Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Detak yang Tak Bisa Disembunyikan
Pintu kamar diketuk perlahan, tapi dengan nada cemas.
"Rumi, kamu baik-baik saja?" suara Radit terdengar dari balik pintu.
Tak ada jawaban langsung. Hanya suara napas pelan.
Setelah beberapa detik, terdengar suara pelan dari dalam kamar.
"Aku baik-baik saja."
Radit menggigit bibir, mencoba menahan gelisah yang menggerogoti hatinya.
Biasanya, Rumi akan langsung membuka pintu atau setidaknya menjawab dengan nada hangat.
Tapi kali ini, ada jarak yang terasa begitu dingin.
Radit berdiri di depan pintu, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di balik sana.
Pikiran dan rasa penasarannya tak bisa berhenti.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rumi berubah begitu?"
Ia ingin masuk, ingin bertanya lebih jelas, ingin memastikan dengan matanya bahwa Rumi memang baik-baik saja.
Tapi ia juga tahu, jika ia terlalu memaksa, bisa jadi malah membuat semuanya makin rumit.
Radit menghela napas dalam, lalu perlahan mengetuk pintu sekali lagi.
"Aku di sini, Rumi. Kalau kamu siap bicara, aku selalu siap mendengarkan."
Radit memandangi layar laptop dengan pandangan kosong. Berkas-berkas penting terbuka di hadapannya, tapi tak satu pun mampu menarik perhatiannya. Tangannya menggenggam pulpen, namun tak ada coretan yang ia buat. Otaknya dipenuhi satu hal, Rumi.
"Kenapa dia diam terus? Apa yang sudah aku perbuat sampai-sampai ia bersikap seperti itu?"
Ia menghembuskan napas keras, kemudian memijat pelipisnya. Matanya melirik jam di dinding, sudah hampir pukul sepuluh malam. Tapi tidak ada tanda-tanda Rumi keluar dari kamarnya, bahkan sekadar untuk mengambil air.
Untuk mengalihkan pikirannya, Radit membuka folder rekaman CCTV rumah. Sebuah kebiasaan yang sudah ia jalani sejak lama, mengecek rekaman seminggu terakhir untuk memastikan semuanya aman.
Tangannya berhenti saat melihat satu rekaman di malam senin lalu.
Ia menatap layar lebih dekat.
Rekaman menunjukkan dirinya pulang dalam keadaan sempoyongan—mabuk.
Matanya menyipit saat melihat sosok Rumi berlari kecil menghampirinya. Dengan sabar, Rumi menopang tubuhnya, membantu membuka sepatu, bahkan menyelimutinya setelah berhasil membaringkan tubuhnya di ranjang.
Namun yang membuat jantung Radit berdegup lebih cepat adalah—tidak ada rekaman Rumi keluar dari kamar malam itu.
"Apa kami tidur di kamar yang sama?"
Radit meneguk ludah. "Kenapa dia gak bilang apa-apa? Apa aku melakukan sesuatu? Atau aku terlalu mabuk sampai gak sadar?"
Kepalanya mulai panas oleh ribuan pikiran.
Tiba-tiba, suara pintu kamar terdengar di lantai atas. Radit refleks berdiri dan melangkah cepat ke tangga.
Sesampainya di lorong, ia melihat Rumi baru saja keluar kamar, mengenakan sweater kebesarannya dan rambut terikat asal-asalan.
"Rumi," panggil Radit, sedikit terengah.
Rumi hanya menoleh sebentar, tapi tidak menyapa.
Radit maju, berdiri menghalangi jalannya.
"Kamu bisa berhenti mendiamkanku malam ini?" tanyanya pelan, penuh tekanan. "Aku nggak tahan, Rumi. Aku bahkan nggak bisa kerja. Aku harus tahu, apa aku melakukan sesuatu yang nyakitin kamu?"
Rumi menunduk. Tapi kali ini, dia tidak kembali masuk ke kamar.
"Rum ...."
Radit menyentuh dagu Rumi, perlahan mengangkat wajahnya agar tatapan mereka bertemu. "Ada apa? Aku salah apa?"
Rumi menggigit bibir bawahnya sejenak, lalu menggeleng lemah. "Tadi siang aku nggak sengaja lihat Mas Radit sama Reva di kafe. Kalian kelihatan dekat, dan Reva sempat—memeluk Mas Radit."
Suaranya nyaris bergetar. "Aku pikir, mungkin aku harus mulai jaga jarak. Takut kalau sebenarnya Mas udah punya ... pacar."
Radit terdiam sejenak, lalu mengerutkan kening.
"Pacar?" tanyanya pelan. "Reva itu bukan pacarku, bahkan bukan temanku. Dia cuma seseorang yang dulu sempat dijodohin sama Mama. Dan itu sebelum aku kenal kamu."
Rumi menunduk, masih diliputi keraguan. "Tapi tadi kalian berpelukan. Aku lihat sendiri."
"Nggak seperti itu, Rumi." Radit menghela napas panjang. "Hari ini aku ketemu dia justru buat bilang agar dia berhenti ganggu hidupku dan hidup kamu. Tapi Reva memang susah dikontrol. Pelukan itu sepihak. Aku nggak pernah minta."
Rumi menatap mata Radit. Ada luka, tapi juga kelegaan perlahan tumbuh.
"Aku ... maaf. Mungkin aku terlalu cepat menyimpulkan," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Radit menghela napas, lalu melangkah maju dan merengkuh Rumi ke dalam pelukannya—hangat, protektif, seperti ingin menyampaikan semua yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Mulai sekarang, apa pun yang bikin kamu ragu, tanya langsung ke aku. Jangan simpan sendiri, apalagi menjauh kayak tadi," bisiknya di dekat telinga Rumi.
Rumi diam, tapi tubuhnya tak lagi tegang. Ia membalas pelukan itu perlahan, seolah mengizinkan dirinya percaya lagi.
Pelukan itu bertahan beberapa detik lebih lama. Tak ada kata tambahan, tapi malam itu mereka sama-sama tahu. Sesuatu di antara mereka telah berubah, menjadi lebih jujur dan lebih kuat.
"Dan aku juga baru tau. Kalau kita sempat tidur bareng malam itu."
Deg.
Jantung Rumi seperti berhenti seketika. Mata yang tadinya terpejam karena nyaman dalam pelukan, kini terbuka lebar. Tubuhnya kaku.
"Kenapa nggak bilang, hm?" bisik Radit, nyaris menyentuh telinga.
"Aku ... aku ...." Suara Rumi tercekat. Saat ia mencoba melepaskan diri dari pelukan, Radit malah mengeratkannya. Tak memberinya celah untuk menjauh.
"Waktu itu aku mabuk, Rum. Nggak ingat apa-apa. Jadi, apa aku nyakitin kamu? Apa aku nyentuh kamu? Atau aku─"
"Nggak!"
Rumi akhirnya bisa mendorong Radit—cukup kuat untuk membuatnya mundur selangkah. Ia gugup, terutama ketika Radit menatapnya lekat-lekat sambil sedikit menunduk karena tinggi mereka yang jauh berbeda.
"Mas Radit nggak ngapa-ngapain, kok. Kita cuma tidur. Biasa aja. Bahkan, masih ada jarak di antara kita." Suara Rumi makin pelan di akhir kalimat. Tidak sepenuhnya jujur.
Radit menyunggingkan senyum tipis. Senyum jahil yang tak bisa dibaca.
"Yakin? Tapi biasanya, aku suka tidur sambil meluk sesuatu. Jangan-jangan ... kamu yang aku peluk waktu itu?"
Rumi membeku. Tak menjawab. Wajahnya langsung memerah seperti udang rebus. Bahkan untuk mengangguk pun ia tak sanggup.
Tanpa aba-aba, Rumi langsung berbalik dan berlari ke kamar. Pintu dikunci dari dalam.
Radit hanya tertawa pelan sambil menggaruk tengkuknya.
"Ya ampun ... Rumi lucu banget."
...****************...
Aroma roti panggang dan telur dadar menyebar dari dapur. Rumi sibuk menyusun sarapan di atas meja makan, berusaha menenangkan hatinya sendiri yang masih hangat oleh percakapan semalam.
Radit muncul dari arah kamar, terlihat rapi dengan kemeja lengan panjang dan jas hitam yang ia sampirkan pada kursi makan.
"Hm ... wangi banget. Ini sarapan spesial buat aku, ya? Soalnya aku nggak liat satu pun art yang bantuin kamu pagi ini?" godanya sambil menarik kursi dan duduk.
Rumi melemparkan tatapan malu-malu sambil menuang kopi ke dalam cangkir. "Nggak juga. Ini sebagai bentuk permintaan maafku karena salah paham tadi malam."
"Jadi, udah nggak ada masalah lagi kan?" Radit bertanya, menaikkan kedua alisnya sambil serius menatap Rumi.
"Nggak ada, Mas," jawab Rumi pelan. Berbanding terbalik dengan jantungnya yang kini berdegup kencang.
Mobil berhenti perlahan di depan gerbang TK Pelangi Kecil. Rumi duduk gugup di jok penumpang, meremas-remas ujung tasnya. Ini pertama kalinya ia diantar Radit ke sekolah. Meski sopir biasanya yang bertugas, hari ini Radit ngotot mau menyetir sendiri.
"Udah sampai," kata Radit, menoleh padanya. Tatapan matanya lembut, tapi ada ketegasan yang tak bisa disangkal.
Rumi mengangguk pelan dan hendak membuka pintu saat tiba-tiba Radit menahan pergelangan tangannya.
"Sebentar."
Ia mendekat, membuat jantung Rumi serasa dipukul-pukul dari dalam. Dengan gerakan pelan, Radit mengangkat tangan dan menyeka bagian sudut bibir Rumi dengan ibu jarinya.
"Lipstikmu sedikit berantakan," bisiknya rendah. "Sayang banget kalau orang lain lihat kamu dalam keadaan begini."
Sentuhan itu singkat, tapi cukup membuat napas Rumi tertahan. Ia tak berani menatap Radit terlalu lama. Wajahnya memanas, dan ada degup aneh di dalam dada yang tak bisa ia jinakkan.
Radit tersenyum miring, seolah tahu efek kecil dari tindakannya. "Udah rapi. Hati-hati, ya."
Rumi mengangguk cepat, buru-buru turun sambil menahan degup di dadanya agar tak meledak. Tapi langkahnya sempat terhenti saat Radit menurunkan kaca jendela dan memanggilnya pelan.
"Rumi."
Rumi menoleh.
"Kamu cantik hari ini."