"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Merasa Sendiri.
Hari demi hari berlalu seperti jam kerja yang tak pernah selesai.
Kian tak pernah benar-benar pulang. Ia tenggelam dalam pembangunan resort mewah di pesisir Kalimantan, mencoba mengubur semua jejak pernikahan yang baginya hanya transaksi. Friska kadang menelepon, kadang tidak. Hubungan mereka perlahan menjadi seperti sinyal lemah: terdengar tapi tak pernah jelas.
Dan Kanya?
Sudah hampir enam bulan sejak gadis itu pulang dari rumah sakit dan tinggal di pondok pesantren tempatnya menuntut ilmu. Kian hanya menengoknya sebulan sekali, membawakan keperluannya. Hubungan mereka stagnan. Tidak ada pertengkaran, tidak juga keintiman. Hanya formalitas. Hanya kewajiban.
Sore itu, langit Kalimantan berwarna tembaga.
Kian datang membawa makanan ringan, sabun, dan satu set buku gambar yang Kanya minta.
Kanya menyambutnya di ruang kunjungan, tempat biasa keluarga santri berbincang saat berkunjung.
Tak ada lagi suster yang mendampingi, karena kini Kanya sudah bisa beraktivitas sendiri. Ia mampu berjalan, meski masih bertumpu pada tongkat aluminium.
Meski tinggal di pondok pesantren, Kanya tetap menjalani pengobatan dan terapi secara rutin—dan Kian yang selalu mengantarnya.
“Aku mau ikut karya wisata,” kata Kanya pelan, matanya tetap memandang daun jambu yang gugur di halaman pondok.
“Karya wisata?” Kian memutar tubuh. “Dengan kondisi kamu sekarang?”
“Aku baik-baik aja. Ini kelulusan. Sekalian refreshing. Lagipula kami naik kapal besar, bukan rakit bambu,” jawab Kanya, mencoba menyelipkan candaan.
Kian terdiam sejenak. Ia tahu gadis itu keras kepala. Sekali memutuskan sesuatu, akan sulit digoyahkan. Dan untuk pertama kalinya, Kanya terlihat… seperti remaja normal. Bukan pengantin yang kehilangan ayah setelah akad.
“Kalau kamu yakin…aku izinkan,” gumam Kian akhirnya.
***
Kanya duduk di geladak kapal bersama beberapa teman seangkatannya. Tawa dan candaan mengisi udara, melambung bersama aroma laut dan semilir angin yang mulai berubah arah.
Mereka terlihat bahagia. Bebas. Merayakan kelulusan.
Tapi tidak dengan Kanya.
Gadis itu duduk termenung di sudut geladak, bersandar pada pegangan kayu yang basah oleh embun. Hijabnya berkibar tertiup angin. Matanya menatap lautan luas yang semakin kelabu.
“Setelah ini… aku ingin kuliah,” gumamnya lirih, lebih pada dirinya sendiri.
“Tapi aku masih bingung… harus di mana? Aku belum bicara soal ini dengan dia. Tentang di mana kami akan tinggal… atau tentang apa kami ini sebenarnya.”
Ia menarik napas dalam. Menatap ke cakrawala, seolah mencari jawaban yang tak pernah datang sejak akad itu diucapkan.
Langit mulai berubah. Awan menggumpal seperti ancaman yang dikirim perlahan.
Hujan turun mendadak. Deras. Tanpa aba-aba.
Angin bertiup kencang, memukul sisi kapal. Suara gelombang berubah dari bisikan menjadi raungan. Kapal itu berguncang hebat, seperti ditampar langit.
Penumpang mulai panik. Awak kapal berteriak memberi aba-aba, tapi suaranya tertelan badai.
“Pegangan! Cepat! Semua ke dalam!”
Kanya berdiri, berusaha berlari ke kabin, tapi air sudah mulai menyerbu masuk dari sisi kiri. Teman-temannya berdesakan. Teriakan saling bersahutan.
Lalu… ombak raksasa datang.
Menggulung geladak. Menyapu tubuh-tubuh yang tak sempat berlindung.
Jeritan. Tangisan. Doa. Semua tercampur jadi satu.
Kanya terseret arus, tubuhnya menghantam tiang kapal yang patah. Perih menyambar sisi kepalanya. Dunia berputar cepat, sebelum ia terpental ke dalam laut yang hitam legam.
“Tolong...!”
Ia mencoba berenang, tapi kakinya tak merespons. Napasnya pendek. Oksigen seperti dihisap dari paru-parunya.
Gelombang berikutnya menenggelamkannya.
Seketika... gelap.
Dalam samar, ia meraih potongan papan. Jari-jarinya gemetar, menggenggam benda terakhir yang membuatnya terapung.
“Jangan mati. Jangan mati...”
Itu satu-satunya kalimat yang terputar dalam benaknya. Tapi tubuhnya mulai lemas. Dingin laut menggerogoti kesadarannya.
Kilatan petir terakhir menyorot wajahnya yang pasi.
Hujan mengguyur matanya yang setengah tertutup.
Suara di sekelilingnya menjauh, tenggelam dalam pekat.
Dan kemudian… senyap.
Di Sisi Lain
Berita itu datang saat malam telah larut, ketika Kian baru saja tiba di apartemennya.
Tubuhnya terasa lelah setelah seharian penuh mengurus proyek dan menyelesaikan pertemuan santai bersama investor di rooftop lounge sebuah hotel.
Ia melempar jasnya ke sofa, membuka kancing kemeja paling atas, lalu mengambil ponsel dari saku.
Sinyalnya naik-turun. Layar berkedip sebentar—sebuah pesan masuk.
Dan detik berikutnya, dadanya serasa dihantam palu.
“Kapal penumpang rute Kalimantan–Jawa dikabarkan tenggelam. Banyak korban hilang. Beberapa siswa pondok pesantren Nurul Huda ikut dalam rombongan.”
“Apa…?”
Mata Kian membeku. Tangannya gemetar. Napasnya mendadak berat dan tak beraturan. Ia buru-buru menghubungi nomor Kanya.
Tidak aktif.
Ia mencoba menelepon pihak pondok. Bahkan teman-teman Kanya yang nomornya pernah ia salin dari buku alamat.
Tak ada yang tahu. Tak ada jawaban pasti.
Semuanya terasa seperti gema teredam air.
“Aku… yang mengizinkannya pergi. Dan sekarang…?”
Tangannya mengusap wajahnya dengan kasar, seperti ingin menyeka rasa bersalah yang tak bisa hilang.
Ia terduduk lemas. Ponsel masih menyala di tangannya, menampilkan layar berita yang seolah menamparnya berulang kali.
Kian menatap hampa. Untuk pertama kalinya… ia merasa benar-benar gagal menjaga amanah yang dititipkan padanya.
***
Di Sebuah Pondok Pesantren
Cahaya pagi menyusup malu-malu dari celah jendela kayu. Udara dingin merambat pelan, membawa aroma tanah basah, dan nasi hangat dari dapur.
Kanya membuka mata.
Pandangan kabur. Tubuhnya kaku. Di kepalanya terpasang perban, dan kakinya dibebat kain yang terasa dingin.
Ia mencoba bergerak—nyeri menyambar seperti petir kecil di tulangnya.
Dari kejauhan, terdengar lantunan ayat suci. Tenang. Syahdu.
Ia berada di sebuah rumah sederhana. Dindingnya dicat putih kusam, dengan aroma kayu dan obat-obatan tradisional yang samar menyusup ke udara.
Di sisi ranjang, duduk seorang perempuan tua berjilbab panjang. Matanya teduh, senyumnya menghangatkan udara pagi yang dingin.
Perempuan itu menggenggam tangan Kanya dengan hangat.
“Syukurlah kamu bangun, Nak…”
Suaranya lembut, nyaris seperti embun yang menyentuh dedaunan.
“Kami menemukanmu di pinggir pantai. Pingsan... sudah hampir seminggu lamanya.”
Kanya menatap wajah itu. Samar. Asing.
“Ini… di mana?”
Suaranya lirih. Nyaris hanya hembusan napas.
“Di pesantren Al Aqsha. Tapi tenang... kamu sudah selamat sekarang.”
Perempuan tua itu mengusap punggung tangannya dengan lembut.
Refleks, Kanya meraba wajahnya—menyentuh kain tipis yang masih menutupi kulitnya.
Cadar itu masih ada.
Dadanya mengempis perlahan, seolah beban besar lepas dari pundaknya.
Perempuan tua itu tersenyum, menangkap kecemasan yang belum sempat diucap.
“Tak perlu khawatir. Tak ada yang melihat wajahmu, Nak. Hanya Umi… dan itu pun ketika kami mengganti perbanmu. Kau tak perlu merasa takut.”
Kanya menunduk. Matanya berkaca-kaca.
Bahkan saat tak sadar, Allah tetap menjaganya—melalui tangan orang-orang asing yang penuh
“Namamu siapa, Nak?” tanya Umi pelan, dengan suara sehangat selimut di musim dingin.
Kanya terdiam. Kelopak matanya gemetar.
Tatapannya lurus ke langit-langit yang mulai menguning dimakan waktu.
Ia tahu siapa dirinya. Ia tahu ia bukan siapa-siapa lagi.
Sudah tak punya siapa pun. Sudah kehilangan arah. Dan... ia tahu, jauh di luar sana, ada seorang pria yang secara sah mengikatnya dengan ijab.
Tapi... apakah itu cukup untuk menyebut dirinya 'istri'?
Ia menikah tanpa cinta, dengan seorang asing yang bahkan tak pernah ia kenali sepenuhnya.
Bukan karena pilihan, tapi karena keadaan.
Tak ada rumah yang mereka bangun bersama. Tak ada pelukan yang tumbuh dari rasa. Tak ada cerita yang membuatnya merasa dimiliki.
Hanya akad sederhana yang disaksikan langit dan beberapa nama, serta status yang lebih terasa seperti beban daripada ikatan.
Jadi, ia menjawab dengan suara nyaris berbisik:
“Kanya... Namaku Kanya.”
Umi tersenyum.
“Orang tuamu di mana, Nak?”
Kanya menarik napas panjang, menunduk, lalu berkata tanpa getar:
“Sudah tiada…”
Ia tidak berbohong. Tapi ia tidak juga bercerita.
***
DUA MINGGU BERLALU
Mayat-mayat mulai ditemukan.
Beberapa berhasil diidentifikasi.
Tapi tidak ada Kanya.
Ia hanyalah satu dari puluhan penumpang yang masih dilaporkan hilang...
Dan mungkin, tidak akan pernah ditemukan.
Kian terdiam menatap ke luar jendela.
“Kami menikah bukan karena cinta. Bahkan chat kami hanya sebatas hal penting.
Tapi kenapa dadaku terasa sesak saat mendengar kabar ini?
Apa karena aku gagal menjaga amanah dari Bapak?”
Kian beralih menatap layar tablet. Berita itu terpampang jelas.
Sinar matahari sore memantul di permukaan meja kaca, membuat sorot matanya yang suram terlihat makin tenggelam.
Ponselnya berdering. Friska.
Ia diam. Membiarkan panggilan itu berbunyi tanpa jawaban.
Lalu ia menatap laut di kejauhan—hampa, jauh, dan asing.
Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan itu…
Kian merasa benar-benar sendiri.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
kanya aja sdh menyanggupi akan memberikan Hak nya kalau kamu sanggup mencintai nya Dan hidup selamanya bersamanya ..kamu aja yg plin plan mas kian
seharusnya kamu juga mikir setiap pernikahan Siri pihak yg paling di rugikan itu wanita, kalau bisa buat kanya menjadi istri sah secara agama Dan negara dulu.baru minta hakmu kian
Papa Keynan dan Mama Aisyahkah..kalo iya bagus dong biar Kian di kasih wewejang lagi dari Papa Keynan yang telah melanggar untuk menemui Friska bahkan memeluknya....
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁