NovelToon NovelToon
Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia / Pelakor / Identitas Tersembunyi
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: ila akbar

‎Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
‎Menjalin hubungan dengan duda ❌
‎Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
‎Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

Beberapa jam kemudian...

Suasana malam di rumah peninggalan Ibu Resti semakin sunyi, seperti merangkum perasaan yang menggantung di dalam hati Anjani. Sejak Aryo pulang tadi, kesunyian terasa semakin pekat, menyelimuti setiap sudut rumah dengan kehampaan yang tak terelakkan.

Di tempat tidur kecilnya, Mawar tertidur pulas. Nafasnya teratur, wajahnya tampak damai—seolah besok bukanlah hari yang akan memisahkan mereka.

Tapi tidak demikian dengan Anjani. Ia masih terjaga.

Dari sudut kamar, ia berdiri di depan jendela, menatap langit malam yang kelam. Bulan hanya menyisakan sejumput cahaya di antara awan-awan yang menggelayut, seperti perasaannya saat ini—redup, terombang-ambing dalam kegelisahan.

Besok pagi, Mawar akan pergi. Meninggalkannya.

Anjani menghela napas panjang, namun udara yang ia hirup terasa begitu berat. Ia berbalik, menatap adiknya yang masih terlelap dalam keheningan. Tatapannya lembut, penuh kasih. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi di balik senyum itu, hatinya seperti terkoyak pelan-pelan.

Perlahan, ia melangkah mendekat, lalu duduk di tepi tempat tidur Mawar. Tangannya bergerak, hampir menyentuh rambut adiknya, namun kemudian terhenti di udara.

Mawar terlihat begitu damai dalam tidurnya, seperti anak kecil yang dulu selalu bersembunyi dalam pelukannya setiap kali petir bergemuruh di langit.

Dulu…

Dulu, ia adalah kakak yang selalu melindungi Mawar.

Dulu, Mawar tidak akan pernah pergi jauh darinya.

Namun sekarang, takdir berkata lain.

Anjani mengigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya. Tapi ia gagal. Setetes air mata jatuh, diikuti yang lainnya. Ia buru-buru mengusapnya, takut jika tetesan itu akan jatuh ke tangan Mawar dan membangunkannya.

Seharusnya ia bahagia. Seharusnya ia bangga melihat keberanian Mawar, melihat adiknya tumbuh menjadi seseorang yang berani memperjuangkan apa yang diyakininya.

Dan memang, jauh di lubuk hati, ada kebanggaan yang menghangatkan hatinya.

Namun bersamaan dengan itu, ada pula rasa sakit yang tak bisa dihindari.

Bagaimana jika Mawar terluka? Bagaimana jika dunia di luar sana terlalu kejam untuknya? Bagaimana jika ia tak pernah kembali?

Anjani menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.

Ia tahu, ia harus merelakan Mawar pergi.

Meski hatinya seperti tercabik, meski sepi ini terasa menyesakkan, ia tak boleh menahan langkah adiknya. Karena ia tahu, Mawar tidak hanya pergi demi dirinya sendiri—ia pergi demi mereka semua. Demi kebebasan yang selama ini hanya menjadi mimpi di mata mereka.

Dengan gemetar, Anjani meraih tangan Mawar yang tergeletak di atas selimut, lalu menggenggamnya erat.

Hening.

Ia menatap wajah Mawar sekali lagi, sebelum berbisik lirih—nyaris seperti angin malam yang menyelinap masuk ke dalam kamar mereka.

“Mawar... jangan lupa pulang.”

Lalu ia tersenyum, meskipun air matanya tetap mengalir.

Mawar tak menyadari tangis diam-diam itu. Ia tetap terlelap dalam tidurnya.

Dan Anjani, masih duduk di sana, menggenggam tangan adiknya seakan itu adalah satu-satunya cara untuk menahan kenyataan bahwa besok, Mawar benar-benar akan pergi.

***

Perpisahan di Pelabuhan

Pagi itu, mentari menggantung malu-malu di cakrawala, menyapu lautan dengan kilau keemasan yang berpendar di atas ombak. Namun, keindahan pagi tak bisa menghapus duka yang menggantung di hati Anjani.

Ia berdiri di pelabuhan, berdampingan dengan Aryo, menyaksikan Mawar bersiap menaiki kapal yang akan membawanya pergi. Hatinya berteriak menolak kenyataan ini, tetapi bibirnya berusaha tersenyum, meski senyum itu lebih mirip dengan goresan luka yang ia coba sembunyikan.

“Mawar, jaga diri baik-baik…” suara Anjani bergetar, sesak oleh emosi yang ia tahan mati-matian.

Mawar mengangguk, berusaha keras untuk tersenyum, meskipun hatinya pun terasa berat meninggalkan kakaknya. “Iya, Mbak. Mbak juga harus jaga diri, jangan lupa makan, ya.”

Ia tahu betul, sejak kecil Anjani memang selalu sulit makan. Bahkan saat Ibu masih ada, masih sehat belum kehilangan kewarasannya, beliau kerap mengingatkan hal yang sama. Dan kini, Mawar merasa bertanggung jawab untuk memastikan kakaknya tetap menjaga diri, meskipun ia tak lagi berada di sisinya.

Tatapan mereka bertaut, seakan ingin menghafalkan wajah satu sama lain sebelum jarak benar-benar memisahkan mereka. Seakan ingin menyimpan setiap garis, setiap ekspresi, dalam ingatan yang tak akan pudar.

Dan tanpa sadar, mereka pun saling merengkuh dalam pelukan.

Pelukan yang erat. Hangat. Dipenuhi cinta.

Pelukan yang terasa seperti rumah—tempat di mana mereka selalu menemukan perlindungan dari dunia yang kejam.

Namun, kali ini... rumah itu akan kosong.

Mawar harus pergi.

“Mawar, kapalnya sudah mau jalan!” suara Aryo membuyarkan kebekuan di antara mereka. Ia baru saja kembali dari kapal, menyerahkan koper Mawar pada kru kapal yang menunggu.

Mawar perlahan melepaskan pelukan Anjani. Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, suara kakaknya kembali memanggilnya.

“Mawar, tunggu!”

Mawar menoleh. “Ada apa, Mbak?”

Dengan tangan gemetar, Anjani melepas sesuatu dari lehernya. Kalung emas kecil—satu-satunya peninggalan Ibu mereka. Kalung yang dulu, ketika hidup mereka masih berkecukupan, tak pernah Anjani lepaskan, bahkan di saat tidur sekalipun.

Kini, kalung itu ada di telapak tangan Mawar.

“Pakai ini…” bisik Anjani. “Begitu sampai di Jakarta, jual kalung ini… cari kontrakan dan beli handphone… segera hubungi Mbak.”

Mawar terpaku, menatap kalung itu seakan menatap sepotong kenangan yang tersisa dari masa lalu mereka yang bahagia. Hatinya berdenyut perih.

“Ini nomor telepon Pak RT,” lanjut Anjani, suaranya lirih tapi tegas. “Begitu sampai, secepat mungkin hubungi beliau. Jangan sampai Mbak kehilangan kabar darimu.”

Di pulau kecil yang mereka tinggali, handphone, TV, Radio, beserta barang-barang elektronik lain adalah barang langka. Hanya segelintir orang yang mampu memilikinya, termasuk Pak RT. Dan Anjani tak ingin kehilangan jejak adiknya di kota besar yang begitu asing dan penuh bahaya.

Mawar menahan napas, menggigit bibirnya agar tak runtuh dalam tangis. Ia meraih tangan Anjani, menggenggamnya erat seakan tak ingin melepaskannya.

“Mbak, jangan khawatir…” suaranya bergetar. “Mawar pasti kembali.”

Anjani tak sanggup menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, meskipun matanya sudah terlalu penuh dengan air mata yang ia tahan mati-matian.

Lalu, saat waktu akhirnya memaksa mereka untuk berpisah, Mawar menaiki kapal dengan langkah berat.

Angin laut berembus kencang, membawa serta gelombang perpisahan yang begitu menyakitkan.

Anjani berdiri di dermaga, menatap adiknya yang kini berada di atas kapal. Dadanya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang direnggut paksa dari dalam hatinya.

Saat kapal mulai bergerak, Mawar berdiri di tepi, melambaikan tangan ke arah kakaknya.

“Mbak Anjani, tunggu Mawar! Mawar pasti pulang membawa kebahagiaan untuk kita!” serunya dengan penuh tekad.

Anjani menggigit bibirnya, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Tapi saat kapal semakin menjauh, dan wajah Mawar semakin samar di balik kabut laut, pertahanannya runtuh.

Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh.

Seiring dengan itu, hatinya terasa kosong. Hampa.

Mawar adalah satu-satunya keluarga yang tersisa… dan kini, ia telah pergi. Entah untuk berapa lama.

Anjani tetap berdiri di sana, bahkan ketika kapal sudah menjadi titik kecil di cakrawala.

Di sampingnya, Aryo menatapnya dengan prihatin. Dengan hati-hati, ia menyentuh pundak Anjani, mencoba memberinya ketenangan.

Namun, di dalam hati Anjani, badai belum juga reda.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya…

Ia benar-benar merasa sendirian.

###

Hai, Readers! Jika kalian suka dengan alur ceritanya, jangan lupa like, comment, dan tambahkan ke rak, ya. Karena like dan comment dari kalian adalah semangat bagi author untuk terus berkarya.

1
Aqilah Azzahra
semangat kak
Ila Akbar 🇮🇩: ♥️♥️♥️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!