. “Terima kasih.”
Bagas duduk di kursi seberang. “Aku tahu Meylani tidak mudah dihadapi. Tapi hari ini kau sudah lakukan hal yang tepat.”
Amara menatapnya hati-hati. “Kau tidak khawatir semua ini hanya permainan untuk mempermalukanku?”
Bagas menghela napas. “Aku sudah terbiasa dengan permainan di rumah ini. Yang penting, jangan biarkan mereka menang. Kau sudah mulai belajar.”
Ada jeda hening, hanya terdengar suara jangkrik malam. Untuk pertama kalinya, Amara merasa kehadiran Bagas bukan sekadar bayangan dingin, tapi seseorang yang mengerti medan perang yang sedang ia masuki.
Keesokan harinya, gosip baru menyebar di kalangan pelayan. Ada rumor bahwa Amara sengaja mendekati kerabat Bagas untuk mencari simpati. Amara tahu ini ulah Meylani.
Saat ia melewati lorong, dua pelayan berhenti bicara ketika ia lewat, lalu menunduk. Amara bisa merasakan tatapan mereka menusuk punggungnya.
Ia menggenggam tas kecilnya, menahan sakit hati. Tapi dalam hati ia berbisik: Kalau ini permainan, aku akan belajar main lebih baik dari mereka.
Amara sadar, hidupnya di rumah Atmadja tidak akan pernah mudah. Tapi ia juga tahu, setiap kali ia bertahan, ia selangkah lebih dekat untuk membuktikan bahwa ia bukan sekadar istri kontrak—ia adalah seseorang yang akan berdiri di atas semua hinaan.
Sore harinya, Amara berjalan melewati lorong panjang menuju kamar. Suara bisik-bisik pelayan terdengar jelas.
“Kasihan ya, nona muda itu… dipermalukan di depan keluarga.”
“Permalukan? Ah, aku dengar dia justru berhasil bikin semua kagum. Itu yang bikin Nyonya Meylani makin marah.”
“Tetap saja, tidak lama. Wanita seperti itu hanya singgah. Cepat atau lambat akan tersingkir.”
Amara berhenti sejenak. Ia tidak menoleh, tapi kata-kata itu menancap tajam. Dengan tenang ia melanjutkan langkah, meski dalam dadanya ada bara kecil yang semakin menyala.
Di kamar, ia menatap hasil gambar yang masih ia simpan. Potret sederhana itu kini terasa seperti simbol perlawanan. Kalau hanya ini senjataku, aku akan gunakan sebaik mungkin.
Malam itu, ruang makan kembali penuh. Bagas duduk di kursi utama, sementara Meylani dengan anggun menuangkan sup untuk beberapa kerabat. Ketika giliran Amara, Meylani menyeringai.
“Amara, tadi aku dengar kau sedang belajar menjadi tuan rumah yang baik. Bagus. Bagas butuh istri yang bisa melayani tamu dengan sempurna. Mengapa tidak kau tunjukkan malam ini? Ayo, kau yang pimpin acara makan.”
Beberapa kerabat tertawa kecil. Amara sadar, ini jebakan kedua. Kalau ia menolak, ia dianggap tidak mampu. Kalau ia grogi, semua akan menertawakannya.
Dengan tenang, ia berdiri. “Baik. Selamat malam semuanya, silakan nikmati hidangan. Semoga makan malam ini membawa kebersamaan.”
Ia kemudian mulai menuangkan sup ke mangkuk kerabat satu per satu. Gerakannya kaku di awal, tapi perlahan ia menemukan ritmenya. Tidak ada sup yang tumpah, tidak ada tatapan kasihan. Justru sebagian kerabat mengangguk kecil, terkesan dengan ketenangannya.
Bagas menatapnya sekilas, lalu berkata singkat, “Cukup.” Suaranya terdengar seperti pengakuan.
Meylani menggertakkan gigi di balik senyum manisnya. Upayanya mempermalukan Amara gagal untuk kedua kalinya.
Larut malam, Amara duduk lagi di balkon. Udara dingin menusuk, tapi hatinya terasa hangat oleh satu hal: ia bisa menghadapi jebakan Meylani tanpa runtuh.
Ia memandang langit penuh bintang dan berbisik pada dirinya sendiri, “Kalau mereka ingin perang, aku tidak akan mundur. Aku bukan hanya akan bertahan… aku akan melawan dengan caraku.”
Dalam kegelapan, tekad itu semakin kuat. Amara tahu, hidupnya di rumah Atmadja tidak akan pernah mudah. Tapi ia juga tahu, semakin keras mereka menekannya, semakin kuat ia akan tumbuh.
Kerabat-kerabat yang hadir malam itu perlahan menyelesaikan makan. Salah seorang paman yang terkenal keras bicara mendadak bersuara, “Anak muda ini tenang juga. Jarang ada yang baru masuk keluarga bisa begitu sigap.”
Beberapa yang lain ikut mengangguk. Ada yang tersenyum tipis, ada pula yang hanya menunduk, tapi suasana jelas berubah—dari mengejek menjadi lebih menghormati.
Amara hanya menunduk sopan. Ia tahu ini bukan kemenangan besar, tapi cukup untuk membuat hatinya sedikit lebih tegak.
Begitu meja mulai kosong, Bagas bangkit. “Terima kasih sudah datang. Malam ini cukup.” Kalimatnya singkat, tapi ketika matanya singgah pada Amara, ada sorot yang berbeda. Seolah ia mengakui keberanian istrinya tanpa perlu kata panjang.
Meylani masih duduk dengan senyum kaku. Tangannya meremas sendok perak di atas meja, menahan amarah yang tak bisa ditunjukkan di depan orang banyak.
Di kamar, Amara melepas gaunnya, lalu duduk di ranjang dengan tubuh lelah. Ia menatap bayangannya di cermin, gadis sederhana yang kini berdiri di medan perang keluarga besar.
“Kalau tadi aku bisa bertahan, aku juga bisa untuk besok,” bisiknya pada diri sendiri.
Ketukan pintu terdengar. Bagas masuk tanpa banyak suara. “Kau melakukan dengan baik,” ucapnya datar, tapi ada kehangatan samar di balik nadanya.
Amara menoleh, sedikit terkejut. “Aku hanya berusaha.”
“Teruslah begitu.” Bagas lalu keluar lagi, meninggalkan keheningan.
Amara tersenyum tipis. Itu pertama kalinya ia merasa benar-benar diakui sejak hari pernikahan.
Malam itu, sebelum tidur, ia berjanji dalam hati: Aku tidak akan hanya jadi pion di rumah ini. Aku akan berdiri sebagai diriku sendiri, sampai mereka semua tak bisa meremehkanku lagi.