Keira hidup di balik kemewahan, tapi hatinya penuh luka.
Diperistri pria ambisius, dipaksa jadi pemuas investor, dan diseret ke desa untuk ‘liburan’ yang ternyata jebakan.
Di saat terburuk—saat ingin mengakhiri hidupnya—ia bertemu seorang gadis dengan wajah persis dirinya.
Keila, saudari kembar yang tak pernah ia tahu.
Satu lompat, satu menyelamatkan.
Keduanya tenggelam... dan dunia mereka tertukar.
Kini Keira menjalani hidup Keila di desa—dan bertemu pria dingin yang menyimpan luka masa lalu.
Sementara Keila menggantikan Keira, dan tanpa sadar jatuh cinta pada pria ‘liar’ yang ternyata sedang menghancurkan suami Keira dari dalam.
Dua saudara. Dua cinta.
Satu rahasia keluarga yang bisa menghancurkan semuanya.
📖 Update Setiap Hari Pukul 20.00 WIB
Cerita ini akan terus berlanjut setiap malam, membawa kalian masuk lebih dalam ke dalam dunia Keira dan Kayla rahasia-rahasia yang belum terungkap.
Jangan lewatkan setiap babnya.
Temani perjalanan Keira, dan Kayla yaa!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8.Taktik Nyeleneh yang menakjubkan
Mobil itu berhenti tepat di depan hotel mewah yang menjulang angkuh, dinding kaca dan marmernya berkilau samar diterpa lampu-lampu temaram yang berpendar hangat. Tempat itu seperti panggung megah di mana segala kesepakatan mahal dibungkus dalam formalitas dan dosa.
Kayla melempar pandangan singkat ke arah Leo yang duduk di sampingnya, matanya yang tajam menatap ke jalan. Ia lalu membetulkan rambut panjangnya yang tergerai, menarik sedikit poni agar tak menutupi wajahnya. Napasnya berat, menunjukkan sikap malas yang sulit disembunyikan.
“Jadi gue cuma perlu senyum kan, ya?” suaranya keluar pelan, setengah meremehkan, dengan nada malas tapi menyimpan sedikit perlawanan.
Leo menoleh ke arahnya, satu alis terangkat. Bibirnya tersenyum tipis tapi dingin, hampir seperti senyum yang mengandung ancaman tersamar.
“Senyum, duduk manis, dan jangan banyak tingkah,” ucapnya dengan nada tegas yang memerintah. “Ingat, ini demi kelangsungan proyek kita.”
Kayla berdecak lidahnya pelan, matanya berkelip jengah, lalu membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Langkahnya berat, seolah menarik beban yang tak terlihat. Separuh hatinya sudah pasrah menerima keadaan, separuh lagi membara penuh penolakan dan kemarahan yang membuncah di dalam.
Leo dengan senyum licik di wajahnya, menggiring Kayla masuk ke dalam restoran hotel yang mewah itu. Lampu-lampu kristal menggantung berkilauan, memantulkan bayangan-bayangan yang menari di meja-meja putih berlapis kain halus. Suasana hangat dan berkelas, penuh aroma makanan mahal dan anggur tua.
Di salah satu sudut ruangan, sudah duduk seorang pria paruh baya dengan jas rapi berwarna gelap. Perutnya buncit dan wajahnya berkerut oleh usia, tapi tatapan matanya tajam dan terang-terangan menyapu tubuh Kayla dari ujung kepala sampai kaki, penuh evaluasi dan perhitungan.
Kayla langsung menangkap maksud Leo, bahkan tanpa perlu diingatkan lewat bisikan yang menggema di telinganya beberapa saat lalu.
“Mainkan peranmu dengan manis, Keira. Investor ini bisa jadi tiket emas kita,” suara Leo berbisik rendah tapi penuh peringatan.
Makan malam itu berubah menjadi drama murahan di panggung mewah. Kayla memaksa dirinya tersenyum saat dibutuhkan, tertawa ringan di saat yang pas, dan pura-pura menikmati segelas anggur merah yang sama sekali tak ia teguk. Jarinya sesekali memainkan ujung serbet, seolah menahan kegelisahan dan kemarahan yang terus memuncak.
Leo duduk di sampingnya dengan wajah puas, matanya yang dingin seperti sedang menghitung keuntungan yang bakal ia kantongi setelah semua selesai.
Setelah makan malam berakhir, mereka berjalan menuju lift dan naik ke lantai atas hotel. Koridor panjang yang berkarpet merah itu penuh dengan lukisan-lukisan klasik dan cahaya lampu temaram yang menciptakan bayangan samar di dinding.
Leo berhenti di depan sebuah pintu kamar hotel mewah, menunjuk dengan jari telunjuknya sambil tersenyum sinis.
“Ini kamar kita malam ini,” katanya pelan, penuh arti.
Sebelum Kayla sempat berkata apa-apa, Leo menepuk pundaknya dengan ringan tapi terasa seperti beban berat.
“Jangan sampai kau kecewakan aku, Keira.”
Mata Leo menatapnya dalam sekejap, penuh ekspektasi dan ancaman terselubung, sementara Kayla hanya mengangguk pelan, menggigit bibirnya dan menelan rasa jijik yang menumpuk di tenggorokannya.
Langkah Kayla melemah, namun tekadnya bergelora. Ia tahu, permainan ini belum selesai. Dan kelak, dia yang akan menentukan siapa yang benar-benar menang.
$$$$$
Pintu kamar tertutup pelan di belakang Kayla. Ia berdiri di ambang ranjang, tubuhnya kaku, napas tersengal. Pria itu duduk di sofa, melepas dasinya perlahan, satu per satu kancing bajunya terbuka. Napasnya terdengar berat, ritmenya lambat tapi menekan, seperti mencoba menguasai seluruh ruang di kamar itu.
“Saya kira ini akan jadi malam yang menyenangkan,” ucapnya pelan, suara serak namun tenang, matanya menatap Kayla dengan intensitas yang membuat kulitnya meremang.
Kayla menegang seketika. Jantungnya berdegup tak karuan, seolah ingin lari dari dalam dada. Tangannya gemetar menahan tangis yang hampir meledak.
“Yang bener aja… Harusnya Leo yang di sini, bukan gue,” pikirnya putus asa, matanya menatap lantai, menahan setiap getar amarah dan takut.
“Kalaupun gue beneran Keira, masa iya gue pernah rela hidup kayak begini?” pikirnya lagi, napasnya tersendat saat air mata menitik pelan di pipi.
Pria itu berdiri perlahan, setiap langkahnya berat tapi mantap, mendekat. “Ayo sayang… kita sudah cukup dekat tadi. Nggak usah malu, saya akan mengajarimu,” katanya, suara rendah, sambil melepas sisa bajunya, memperlihatkan perut yang bergelambir, kulitnya sedikit kusam oleh usia.
Kayla mundur selangkah, napasnya ngos-ngosan, kepalanya pusing oleh kekacauan yang mencekam. Bibirnya tergigit kuat, tangis nyaris pecah. Semua terasa tak masuk akal.
“Kenapa nggak ada satu pun yang ngasih gue pilihan?” batinnya, suaranya hanya terdengar di telinga sendiri.
Saat pria itu melangkah lebih dekat, Kayla mengangkat tangannya, menahannya dengan tegas. Mata mereka bertemu, sorotnya membara meski suaranya tetap tenang.
“Tunggu dulu, Om. Apa Om nggak merasa bersalah melakukan ini ke saya?” suaranya lirih tapi penuh keberanian. Tangannya dingin, jari-jarinya bergetar saat menyentuh lengan pria itu, bukan untuk rayuan, tapi untuk menahan diri.
“Sebagai pengusaha besar, Om pasti bisa berbisnis dengan bersih. Tanpa melibatkan nafsu, tanpa cara Leo yang gila itu.”
Pria itu menatapnya lama, alisnya terangkat, sedikit terkejut oleh ketegasan suara Kayla yang tak sesuai dengan tubuh kecil yang tampak rapuh itu.
“Om jauh lebih cerdas dari Leo. Wajah Om, wibawa Om… saya yakin itu nggak memancarkan sifat bejat,” lanjut Kayla, suaranya bergetar tipis tapi tegas. “Tapi saya lihat mata Om… kosong. Saya yakin ini bukan yang Om cari. Om cuma butuh pelarian, kan?”
Pria itu tetap diam. Kayla menarik napas panjang, menatapnya dalam-dalam. Setiap detik terasa menegangkan, seperti menunggu ledakan yang bisa menghancurkan keduanya.
“Dengarkan saya, Om. Jangan dengarkan saya sebagai perempuan yang siap Om sentuh… tapi sebagai seorang anak. Anggap saya anak Om. Apa Om tega… menghancurkan anak sendiri seperti ini?” suaranya hampir berbisik, tapi penuh berat dan kepedihan.
Hening. Sunyi terasa menekan ruangan. Pria itu mendengus pelan, tawanya hambar dan dingin. “Jangan menceramahi saya. Saya sudah menandatangani investasi dana pada perusahaan suamimu—dan itu satu paket dengan ini,” katanya, suara datar, menyingkirkan semua belas kasihan.
“Bahkan psikolog pun nggak bisa bantu saya. Kau hanya perlu tidur di sana… dengan wajah tersenyum… dan memuaskan saya.”
Kata-kata itu menghantam Kayla seperti palu. Ia jatuh terduduk di depan pintu, bahunya bergetar hebat. Wajahnya tersembunyi di antara lutut. Tangisnya pecah, tak bisa lagi ditahan.
“Suami yang seharusnya jadi pelindung malah ngejual saya, Om. Ayah yang seharusnya membela malah menyerahkan saya pada suami gila…” isaknya, suara serak.
“Saya bahkan nggak tahu siapa saya… kenapa saya harus ngelewatin semua ini, Om…?”
Tangisnya perlahan mereda. Kayla menatap pria itu, bangkit dengan tubuh lemas tapi matanya tetap menyala. Perlahan, ia menyentuh tangan pria itu dengan jemari lembut, menahan getarannya.
“Om… Om punya anak? Kalau nggak, angkat saya jadi anak Om. Bebaskan saya malam ini…” bisiknya, suara nyaris patah, tapi tekadnya jelas.
“Saya benar-benar putus asa. Saya pernah coba bunuh diri. Tapi malah berakhir amnesia. Padahal saya berharap mati malam itu… saat saya loncat dari jembatan.”
“Saya bener-bener nggak tahu apa gunanya saya hidup, Om…” Tangis Kayla pecah lagi, tapi ada kekuatan baru dalam tatapannya.
Pria itu diam, tatapannya mengabur. Perlahan, dia mengenakan kembali bajunya, duduk di lantai, di samping Kayla. Udara menjadi berat tapi bukan lagi menakutkan, melainkan penuh penyesalan.
“Andai saja anak saya memohon seperti ini… mungkin saya nggak akan sehancur ini sekarang,” ucapnya lirih, suara bergetar sedikit.
Kayla menatapnya, rasa empati mengalir. “Anak Om ke mana?” tanyanya pelan.
“Dia kabur dari rumah. Lebih pilih laki-laki nggak jelas daripada bicara baik-baik. Istri saya… nyalahin saya. Katanya, saya yang menghancurkan anak kami.” Pria itu menunduk, diam sejenak. “Sekarang tiap pulang, yang saya dapat cuma amarah. Rumah saya sepi, tapi berisik dengan tuduhan.”
Malam itu berubah. Kayla mendengarkan—bukan sebagai Keira, bukan sebagai istri Leo, tapi sebagai sesama yang kehilangan arah. Tangannya menggenggam tangan pria itu lagi, lebih mantap. Bukan rayuan, bukan tubuh, tapi simpati yang tulus.
Lalu ia menawarkan sesuatu yang tak pernah pria itu bayangkan. “Sesi konseling rutin. Ngobrol santai sambil ngopi. Nggak akan bikin Om makin kotor. Tapi bisa jadi jalan keluar yang bersih,” ucapnya lembut tapi tegas.
Anehnya… pria itu setuju. Ia pergi malam itu tanpa menyentuh Kayla sedikit pun, meninggalkan cek besar—dan janji pertemuan minggu depan, untuk “sesi lanjutan.”
Saat pintu tertutup, Kayla menatap cek yang tergeletak di meja. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil penuh kemenangan.
“Leo pasti nggak nyangka…” gumamnya. “Gue nggak jual tubuh gue. Gue jual simpati dan rasa aman. Dan ternyata… itu jauh lebih mahal.”
Jemarinya gemetar, menyentuh lembaran cek dengan hati-hati, seolah memegang rahasia emas. “Cek ini… ah, ini milik gue. Gue bakal ngabisin ini. Uang ini harus tahu rasanya dinikmati sama orang paling licik di kota ini.”
Ia menatap cermin, memainkan rambutnya, terkekeh pelan. “Lo rubah kecil yang licik, Keira,” gumamnya, senyumannya tajam.
Dengan langkah ringan, Kayla keluar dari kamar hotel. Rambutnya dikibaskan angkuh, mata menatap dunia penuh percaya diri. Tak ada air mata. Tak ada beban. Hanya sorot mata seorang pemenang—yang tahu caranya selamat dari permainan kotor.
Tak jauh dari sana, Revan berdiri di lorong, ditemani dua perempuan glamor. Matanya menoleh, tak sengaja menangkap sosok Keira yang lewat dengan santai dan penuh percaya diri. Matanya menyipit, menatap lebih lama.
“Perempuan itu… boleh juga,” gumam Revan, bibirnya menyeringai kecil. Ada sesuatu dalam diri Keira yang belum bisa dia pecahkan… dan mungkin, Revan tertarik untuk mencoba.
.
.
.
Bersambung…
Makanya jadi suami yang normal-normal aja😂