Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TUBUH YANG DISERAHKAN
Malam menjelang pelan. Udara lembap, dingin, dan samar-samar membawa aroma hujan dari balkon kaca apartemen Adrian yang terbuka sebagian. Lampu gantung di ruang utama menyala temaram, memantulkan cahaya lembut ke dinding marmer abu tua dan furnitur kayu gelap. Tempat yang terlalu mewah untuk kesepakatan sekotor ini.
Maya berdiri diam, mematung di tengah ruangan. Tubuhnya dibalut blus tipis yang mulai menempel karena udara lembap. Rok selututnya sedikit kusut, karena duduk gelisah di taksi sepanjang jalan ke sini.
Di hadapannya, Adrian — berdiri dengan tangan di saku, mata tak berkedip, memandangi wanita yang telah menawarkan seluruh martabatnya padanya. Bukan karena cinta. Tapi karena putus asa.
"Minum," ucap Adrian sambil menyodorkan segelas wine yang merah gelap seperti darah. "Kamu terlihat seperti ingin kabur."
Maya mengambil gelas itu. Tangannya gemetar. Ia menyesap sedikit, lalu memejamkan mata. Aroma alkohol membakar tenggorokannya, tapi tak mampu menenangkan degup jantungnya.
"Kalau kamu masih ingin pergi," suara Adrian pelan, nyaris seperti bisikan, "pintu masih terbuka."
Maya membuka mata. Ia menatap pria itu — pria yang akan memiliki tubuhnya malam ini.
"Aku sudah datang," jawabnya pelan. "Aku tidak akan mundur."
Adrian mendekat. Pelan. Langkahnya nyaris tanpa suara di atas lantai kayu. Ia berhenti tepat di depan Maya, tinggi dan tak tergoyahkan. Satu tangannya mengangkat dagu Maya, menatap langsung ke dalam matanya.
"Malam ini, kamu milikku. Bukan karena kamu ingin. Tapi karena kamu memilih untuk menyerahkan dirimu. Aku tidak akan bersikap lembut. Tapi aku tidak akan menyakitimu kecuali kamu membohongiku."
Maya mengangguk sekali. "Saya tahu… dan saya siap."
Adrian mengambil gelas dari tangannya, menaruhnya di meja. Lalu, dengan gerakan perlahan tapi penuh kendali, ia mulai membuka kancing blus Maya satu per satu.
Maya tidak bergerak. Ia membiarkan tangannya menjelajah, membuka dengan sabar, memperlambat waktu. Setiap bunyi “klik” dari kancing terdengar seperti palu memukul harga dirinya.
Saat kain itu akhirnya meluncur dari bahunya dan jatuh ke lantai, Maya berdiri hanya dengan bra renda hitam dan rok. Tubuhnya kaku. Napasnya mulai cepat.
Adrian tidak mengatakan apa pun. Ia hanya membiarkan matanya berjalan dari leher Maya, ke dadanya, turun ke pinggang dan kaki. Bukan seperti pria lapar, tapi seperti seseorang yang baru saja mendapatkan barang yang ia beli dengan sangat mahal.
“Kamu cantik,” bisiknya, tanpa ekspresi. “Tapi yang membuatku tertarik… adalah caramu menyerah.”
Tangan Adrian bergerak ke pinggang Maya, menariknya perlahan. Bibirnya menyentuh leher Maya — tidak dengan kelembutan, tapi dengan tekanan. Maya mengejang, tapi tidak menolak.
Lalu bibirnya naik ke telinga.
"Mulai sekarang, tubuhmu bukan milikmu lagi."
"Aku yang mengatur kapan kamu boleh disentuh, dan kapan kamu harus telan jang. Di tempat tidurku… atau di mana pun aku minta."
Maya menahan napas. Kata-kata itu menusuknya lebih dalam dari ciuman mana pun. Tapi ia tetap berdiri. Tetap diam. Karena ini jalan yang ia pilih.
Adrian menarik resleting roknya, membiarkannya jatuh ke lantai. Kini Maya berdiri di hadapannya hanya dengan pakaian dalam. Ia menunduk sedikit, malu. Tapi Adrian mencengkeram dagunya.
"Lihat aku."
"Kamu boleh malu. Tapi kamu tidak boleh berpaling. Kamu milikku. Dan kamu akan mengingat malam ini… setiap kali aku menyentuhmu lagi."
Lalu Adrian menciumnya. Dalam. Dalam sekali. Bibirnya mendesak, tangannya menggenggam leher belakang Maya, mengendalikan segalanya. Maya sempat melawan, tapi tubuhnya lemas. Ia menyerah, perlahan. Dan akhirnya.. menyatu.
Mereka tenggelam di sofa panjang berwarna gelap. Lampu tak pernah dimatikan. Adrian tak membiarkan bayangan menyembunyikan apa pun.
Tiap gerakan, tiap desahan, tiap perintah, bukan sekadar tentang seks. Tapi tentang kuasa.
Maya tak tahu berapa lama semua itu berlangsung. Tapi saat semuanya selesai, tubuhnya lunglai di ranjang luas yang terasa asing. Dadanya naik turun. Dan Adrian?
Ia berdiri di balkon, telanjang dada, dengan sebatang rokok yang belum dinyalakan, menatap kota yang masih penuh cahaya.
Tanpa menoleh, ia berkata:
“Besok pagi jam delapan. Kita mulai menyusun strategi untuk melawan Reza.”
“Dan Maya…”
“…jangan pernah lupa siapa kamu sekarang.”
Maya menutup matanya.
Ia bukan wanita bebas lagi. Tapi ia adalah ibu yang rela menyerahkan tubuhnya… demi anaknya.
Dan Adrian Lesmana baru saja menandatangani “perjanjian” itu… di atas ranjang.
kamu harus jujur maya sama adrian.