Novel romantis yang bercerita tentang seorang mahasiswi bernama Fly. Suatu hari ia diminta oleh dosennya untuk membawakan beberapa lembar kertas berisi data perkuliahan. Fly membawa lembaran itu dari lantai atas. Namun, tiba-tiba angin kencang menerpa dan membuat kerudung Fly tersingkap sehingga membuatnya reflek melepaskan kertas-kertas itu untuk menghalangi angin yang mengganggu kerudungnya. Alhasil, beberapa kertas terbang dan terjatuh ke tanah.
Fly segera turun dan dengan panik mencari lembaran kertas. Tiba-tiba seorang mahasiswa yang termasuk terkenal di kampus lantaran wibawa ditambah kakaknya yang seorang artis muncul dan menyodorkan lembaran kertas pada Fly. Namanya Gentala.
Dari sanalah kisah ini bermulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8
“Teman-teman. Boleh duduk sebentar semua di sofa?” pinta Gen dengan suara tegas.
Fly dan tiga lelaki di kelompok itu langsung merapat tanpa protes. Berbeda dengan lima perempuan lainnya. Hanya Fly satu-satunya perempuan di sofa itu. sedangkan yang lainnya masih sibuk merapikan barang-barangnya setelah diturunkan dari mobil pick up. Mereka memasang wajah kusut. Terutama Cua. Ia seperti hendak mengomel panjang ke arah Gen.
Sesaat, Fly tampak canggung karena dilihat oleh teman-teman laki-lakinya. Apakah terlalu jelas jika dia begitu bersemangat dengan panggilan Gen tadi? Sehingga, ia beranjak dari sofa dan berjalan menuju barang-barangnya yang masih ada di teras.
“Mau ke mana, Fly?” Gen bertanya.
Langkah Fly terhenti, namun tanpa menoleh, “Aku lupa laptopku, takut tertindih barang-barang lain.”
“Hei, cewek-cewek. Nanti lagi lanjut beres-beresnya,” protes salah satu lelaki di sofa yang bernama Rez.
Posisi Fly masih setengah meter dari arah sofa.
“Aduh, nggak enak tahu ngobrol-ngobrol kalau barang-barang masih berserakan gini. Kalian cowok-cowok mana paham,” keluh Cua.
Rez mengembuskan napas berat, “Udahlah, Gen. kita-kita aja. Nanti para betina itu nyusul aja.”
“Fly,” panggil Gen.
Kali ini Fly menoleh, “Sebentar, aja. Nggak nyampe setengah jam,” pinta Gen, dengan nada lembut.
Seolah seperti ada magnet yang menarik langkah Fly untuk mengurungkan langkahnyaa. Padahal sudah sampai bingkai pintu. Dalam sekejap, ia malah putar balik ke arah sofa.
“Cua, Izu, Chel, Jess, Kalea. Ayo, sebentar aja. Setelah itu kita bisa beres-beres sepuasnya,” pinta Fly meniru nada lembut Gen.
Pada akhirnya, semua menurut dan duduk di sofa sesuai permintaan Gen.
“Maaf, temen-temen mengganggu waktunya sebentar. Jadi, tujuan saya mengumpulkan kalian atau kita semua di sini adalah untuk mengingatkan, ya. Karena dalam dua bulan ke depan, kita akan menjalani KKN dan tinggal di rumah ini. Sebagaimana yang teman-teman ketahui, pemilik kontrakan tinggal tepat di sebelah rumah ini. Jadi, saya harap kita semua bisa menjaga adab dan nama baik almamater kita, yakni Universitas Langit Bangsa,” ujar Gen dengan postur tegapnya.
Hanya ia yang masih mengenakan almamater. Sedangkan yang lain sudah melepaskannya semua. Sejak awal, dosen pembimbing kami langsung menunjuk Gen sebagai ketua kelompok. Mereka semua tentu tidak ada yang keberatan dengan itu. Bahkan jika dipilih oleh mereka sendiri juga pasti semua suara akan tertuju pada Gen. Fly sebagai sekretaris dan Chel bendahara.
“Iya, tentu akan kami lakukan itu. Kita ‘kan udah gede,” sambut Cua, malas.
Fly melirik sekilas. Tidak ada yang menyadari itu, namun Cua menyadarinya. Itu membuat Cua menyadari, bahwa Fly begitu sensitive terhadap Gen. Ia seolah seperti pahlawan pelindung bagi Gen. Itulah mengapa Fly dan Cua seperti sedang perang dingin. Lebih tepatnya perang dalam senyap.
“Saya sudah membicarakan tempat tinggal pada pemilik kontrakan lewat telepon sebelum kita berangkat. Kami yang laki-laki akan tinggal di rumah terpisah. Letaknya jarak dua rumah dari sini,” ucap Gen.
“Loh, kenapa nggak di sini aja. Jangan bilang rumah kecil yang retak-retak dan dekat tempat bakar sampah itu?” tanya Rez.
“Iya, di sana.” Gen menjawab.
Dua lelaki lainnya menepuk kening. Mereka jelas sudah melihat bagaimana penampakan rumah itu. sebuah rumah yang sudah lama kosong. Di sampingnya biasa tempat para warga membakar sampah.
“Terus buat apa kita bayar rumah ini, Gen. kalau ada kamar yang nggak dipakai dan dibiarin kosong?” tanya Atma, yang duduk di sebelah kiri Gen.
“Buat tidur siang, boleh. Lagipula, kita nggak perlu bayar biaya tambahan untuk rumah itu,” tambah Gen.
“Lagian, siapa juga yang mau bayar rumah hantu kayak gitu,” timpal Cua.
Napas Fly terdengar berat akibat menahan kesal. Lagi-lagi, Cua menyadari itu.
“Teman-teman, lebih baik kita tinggal di rumah kecil, retak dan kotor itu. Daripada tinggal di sini dan satu rumah dengan perempuan. Itu tidak baik. Sebelumnya, mohon maaf untuk Chel, Jess dan Gio jika kurang berkenan dengan ucapan saya karena menjelaskan aturan dalam agama saya.”
“Santai, aja. Awalnya emang heran, tapi setelah kamu ngasih tahu alasannya, aku maklumin. Aku juga mengakui bahwa itu adalah suatu tindakan yang tepat untuk menjaga nama baik kampus kita,” jawab Gio, satu-satunya lelaki non-muslim di sana.
Chel dan Jess mengangguk, setuju. Tidak masalah dengan ucapan Gen. lagipula, mereka sudah terbiasa dengan lingkungan yang menyebutkan ajaran Islam.
“Tentu saja rumah ini tetap menjadi posko utama kita. Di sini tempat kita makan, diskusi, ngobrol dan lain sebagainya. Rumah itu hanya sebagai tempat untuk tidur di malam hari. Lalu, tidak boleh ada lelaki yang masuk ke rumah ini di atas jam sepuluh. Jika masih ada yang perlu dibahas, maka lanjutkan lewat grup online saja,” jelas Gen.
Semua mengangguk, setuju. Beda halnya dengan Fly yang mengangguk dengan senyuman tak berkesudahan.
“Baik, sekarang kita beres-beres barang dulu. Kami para laki-laki mau ke rumah itu dulu, ya,” pamit Gen.
“Iya, hati-hati,” jawab Fly semangat, membuat orang-orang melemparkan pandangan ke arahnya.
___ ___ ___
Rumah itu memiliki tiga kamar tidur. Enam mahasiswi KKN menggunakan suit untuk menentukan kamar masing-masing. Sialnya, Fly justru satu kamar dengan Cua. Tentu saja mereka berdua sebenarnya saling tidak menginginkan untuk bersama.
Sudah lebih dari setengah jam berada di kamar itu. Mereka hanya bersama sunyi. Hanya suara barang-barang yang dirapikan yang terdengar. Juga embusan napas mereka.
Saat hendak mengeluarkan laptop dari ransel, tanpa sengaja Fly menjatuhkan sebuah buku catatan ukuran A7 dari sana. Mata Cua langsung tertuju ke sana. Dengan kecepatan kilat, Fly langsung menyambar buku catatan itu hingga laptopnya nyaris terjatuh. Memangnya sepenting apa buku itu sampai prioritas laptop pun kalah.
Belasan menit berikutnya, Cua lebih dulu selesai merapikan barang. Diakhiri dengan meletakkan koper pada atas lemari. Sebuah lemari yang cukup besar untuk dipakai berdua. Cua di sebelah kiri dan Fly di sebelah kanan.
“Semoga kamar ini bebas dari suara ngorok,” ujar Cua sebelum beranjak keluar dari kamar.
Mendengar itu, Fly hanya mendengus. Enak saja Cua mengira dirinya akan mengorok.
Di grup online, Gen tidak mengajak teman-temannya untuk berdiskusi dan sebagainya dulu. Ia meminta teman-temannya untuk istirahat saja dan memulai diskusi program esok hari.
Terdengar suara tawa dari ruang tengah. Teman-temannya sedang asyik mengobrol. Seharusnya Fly keluar untuk mengisi semangatnya. Akan tetapi, ia lebih memilih untuk diam di kamar saja. sebab malas bertemu Cua. Sekalipun ia akan terus bersama setiap waktu tidur.
“Huh!” keluh Fly.
Fly melihat-lihat galeri pada ponselnya. Terdapat foto kelompok KKN beserta dosen pembimbing dengan banner yang mereka pegang. Semua menampakkan ekspresi bahagia. Walaupun semakin digeser, semakin aneh pose mereka. Hanya Gen yang tidak pernah mengubah ekspresi ataupun posenya. Tetap dengan senyum tipis, dan acungan jempol.
“Gaya bapak-bapak,” ujar Fly sambil tertawa kecil.
Ia memperbesar foto itu ke arah Gen. baik di foto ataupun di asli, ia tetap menenangkan. Namun tiba-tiba ada notif masuk. Itu pesan dari ayah Fly. Ia diingatkan untuk mengaji, seperti biasanya. Ia akan menjawab dengan alasan kelelahan setelah perjalanan ke posko KKN dan merapikan barang-barangnya yang banyak.
Tanpa sadar, apa yang dikatakan Vio benar. Halaman Qur’an yang dibaca Fly kian berkurang. Bukan semata-mata karena kesibukan, tapi karena sedang jatuh cinta dengan niat ingin diperhatikan oleh seseorang yang ia sukai itu.