"Ka-kakak mau apa?"
"Sudah kubilang, jaga sikapmu! Sekarang, jangan salahkan aku kalau aku harus memberimu pelajaran!"
Tak pernah terlintas dalam pikiran Nayla Zahira (17 tahun) bahwa dia akan menikah di usia belia, apalagi saat masih duduk di bangku SMA. Tapi apa daya, ketika sang kakek yang sedang terbaring sakit tiba-tiba memintanya menikah dengan pria pilihannya? Lelaki itu bernama Rayyan Alvaro Mahendra (25 tahun), seseorang yang sama sekali asing bagi Nayla. Yang lebih mengejutkan, Rayyan adalah guru baru di sekolahnya.
Lalu bagaimana kisah mereka akan berjalan? Mungkinkah perasaan itu tumbuh di antara mereka seiring waktu berjalan? Tak seorang pun tahu jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Dan…
Rayyan menunduk, memejamkan mata beberapa saat saat suara Nayla terdengar dari dalam. Rahangnya mengepal, menahan geram yang mulai memenuhi dadanya.
"Kenapa sih itu anak harus bersuara juga!" gerutunya dalam hati, menahan diri untuk tidak membanting pintu.
Sementara itu, Tania dan Alika saling berpandangan cepat.
“Itu suara Nayla ya?” tanya Alika curiga, matanya menyipit menatap Rayyan penuh tanda tanya.
“Sekarang tolong jangan ngelak Pak. Nayla ada di dalam kan? Kenapa dia bisa ada di rumah Bapak?” Tania menimpali dengan suara datar, namun nadanya menyimpan nada interogatif tajam.
Belum sempat Rayyan menjawab, suara Nayla kembali terdengar dari dalam, kali ini lebih dekat.
“Kak kenapa diam aja? Siapa yang datang? Apa Mama Papa udah pulang?”
Tania dan Alika langsung menoleh ke belakang Rayyan, dan benar saja dari dalam rumah, Nayla muncul, masih mengenakan seragam sekolah yang rapi. Rambutnya diikat ekor kuda, wajahnya polos tanpa riasan. Saat matanya menangkap keberadaan dua sahabatnya, langkahnya seketika terhenti.
Matanya membelalak, nyaris refleks ia ingin berbalik lagi ke dalam. Tapi sudah terlambat.
“Nayla!” seru Tania dan Alika hampir bersamaan, dengan ekspresi antara terkejut dan tidak percaya.
Rayyan mengusap keningnya yang mendadak terasa panas, lalu menghela napas panjang.
“Kalian masuk aja deh,” ujarnya akhirnya, pelan tapi mantap, sambil menggeser tubuhnya untuk memberi jalan.
Tania dan Alika tanpa pikir panjang langsung melangkah ke dalam dan menghampiri Nayla yang masih berdiri kaku.
“Nay lo harus jelasin ini semua!” desak Tania tajam.
“Iya, kalo lo gak cerita itu sama aja lo udah gak nganggep kita sahabat!” tambah Alika dengan nada yang agak bergetar, matanya nyaris berkaca-kaca.
Nayla menelan ludah, pahit rasanya. “Tenang dulu, yuk. Kita duduk dulu, ya.” Ia mencoba mengatur nada suaranya setenang mungkin, walau jantungnya nyaris melompat keluar.
Mereka pun duduk di ruang tamu, di sofa panjang yang menghadap jendela.
Rayyan yang tadi hendak melangkah pergi, tertahan saat Tania bersuara keras, “Pak Rayyan jangan pergi dulu! Bapak juga harus jelasin!”
“Apa lagi yang perlu dijelasin? Tanyain aja ke Nayla. Saya mau ke kamar,” jawab Rayyan datar, nadanya sudah lelah.
“Gak bisa Pak. Ini rumah Bapak juga, Bapak ikut duduk,” sahut Tania, kali ini dengan nada sedikit memaksa.
Rayyan diam beberapa detik, lalu menghela napas dan duduk di kursi single. Ia menyilangkan kaki dan bersandar, walau wajahnya tegang dan tak menunjukkan niat ingin bicara banyak.
“Nayla, sebenarnya lo ngapain di sini? Apa hubungan lo sama Pak Rayyan?” tanya Alika to the point.
Nayla menggaruk tengkuknya, gugup. “Gue buatin minum dulu ya...”
“Kita gak haus Nay. Kita haus penjelasan bukan minuman,” potong Tania cepat dan tajam.
Nayla terduduk lagi. Setelah menarik napas panjang, ia berucap pelan, “Hubungan gue sama Pak Rayyan itu…”
Ia melirik ke arah Rayyan, berharap ada sedikit isyarat bantuan. Tapi yang ia temukan hanya tatapan datar.
“…kakak sepupu,” lanjut Nayla cepat hampir seperti gumaman.
Rayyan, Tania, dan Alika langsung melongo. “Serius lo?” tanya Tania tak percaya.
“Iya, terserah kalian mau percaya atau gak. Bener, kan Kak?” Nayla melirik Rayyan dengan tatapan memohon.
Namun Rayyan hanya membuang muka. “Memangnya saya harus jawab juga?”
“Ck!” Nayla mengumpat dalam hati kesal.
“Lo pernah bilang lo diantar kakak sepupu waktu itu. Jadi lo maksud Kak Rayyan?” tanya Alika, mulai menganalisis.
Nayla mengangguk. “Gue gak cerita waktu itu karena gue gak pengin ada yang tau. Gue juga bingung jelasin dari mana.”
“Kalo emang sepupu mana buktinya?” desak Tania tak mau kalah.
“Uhh…” Nayla melirik Rayyan lagi. Tapi pria itu hanya melipat tangan dan menatap keluar jendela.
“Ya kalian bisa tanya langsung ke bokap nyokap nya Kak Rayyan. Tapi lagi keluar sih mereka,” jawab Nayla asal, berusaha terdengar meyakinkan.
“Terus kenapa lo nginep di sini? Kenapa gak pulang?” tanya Alika cepat, matanya makin tajam.
“Gue cuma disuruh ambil sesuatu sama Kakek dari bokap nya Kak Rayyan. Sekalian main.”
Dalam hati, Nayla merasa bersalah. Ia membawa nama Kakeknya ke dalam kebohongan ini. Tapi apa boleh buat, belum waktunya untuk jujur setidaknya belum sekarang.
“Saya rasa penjelasannya udah cukup ya?” Rayyan berdiri sambil merapikan kausnya. “Saya pamit ke kamar.”
“Maaf ya Pak, udah ganggu,” ucap Alika cepat-cepat merasa bersalah.
Rayyan hanya mengangguk singkat.
Tapi belum sempat ia melangkah, Tania berseru, “Tunggu Pak!”
Rayyan berbalik. “Ada apa lagi?”
Tania menatap jari manis Rayyan. Lalu cepat-cepat menoleh ke tangan Nayla.
Nayla yang sadar, buru-buru menyembunyikan tangan kanannya ke balik rok. Tapi terlambat.
“Cincin itu kenapa sama?” Tania menunjuk dengan telunjuknya.
“Itu… ini…” Nayla mulai panik suaranya serak.
Rayyan memejamkan mata, lalu menghela napas panjang. “Bilang aja yang sebenarnya Nay. Mereka sahabat kamu bukan?”
Tiga pasang mata menatap pria itu dengan ekspresi terkejut.
“Maksud Pak Rayyan?” tanya Alika bingung.
“Nayla itu istri saya. Kami sudah menikah sah.”
Seisi ruangan hening. Nayla membeku. Sementara Tania dan Alika seperti disambar petir di siang bolong.
“Serius Nay?” tanya Alika masih ternganga.
Nayla hanya mengangguk pelan. Tangan di pangkuannya gemetar. Rayyan menatap Nayla beberapa detik, lalu berbalik dan melangkah naik ke atas tanpa sepatah kata lagi.
“Tanya saja sisanya ke Nayla,” ucapnya sebelum benar-benar menghilang di balik tangga.
Begitu suasana kembali tenang, Tania dan Alika langsung memalingkan wajah ke arah Nayla penuh tuntutan.
“Sekarang lo jelasin semuanya!” seru Tania sambil duduk di sebelah Nayla mendesak.
Nayla menunduk, menghela napas sangat panjang. “Yang Pak Rayyan bilang tadi semuanya bener. Gue nikah sepuluh hari lalu, pas liburan panjang kemarin.”
“Kemarin waktu Pak Rayyan bilang dia udah nikah, ternyata sama lo?” celetuk Alika polos.
“Iya siapa lagi Ka,” sahut Tania sambil menyenggol bahu Alika.
“Terus gimana ceritanya sampe lo nikah?” tanya Alika kini lebih lembut.
Nayla pun mulai menceritakan semuanya. Tentang perjanjian Kakek dengan sahabat lamanya, tentang perlakuan ibu tirinya, tentang paksaan dari Ayahnya, dan tentang keputusan tergesa-gesa yang ia ambil demi lepas dari neraka bernama rumah.
“Kakek dan Nenek gue kayaknya udah tau semuanya tentang sikap emak tiri gue,” ucap Nayla lirih, hampir berbisik.
Tania dan Alika refleks langsung memeluknya erat. “Yang sabar ya Nay. Ini pasti udah jalan terbaik buat lo,” ucap Alika, matanya berkaca-kaca.
“Makasih ya gue kira kalian bakal marah,” lirih Nayla dengan suara serak.
“Ngapain marah? Kita malah lega akhirnya lo lepas dari rumah itu,” kata Tania, mengelus punggung sahabatnya.
Lalu, Tania menyipitkan mata sambil berdehem. “Jadi itu alasan lo mutusin Dafa?”
Wajah Nayla langsung berubah muram. Ia hanya mengangguk pelan.
“Dafa udah tau?”
Nayla menggeleng. “Gue gak tau harus kasih tau atau gak. Tapi gue mau hapus dia dari hati gue.”
Tania dan Alika terdiam. Mereka tau cinta Nayla pada Dafa bukan main-main.
“Eh tapi lo udah sepuluh hari nikah. Berarti lo sama Pak Rayyan udah…” Tania menaik-turunkan alisnya sambil tersenyum jail.
“Udah apa?” tanya Nayla polos bingung.
“Ya gitulah…” ucap Tania menggoda.
“Apa sih kalian!” Nayla merah padam. “Gue masih sekolah. Belum pernah ngapa-ngapain!”
Tania dan Alika tertawa kecil.
“Kalo gitu Pak Rayyan gak normal dong?” celetuk Alika polos.
“Hah?” Nayla melongo.
“Bercanda tapi beneran Nay. Lo yakin dia belum ada rasa ke lo? Kenapa dia nyium lo waktu itu?” tanya Alika serius tiba-tiba.
Nayla terdiam. Ia ingat kejadian itu. Tapi ia tak tahu harus mengartikannya bagaimana.
“Lo harus cari tau Nay. Dia sayang gak sama lo? Dan satu hal lagi dia normal gak?” celetuk Tania sambil cengengesan.
Nayla hendak menjawab, tapi tertahan saat suara langkah terdengar dari arah dapur. Mereka bertiga langsung menoleh. Dan…