Hafsah bersimpuh di depan makam suaminya, dalam keadaan berbadan dua. Wanita berjilbab itu menumpahkan rasa lelah, atas kejamnya dunia, disaat sang suami tercinta tidak ada lagi disisinya.
Karena kesalahan dimasa lalu, Hafsah terpaksa hidup menderita, dan berakhir diusir dari rumah orang tuanya.
Sepucuk surat peninggalan suaminya, berpesan untuk diberikan kepada sahabatnya, Bastian. Namun hampir 4 tahun mencari, Hafsah tak kunjung bertemu juga.
Waktu bergulir begitu cepat, hingga Hafsha berhasil mendapati kebenaran yang tersimpan rapat hampir 5 tahun lamanya. Rasa benci mulai menjalar menyatu dalam darahnya, kala tau siapa Ayah kandung dari putrinya.
"Yunna ingin sekali digendong Ayah, Bunda ...." ucap polos Ayunna.
Akankan Hafsah mampu mengendalikan kebencian itu demi sang putri. Ataukah dia larut, terbelunggu takdir ke 2nya.
SAQUEL~1 Atap Terbagi 2 Surga~
Cuma disini nama pemeran wanitanya author ganti. Cerita Bastian sempat ngegantung kemaren. Kita simak disini ya🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8
Hafsah menatap begitu lama, kotak sterofom putih itu. Disaat ujian menerpa keluarga kecilnya, dia hanya sendiri, tanpa adanya dukungan dari keluarga. Sudah dua hari suaminya dirawat, namun sekalipun orang tuanya tidak ada yang datang.
Sebenci itukah, Bapak dan Ibu kepada kami?
Disaat meminjam uang kemarin, Hafsah seolah memposisikan dirinya sebagai orang lain, yang pertama kali datang meminjam uang. Rasanya terlalu sakit, jika mengingat semua perlakuan orang tuanya kepada sang suami.
Sekeras itukah, hati kedua orang tuannya! Raga sudah berjuang mati-matian untuk mendapat simpati dari sang mertua. Namun yang dia dapat hanya luka semata. Hanya karena hidupnya yang jauh dari kata mampu, orang tua Hafsah memandangnya dengan sebelah mata. Melupakan semua kebaikan Raga selama ini.
Dada Hafsah terasa sesak. Air matanya mengalir, dengan tangan yang sejak tadi sibuk mengaduk bubur didepannya.
Yang dia takutkan, ketika ALLAH memiliki rencana lain. Dan disaat itu, Raga akan kalah melawan penyakitnya.
Entahlah ....
Beberapa hari dirawat, kini kesehatan Raga berangsur membaik karena beberapa obat yang dia konsumsi. Seharusnya, masa perawatan Raga di perpanjang menajdi 2 minggu. Namun dia menolak, mengingat kehamilan istrinya yang semakin besar. Jikapun Hafsah dipaksa tetap dirumah, maka akan kasian juga sang Nenek. Diusianya yang tidak lagi muda, mbok Nah sudah mengerahkan tenaganya untuk bekerja, merawat Raga sejak bayi.
Sore ini, pukul 15.00
Raga sudah dibolehkan pulang. Hafsah sudah memesan taxi online, untuk mengantarkan mereka pulang. Wajah Raga jauh lebih segar dari sebelumnya. Langkah kakinya juga menapak lebih kuat, sudah tidak sabar melihat kediamannya yang dia tinggal 1 minggu lamanya.
"Dek, maaf ya ... Kamu pasti capek! Nanti pas dirumah, gantian tak pijitin!" ucap Raga sambil memijit lengan Hafsah. Dia juga sesekali menunduk untuk mencium perut sang istri.
"Kamu baru saja pulih, Mas! Jangan banyak gerak. Kalau aku malahan bagus, hamil semakin besar, harus dibuat gerak! Biar bayinya juga sehat, dan gampang lahirnya-"
"Benar, Sah! Nanti kalau sudah menginjak usia 7 bulan ... Simbok buatkan minyak kelapa, agar bayinya gampang pas keluar!" sahut mbok Nah yang kini duduk disebelah sopir.
Hafsah sangat bersyukur. Senyumnya begitu tulus, berasa memiliki Nenek sendiri.
*
*
*
Jika dibanding dulu, mungkin kehidupan Raga saat ini terbilang cukup. Walaupun kerja di kantor Swasta, pria itu begitu tekun, hingga menjadi salah satu karyawan paling cerdas.
Pihak kantor memberi Raga cuti 1 minggu lagi, demi kesehatannya benar-benar membaik.
Setiap pagi, sebelum berangkat bekerja, Raga selalu bangun terlebih dahulu. Walaupun dalam masa pemulihan, tidak menutup kemungkinan untuk dia hanya diam. Raga mulai mencolokan nasi terlebih dahulu, baru membangunkan sang istri untuk diajaknya sholat shubuh berjamaah.
Selama menikah, dan sudah hampir 6 bulan itu, Raga tidak pernah menekan Hafsah untuk membersihkan rumahnya. Sejak kecil Raga sudah diajarkan sang Nenek untuk bertanggung jawab.
"Mas, kamu sedang apa sih, sibuk banget sejak tadi?" Hafsah menatap bingung, saat suaminya sibuk menaruh bumbu-bumbu instan diatas rak dapur.
"Kamu itu pelupa, Dek! Jadi kalau sudah tertata begini kan enak, tinggal ambil!"
Hafsah hanya mengangguk. Memang dia akui, dirinya sering lupa menaruh sesuatu, dan mencarinya lagi hingga pusing.
Setelah dari dapur, Raga beranjak menuju kamarnya. Dan sama seperti yang Hafsah lihat didapur tadi. Cuma kini Raga sibuk menata dalam lemari.
"Ini ada kaos kaki, dan juga jaket! Mas juga sudah melipat jilbabmu disini," ucap Raga menunjukan tempat barang-barang yang sudah dia siapkan.
Dia lalu menutup kembali pintu lemari itu. Kedua tangnya terulur memegang tangan sang istri, "3 bulan lagi usia kandungamu sudah 9 bulan, dan saat itu cuaca di Malang sedang dingin-dinginnya! Jadi jangan lupa pakai kaos kaki dan juga jaket! Pakaikan juga pada bayi kita, karena aku tidak ingin melihat dia kedinginan."
"Mas, kalau aku lupa, kan kamu bisa mengingatkanku!" jawab Hafsah merengek.
"Iya kalau Mas ada disisimu terus! Kalau tidak? Ingat pesan Mas, Dek ... Jangan pernah menggantungkan hidupmu pada orang lain! Jika itu sama Mas, tidak apa-apa! Kalau Mas tidak ada, kamu mau berharap sama siapa lagi?" pungkas Raga mencubit gemas hidung istrinya.
Hafsah menekuk wajahnya. Bibirnya manyun kedepan. Entah mengapa dia jadi takut sekali, setiap suaminya berkata seperti itu.
"Mas, kamu bicara apasih? Pokoknya kita akan sama-sama terus, sampai kapanpun, titik!"
Hahahaha ....
Tawa Raga pecah. Dia tidak ingin melihat istrinya tambah kepikiran. Dengan itu, pagi ini Raga mengajak Hafsah untuk berbelanja perlengkapan bayi mereka.
"Pelan-pelan ya 'Dek! Pegangan! Sudah siap?" tanya Raga menoleh, memastikan sang istri sudah duduk dengan nyaman.
"Sudah, Mas! Bismillah," jawab Hafsah yang kini sudah siap untuk berbelanja.
Entah mengapa, pada saat itu, Hafsah ingin sekali mengabadikan setiap momen bersama suaminya. Diam-diam Hafsah dan juga Raga saling merekam, disaat mereka mampir di suatu tempat, sebuah taman.
"Dek, nanti malam kita ke pasar malam yuk! Dulu kita tidak pernah pacaran, ya! Hehehe ...."
"Anggap saja dulu kita sudah sering pacaran, Mas! Kan kita dekat sudah sejak lama, Mas!" jawab Hafsah merasa malu.
"Dek, asal kamu tahu ... Mas sudah sejak dulu mencintaimu! Tapi Mas tidak berani menyatakan semua itu. Mas tidak ingin merusak persahabatan kita," pungkas Raga menyerongkan tempat duduknya.
"Aku juga sudah lama mencintaimu, Mas! Aku begitu cemburu, saat dulu si Puspita sering mendekatimu! Aku pikir, perasaanku tidak akan terbalas. Namun aku sangat bahagia, rupanya perasaanku terbalas olehmu."
"Dek, maafkan Mas! Mas belum dapat memberimu kemewahan, seperti orang di luaran sana. Mas malah semakin merepotkanmu, dengan penyakit Mas ini-"
Husttt!!
Hafsah menutup mulut Raga dengan jari telunjuknya.
"Aku hampir putus asa dengan masalahku dulu, Mas! Aku kuat, karena kamu selalu ada untukku. Finansial tidak dapat mengukur kebahagian seseorang. Asal kamu tahu ... Mendapat suami yang cintanya tidak berubah, dan hanya cukup dengan satu wanita saja ... Itu termasuk rejeki, yang mungkin tidak sembarang wanita lain miliki!"
"Terimakasih ya, Dek! Kamu sudah kuat!"
Hafsah kembali menatap depan. Dia menyandarkan kepalanya pada pundak Raga. Menikmati setiap momen yang tercipta.
Setelah mendapatkan semua barang yang dibutuhkan, Hafsah yang sudah lelah, kini mengajak suaminya untuk pulang.
Raga sangat antusias menyambut kelahiran sang buah hati. Setelah pulang, Hafsah langsung saja tertidur, setelah dia melaksanakan sholat dhuhur terlebih dulu.
Sementara Raga, dia sibuk menata baju-baju bayi, dan memadukan beberapa stel, memudahkan sang istri kelak saat menggantikan pakaian untuk anaknya.
Intinya, Raga sudah menyiapkan semua keperluan sang istri, serta bayinya kelak.
*
*
*
Selama dua bulan itu, tubuh Raga benar-benar terasa sehat kembali. Rasa pusing dan mimisannya, mulai berangsur hilang selama dua bulan itu.
Dan saat ini, usia kehamilan Hafsah sudah menginjak 8 bulan. Dan selama itu, baik Ayah dan juga Ibunya, mereka tidak ada yang datang menjenguk putrinya, semenjak Hafsah datang meminjam uang dulu.
Pagi ini, dia dan mbok Nah tampak sibuk didapur, sedang membuat minyak kelapa alami. Hafsah menatap jam dinding yang berada ditembok dapur. Sudah hampir pukul 07.00 tapi Raga belum juga keluar dari kamarnya.
"Kok mas Raga lama ya, Mbok? Aku ke kamar dulu, ya!" ucap Hafsah beranjak, sambil mengusap perutnya yang kini tampak lebih besar.
Begitu membuka pintu kamarnya, Hafsah terpaku, saat melihat sang suami tampak sibuk membersihkan darah yang kian mengalir deras dihidungnya. Mata Hafsah membola, serta tubuhnya mendadak lemas. Dia harus kuat, tidak boleh pingsan mengingat kehamilannya saat ini.
"Ya ALLAH, Mas!" teriak Hafsah merasa cemas. Dia dengan cepat menyahut sekota tisu diatas meja rias, dan langsung duduk membantu membersihkan darah tadi.
Hafsah tidak mampu membendung air matanya. Tangisannya pecah, sambil terus menyeka darah itu. Pikirannya kalut, bingung harus berbuat apa.
"Nggak papa, Dek! Hanya mimisan biasa kok. Mas kan sudah sehat." Raga masih dapat terkekeh pelan, walaupun wajahnya berangsur memucat.
"Bagaimana kamu masih bisa berkata seperti itu, Mas! Kita kerumah sakit lagi, ya! Ayok, biar aku bilang sama Simbok-"
"Dek, jangan kemana-mana ah! Sini duduk aja temani Mas! Mas nggak papa. Cuma tadi agak pusing sedikit. Nanti juga hilang! Mas sudah ambil cuti satu hari, mau manja-manjaan dirumah sama kamu! Jangan pergi-pergi ya. Sudah, duduk disini saja!" pungkas Raga seakan takut, jika istrinya akan pergi entah kemana.
Hafsah semakin takut. Tangisannya tidak mampu terbendung. Pikiran negatif sudah memenuhi kepalanya saat ini.
"Lebih baik kamu istirahat dulu, Mas!"
Raga mengangguk. Dia perlahan mulai berbaring diatas ranjang, "Mas tidur dulu ya, Dek! Badan Mas rasanya capek banget! Jaga sholatmu ya, Dek ... Jaga juga anak kita saat lahir nanti! Semua sudah Mas siapkan." Terang Raga yang masih dapat tersenyum hangat.
Entah perasaan Hafsah atau bagaimana, semakin dia memandang wajah suaminya, wajah Raga terlihat semakin tampan, bersih, bahkan pucatnya sudah menghilang dalam sesaat.
Hafsah menaikan selimut pada tubuh Raga. Sebelum beranjak, Hafsah memastikan dulu suaminya sudah tidur. Wanita berjilbab merah itu, mencium kening suaminya cukup lama, baru membersihkan beberapa tisu bekas darah sang suami.
Begitu keluar, Hafsah langsung memberi tahu sang Nenek perihal yang terjadi pada suaminya.
"Apa dia sudah tidur?" tanya mbok Nah memastikan.
Hafsah mengangguk, menyembunyikan rasa sesaknya. Namun hal itu tidak lepas dari pandangan mbok Nah. Setelah itu mbok Nah langsung bergegas menuju kamar Raga, untuk melihat keadaan sang cucu.
Hafsah tidak mampu ikut masuk kedalam. Entah mengapa perasaanya semakin tidak enak. Dia hanya berhenti di ambang pintu, dan membiarkan sang Nenek mendekat