Perselingkuhan adalah sebuah dosa terbesar di dalam pernikahan. Namun, apakah semua perselingkuhan selalu dilandasi nafsu belaka? Atau, adakah drama perselingkuhan yang didasari oleh rasa cinta yang tulus? Bila ada, apakah perselingkuhan kemudian dapat diterima dan diwajarkan?
Sang Rakyan, memiliki sebuah keluarga sempurna. Istri yang cantik dan setia; tiga orang anak yang manis-manis, cerdas dan sehat; serta pekerjaan mapan yang membuat taraf hidupnya semakin membaik, tidak pernah menyangka bahwa ia akan kembali jatuh cinta pada seorang gadis. Awalnya ia berpikir bahwa ini semua hanyalah nafsu belaka serta puber kedua. Mana tahu ia ternyata bahwa perasaannya semakin dalam, tidak peduli sudah bertahun-tahun ia melawannya dengan gigih. Seberapa jauh Sang Rakyan harus bergulat dalam rasa ini yang perlahan-lahan mengikatnya erat dan tak mampu ia lepaskan lagi.
Kisah ini akan memeras emosi secara berlebihan, memberikan pandangan yang berbeda tentang cinta dan kehidupan pernikahan. Cerita p
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang: Beban Tak Kasat Mata
Damar telah berusia 13 tahun. Ia sudah duduk di bangku SMP. Anak laki-laki Sang itu tumbuh dengan wajah yang serius, serupa dengan ibunya, Florentina. Tidak hanya itu, semua ciri-ciri fisiknya juga mengambil dari garis keturunan mamanya. Kulitnya kuning langsat, tidak seperti Sang yang cenderung gelap. Wajahnya pun bersemu atmosfer kebule-bulean, agak terasa Eropa. Damar sangat tampan. Belum lagi tubuhnya yang tegap untuk umurnya. Keterlibatannya di olahraga bola basket di sekolah sangat didukung kedua orang tuanya.
“Pa, aku ketemu Ie Ie Sia Sia di jalan tadi. aku sapa, sih. Tapi, ehm … dia nggak respon. Mungkin karena nggak pakai kacamata, atau aku salah manggil namanya?”
Sang terkekeh. “Nggak, kamu nggak salah. Kan memang dipanggil Sia Sia, juga Florencia kalau di kantor. Dia memang gitu orangnya. Kurang memperhatikan,” Sang kembali terkekeh.
Damar yang paham maksud ayahnya itu juga ikut tertawa.
Gendhis kini yang berusia 11 tahun. Ia saat itu masih memandang gadis Tionghoa itu sebagai sosok yang aneh.
“Panggil aja Ie Ie Sia Sia, ie ie artinya bibi. Dia kan orang Tionghoa. Biasa dipanggil Sia Sia di rumah,” ujar Sang waktu itu menjelaskan tentang Florencia.
Tak lama Sang tertawa di dalam hati mengingat percakapan mereka tempo hari.
“Pak, kapan itu Gendhis manggil aku tante. Rasanya tua banget. Ya, memang udah tua sih, 27 juga sekarang. Tapi, jangan tante lah, Pak. ie ie aja.”
“Ie ie bahasa Hakka, ya?”
Florencia meringis. “Bukan, Pak. Bahasa Tio Ciu. Habisnya kalau di Hakka jadi ji ji, atau aji. Jadi kayak ji, ji, ji, baby, baby, baby …, gitu.” Florencia kembali meringis.
Sang baru sadar bahwa yang dimaksud Florencia adalah lirik lagu idol cewek Korea Girl’s Generation, Gee.
Sang tertawa.
“Ya, sudah. Nanti kamu dipanggil Ie Ie Sia Sia aja ya.”
Florencia tersenyum lebar.
Mulai saat itu, panggilan Ie Ie Sia Sia terpatri dan awam untuk digunakan oleh ketiga anak Sang. Nama Sia Sia juga akhirnya sering juga digunakan di lingkungan kantor media tersebut, terutama ketika banyak yang tahu bahwa Florencia juga dipanggil dengan Sia Sia dan itu juga berarti gila.
Sang sendiri, di kesehariannya tetap saja memanggil Florencia dengan namanya, meskipun kadang-kadang ia menggunakan Sia Sia hanya untuk bercanda saja.
Tahun ketiga ini, yang dengan singkat Sang sudah berhasil menyicil rumah sekaligus mobil, adalah sebuah pencapaian yang gila-gilaan.
Namun, sesungguhnya di saat itulah jiwanya serasa terkuras, semangatnya tercerabut dari dasarnya. Ia lupa untuk apa ia melakukan semua ini.
Jati, umur 4 tahun, memandang ayahnya dengan sumringah. Dari kecil Jati sudah menjadi salah satu fans terbesar ayahnya itu.
“Halo, Jat. Mau ikut Papa melakukan sesuatu?”
“Mau,” jawab Jati cepat. Apapun ia lakukan asal bisa dekat dengan ayahnya.
“Papa mau bikin maket.”
“Maket? Apa itu?”
“Ayok, ikut aja. Lihat baik-baik. Nanti pelan-pelan bisa bantu Papa.”
Setelah bekerja sepanjang tahun, memang Sang terus berusaha untuk menjaga kewarasannya. Ngopi, mengobrol dengan teman-temannya, dan membuat maket adalah caranya untuk tidak gila. Dalam beberapa waktu, ini memang lumayan membantu. Hanya saja, beban tak kasat mata yang selalu membayanginya bagai kumpulan awan hitam di atas kepalanya itu terlalu sulit untuk dinisbikan.
Jati, yang menggemari ayahnya begitu rupa, cepat saja beradaptasi dengan cara kerja sang ayah. Tangan-tangan kecilnya yang masih tidak terlalu stabil ikut mencoba menempel – ia belepotan lem – atau menyusun potongan kertas dan karton bersama ayahnya.
Sang tertawa, tetapi tidak melarang meskipun tumpukan kertas Jati sama sekali tidak sempurna. Kemiringan dinding, atap bahkan lantai sama sekali bukan masalah. Anak itu memerlukan waktu dan kepercayaan yang diberikan sang ayah.
“Jati, kenal teman-teman Papa, kan?”
Jati mengangguk. Tetapi pandangannya tetap fokus di maket yang sedang dibangun mereka.
“Ingat, selalu sopan dengan mereka. Ada Om Adi, Tante Juang, Ie …,”
“Ie Ie Sia Siaaa …,” serunya.
Sang tertawa. “Eh, sudah hapal, kamu, Jat.”
“Tante Juaang …”
“Iya, kan tadi sudah disebut.”
“Tante Juaaangg …”
Sang tertawa. Ia tahu kala itu bahwa anak laki-laki bungsunya itu melihat Juang dengan keterpesonaan tulus seorang anak laki-laki.
“Tunggu sampai Tante Juang tahu kalau kamu menganggapnya menarik, Jati,” gumam Sang.
Jati, si kecil, tidak terlalu paham dengan apa yang diucapkan ayahnya, bahasanya terlalu berat dan dewasa untuk ukuran anak sekecil itu. Makanya Jati tak ambil pusing. Ia melanjutkan berkutat dengan kertas-kertas karton, menyusunnya sedemikian rupa dan menempelnya kalau bisa.
Beragam kegiatan yang dilakukan Sang, baik bersama anak-anaknya, maupun Florentina, istrinya, dijalankan dengan sepenuh hati. Ia pun sungguh tak menyesal dan tak keberatan. Namun, ada kalanya semuanya menguar keluar begitu saja bersama dengan tenaga dan energinya. Sang menjadi lelah. Sekali lagi, bukan karena ia tak rela, malah sebaliknya ia juga lega, hanya saja mendung itu ada terus bersamanya.
“Sayang? Capek?” tanya Florentina pendek.
Begitulah cara Florentina berkomunikasi dengan suaminya. Pelan dan pendek-pendek.
“Sepertinya sedang nggak enak badan saja, Sayang.”
“Sudah beberapa hari kamu seperti ini. Ada masalah?”
“Di kantor? Hmm … nggak, juga, sih. Setahuku tidak ada yang terlalu berlebihan.” Sang membaringkan kepalanya di paha Florentina.
Florentina, memang bukan tipe yang suka memaksa seseorang untuk mengutarakan isi hatinya. Ibu dengan tiga orang anak tersebut tidak tega untuk mendorong dan menyelidiki secara terus-menerus kegundahan jiwa sang suami yang cukup terlihat itu. Ia hanya mengelus-elus kening dan rambut Sang sampai suaminya itu tertidur. Florentina sangat berharap, apapun yang sedang menjadi kegundahan Sang akan melumer dengan sumbangsih sedikit perhatiannya ini.
Sang sendiri emoh untuk membuat Florentina sampai berpikir berlebihan. Misi utamanya dari dahulu adalah untuk membuat pasangannya itu tidak menderita, baik perasaan maupun secara fisik. Mungkin memang ia tak menutup-nutupi apa yang sedang ia pikirkan, toh ia masih tak terlalu tahu apa yang menjadi sumber masalahnya. Namun, dengan mengorek-orek, ia takut malah dapat menciptakan beban pikiran Florentina. Itu sama saja ia menyakiti dan membuatnya menderita.
Esok paginya, Sang sampai di kantor media. Ia berpapasan dengan Juang yang terlihat cantik – selalu cantik – dengan busana kantor resmi tetapi pas di badannya itu. Di sampingnya, berdiri tinggi menjulang, Sia Sia, rambut lurus berponinya dihiasai pita besar berwarna merah terang di bagian belakang. Bibirnya merah merona dilipstiki, dan busananya tak kalah heboh: baju bergaya sailor, ciri khas seragam sekolah siswi-siswi Jepang yang kerap menjadi ide di berbagai macam judul anime dan manga.
“Halow, Pak Sang,” sapa Juang dengan suara lembut yang dibuat-buat.
“Halo Pak,” sapa Florencia juga dengan suara rendah, alto, datar dan mendengungnya.
Sang hanya mengangguk, tetapi tersenyum.
Setelah mereka berpapasan, iseng Sang melirik ke arah Florencia yang berjalan menandak-nandak, memantul-mantul seperti kelinci itu. Ia tersenyum sendiri.
kelainan kek Flo ini, misal nggak minum obat atw apa ya... ke psikiater mungkin, bisa "terganggu" nggak?
kasian sbnrnya kek ribet kna pemikirannya sendiri
Awalnya sekedar nyaman, sering ketemu, sering pke istilah saling mengganggu akhirnya?
tapi semoga hanya sebatas dan sekedar itu aja yak mereka. maksudnya jngn sampe kek di sinetron ikan terbang itu😂
biarkan mereka menderita dan tersiksa sendiri wkwkwkwk.
Setdahhh aduhhh ternyata Florencia???
Jangan dong Flooo, jangan jadi musuh dari perempuan lain.
Itu bkn cinta, kamu ke Sang cuma nyaman. Florentina selain cantik baik kok, anaknya tiga loh... klopun ada rasa cinta yaudah simpan aja. cinta itu fitrah manusia, nggak salah. tapi klo sampe kamu ngrebut dari istri Sang. Jangan deh yaa Flo. wkwkwkwk
Keknya Florentina biarpun sama introvert kek Flo, tipe yg kaku ya... berbeda sama Flo. intinya Sang menemukan sesuatu yg lain dari Flo, sesuatu yg baru... ditambah dia lagi masa puber kedua. yang tak dia temukan sama istrinya. Apalagi setelah punya tiga anak. mungkin yaaa
Flo dengan segala kerumitannya mungkin hanya ngrasa nyaman, karena nggak semua orang dikantor bisa memahami spt Sang memahami Flo. sekedar nyaman bkn ❤️😂
Flo berpendidikan kan? perempuan terhormat. masa iya mau jadi pelakorr sihh? ini yg bermasalah Sang nya. udah titik. wkwkwkwk