Caroline Damanik Dzansyana, hanya gadis malang berprofesi sebagai koki dessert di sebuah restoran Itali, dia diberatkan hidup karena harus membiayai rumah sakit ibu angkatnya yang koma selama satu tahun terakhir ini karena sebuah kecelakaan tragis.
Lalu, di suatu hari, dia dipertemukan dengan seorang wanita berwajah sama persis dengannya. Dia pikir, pertemuan itu hanyalah kebetulan belaka, tetapi wanita bernama Yuzdeline itu tidak berpikir demikian.
Yuzdeline menawarkan perjanjian gila untuk menggantikan posisinya sebagai istri dari pewaris Harmoine Diamond Group dengan bayaran fantastis—300 Milyar. Namun, Caroline menolak.
Suatu malam, takdir malah mempertemukan Caroline dengan Calvino—suami dari Yuzdeline dan menimbulkan kesalahpahaman, Calvino mengira jika Caroline adalah istrinya, sehingga dia menyeretnya masuk ke hidupnya.
Sejak saat itu, Caroline tidak pernah bisa kembali ke hidupnya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apa yang akan Caroline lakukan untuk kembali ke hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teriablackwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19—PPMITMC
Kedatangan Calvino mengguncang jiwa Caroline. Gadis itu membulat, tegang. Embusan yang diurai memiliki energi yang lebih kuat dibanding pikiran positifnya.
Caroline terkunci. Dia tak lagi mampu mengelak ataupun menghindar, karena Calvino telah menahan kakinya di tengah dua kaki gadis itu yang setengah terangkat.
Pinggang terpenjara genggaman tangan kekar Calvino, ditambah—paras tampan pria itu jatuh tepat di matanya. "Kalau kamu sangat menginginkannya, mari kita lakukan sekarang," katanya.
Apa?
Caroline termenung, kelimpungan. Arah pembicaraan ini mengalir ke mana. "Apa?" seru Caroline, terheran-heran.
"Aku keluar cuman nyari baju yang semalam," sambungnya menjelaskan tujuannya tadi.
Sring!
Aroma perpaduan langka itu kembali menjelma, membuat jantung Calvino berdebar tidak karuan, dia menggila karena hal itu.
Linglung di depan Caroline. Aroma hangatnya kayu cendana yang lembut, samar manis vanila bourbon dan segaris tipis aroma hujan pertama yang jatuh ke tanah.
Calvino tergemap akan aroma itu, yang lebih mengejutkan adalah ..., aroma itu seolah timbul dari bibir Caroline—wanita yang dia anggap istrinya.
"Baju semalam udah aku suruh bakar, karena baju itu gak cocok digunakan oleh istri dari Calvino Vandzani Harmoine," tukasnya kian melekat.
Dengan mata terpejam, lelaki itu turun ke tulang leher. Glek!
Air liur mengalir tanpa aba-aba. Calvino terbenam di ceruk leher Caroline. "Kamu selalu memaksaku untuk bermain di ranj*ng, bagaimana jika hari itu, hari ini."
Cup!
Seketika sekujur tubuh Caroline bergetar, seolah ada aliran aneh yang menyeruak ke partikel-partikel darahnya, Caroline berdebar di waktu yang sama.
Gadis itu masih terperanjat karena bajunya dimusnahkan tanpa sepengetahuannya, ditambah Calvino malah menc*mbunya. "Aarght ...! Hentikan!"
Sigap, gadis itu mendorong Calvino terjatuh ke sisi, lantas dia berlari ujung ranjang, dieratkan tangannya di sekitar dada pula di area perut.
Pasalnya dia hanya menggunakan jubah mandi itu, tanpa ada pelapis lain di dalamnya. Wajahnya memerah, terbakar karena kepanikannya.
"Diam! Jangan bergerak!" teriak Caroline, tersengal-sengal, cemas.
Enggak! Aku bukan istrinya, ya kali membiarkan dia menyentuhku! Oh tidak ...! Tubuhku hanya untuk suamiku, gak ada!
Enak aja. Aku menjaga diriku sampai gak berhubungan dengan orang lain, masa kesalahpahaman ini meruntuhkan prinsipku.
Batin Caroline begitu berisik sampai dia menciptakan ekspresi mengernyit, geli, pun takut menjadi satu kesatuan yang utuh di wajahnya.
Caroline perlahan turun dari ran jang dan tanpa sengaja jubah mandi di bahunya menurun, memamerkan mulus tubuhnya, warna kulit gadis ini cukup sehat.
"Jangan menyentuhku! Karena kita bukan suami-istri," cetus Caroline berlayar ke dekat jendela balkon.
Sepanjang itu, Calvino mengerutkan wajah, seolah sedang menerawang sesuatu yang tidak dia yakini, begitupun dengan alis yang mengerut.
Lelaki yang menarik tangan ke belakang dan menjadikan tangannya tumpuan tubuh, mulai menjulurkan kaki memanjang ke depan. "Aku baru lihat, ternyata marahmu kekanak-kanakan seperti ini," urainya masih dengan tatapan investigasi.
"Bukankah sebelumnya, setiap kita bertengkar, paginya kamu akan kembali dan mendekatiku sampai aku mual," tambah Calvino.
Tanda lahirnya ke mana?
Dia bilang, kalau dia punya tanda lahir di bahu kanan, warnanya kemerahan, cenderung merah muda.
Terus, barusan aku lihat gak ada? Apa dia menutupinya?
Batin Calvino menduga-duga ke mana hilangnya tanda lahir merah muda yang dia lihat di bahu Yuzdeline.
Ck.
Caroline mulai geram dengan semua ini. Harus dengan cara apa lagi dia membuktikan kalau dia bukanlah Yuzdeline, melainkan wanita lain yang mirip.
Hentakkan kaki digemparkan olehnya. "Heh, Tuan Calvino yang terhormat," tukasnya mendelik, kesal.
"Ini terakhir kali, saya bicara jujur dan gak ada yang saya tutupi, saya!" Caroline menunjuk dirinya dengan tegas dan serius, "Bukan istri Anda! Istri Anda mungkin aja melarikan diri, karena dia hampir gila menghadapi Anda!"
Fokus Calvino tak lagi dengan apapun yang dikatakan Caroline, dia terhipnotis oleh aroma aneh yang selalu hadir ketika ia tidak dibutuhkan ataupun di waktu-waktu tak terduga.
Ia datang mendadak dan pergi tanpa diperintah, ia selaku menghilang di waktu tak tertentu, kini ..., aroma itu seolah benar-benar hadir di depan matanya.
Calvino turun dari ran jang, melepas semua kancing kemeja yang telah dia gunakan dengan rapi. "Teruslah membual. Atau ..., kamu mau pura-pura amnesia juga silakan, aku akan meladeni kegilaanmu, kupikir mungkin kamu sedang gila," katanya.
Dia melangkah mendekati Caroline yang tertahan di jendela balkon tertutup dengan gorden tipis transparan warna putih, namun fokus matanya terpasung di bibir gadis itu.
Entah apa yang membawanya ke sana, Calvino terhipnotis, dia bergerak tergelincir oleh has rat besar yang datang secara mendadak. Sulit untuk ditepis apalagi diterjemahkan karena apa itu.
Sedangkan Caroline tidak mengetahui bahwa Calvino datang ke dekatnya untuk menerjang, dia mendengkus sambil menguncupkan bibir. "Ya Tuhan ...," rengeknya, frustasi.
Beberapa kali dia berputar dan menjambak rambut. "Iya! Aku lama-lama gila!"
"Tolong ya, Tuan Calvino! Saya hanya koki kecil yang mewarisi coffee shop di ujung jalan itu, saya benar-benar bukan istri Anda," geram Caroline menjelaskan semua itu sambil mengeratkan wajah sambil meremas angin di sisi kiri dan kanan telinganya.
Calvino malah tertawa. Seraya berkacak pinggang, lelaki itu menyapu bibir dengan lidahnya, namun matanya tidak lepas dari bibir yapping Caroline. "Kalau kamu bukan Yuzdeline, lantas kamu siapa?"
"Saya Car—"
Aaaa ....
Eungh ....
Calvino! Oh Tuhan! Dia runtuh. Pertahanan yang tidak pernah ditembus Yuzdeline selama dua tahun itu akhirnya roboh. Calvino terseret hasrat besarnya, dia menerjang Caroline tanpa ampun.
Sebelum wanita itu selesai dengan perkenalan dirinya, Calvino memeluk wajah Caroline dengan dua tangannya yang panjang nan lebar—wajah kecil gadis cantik berambut long wavy ala korean style itu terbungkus utuh oleh tangannya.
Kemudian dia mendekat sebelum Caroline selesai, dia membenamkan bibirnya di permukaan bibir gadis itu yang telah menggodanya sepanjang waktu tadi. Has rat itu tidak bisa dipadamkan.
Semakin diabaikan, Calvino menggila sendiri.
"Aarght ...! Calvino! Lepaskan aku! Aaa ..., eeumh ..., kumohon le—"
Tak peduli seberapa keras gadis itu mendorong dada lebar Calvino—pria bertubuh kekar itu membawa bibirnya lebih jauh memasuki bibir Caroline, dia menekannya berulang kali, mel*matnya sampai bibir bawah dan atas dia selami secara berulang juga bergantian.
"Cal—"
"Sssttt ..., jangan memberontak, atau kamu akan kesakitan." Sembari terengah-engah, menggila, Calvino memejamkan mata dan menahannya beberapa saat di atas permukaan bibir Caroline.
"No! Aku bukan istrimu! Jangan menyentuh—"
Cup!
Calvino kembali menerjang bibir Caroline, bahkan dia memutar tubuh gadis itu ke ranj*ng, mereka terjatuh di sana, menarik tubuh ke tengah, dan lelaki itu semakin menggila.
Dia melaju ke pipi kanan dan kiri, berangsur ke hidung dan dahi, setelahnya turun ke leher seraya mengunci dua tangan Caroline ke atas, dimana lutut kanan ada di tengah dua kaki gadis itu yang memberontak.
Eungh ....
Eumh ....
Si al! Ada apa? Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku malah semakin gila, ini terlalu sulit untuk diabaikan. Yuzdeline? Apa yang terjadi?
Kenapa kamu malah mejadi manusia begitu menggoda? Bibirmu terlalu manis, aku gak bisa! Sorry....
Batin Calvino sepanjang lelaki itu mencumbu Caroline.
Bukan bibir saja, tetapi hidung, pipi, dahi, telinga, bahkan hingga ke leher, tulang leher, belakang telinga sampai area tengah tubuh Caroline, tak luput dia cumb*.
Dan Caroline menjadi lemah. Dia berusaha memberontak, tapi pada akhirnya dia kalah, tangan terbelenggu Calvino, apalagi area bawah, tak mampu berkutik.
"Calvino ...! Hentikan ...!" Jubah mandinya lepas.
To be continued .....
Moga aja Calvino gk kebablasan
nasib mu yuz, anyep bgt