"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Digerebek
Lisna berdecih melihat respons Hanin yang menurutnya lebay. "Dih,sok jual mahal. Padahal aslinya mau banget, kan?" celetuknya.
"Ibu bener, kok. Gak papa kalau kamu nerima laki- laki ini, Nin. Meski dia gak kaya, tapi dia ganteng. Lumayan lah buat memperbaiki keturunanmu nanti," imbuh Lisna.
Hanin memutar bola matanya."Kamu bisa nggak sih menghargai tamu? Mas Raffa ini tamu di rumah ini. Tapi, kamu tetep aja menghinanya," ucapnya seraya menggelengkan kepala.
Raffa terkekeh pelan. "Aku tidak masalah meski dihina, Nin. Biarkan saja. Bukankah dunia ini terus berputar? Hidup tidak akan ada yang tahu ke depannya, kan?Jika hari ini, adikmu itu membanggakan calon suami beserta calon mertuanya, bisa jadi nanti adikmu akan menangis karena penyesalan," tukasnya.
"Maksud kamu apa ngomong gitu? Kamu itu dari tadi songong banget kalau ngomong. Sadar diri dong kalau kamu cuma OB!" bentak Lisna yang tak terima dengan ucapan Raffa.
"Sabar, Sayang. Nanti akan aku aduin pria ini pada Papa biar dia dipecat dari kantor" Arya menengahi.
Namun, sejenak ia berpikir dan kembali berkata, "Eh, jangan deh. Kasihan kalau dia dipecat. Nanti jadi pengangguran malah gak bisa ngasih nafkah keHanin."
"cukup," kata Pak Abdul dengan suara lembut.
"Sudah, Nak Arya, Lisna sudah lagi.
"Nak Raffa, sekali lagi saya mohon maaf jika suasana di sini kurang nyaman," kata Pak Abdul
"Tidak apa- apa, Pak. Saya mengerti. Kalau begitu, saya pamit pulang. Lain kali saya akan datang lagi." Raffa berdiri. Lalu berpamitan pada Pak Abdul dan Bu Daning.
Pak Abdul memberi isyarat pada Hanin untuk mengantar pria itu ke depan. Tentunya Hanin tak bisa menolak jika sang Ayah meminta.
"Mas, kenapa kamu mau dicomblangin sama aku? Apa sebelumnya kamu tahu kalau yang mau dijodohin sama kamu itu aku?"Hanin melempar tanya pada Raffa saat pria itu hendak menaiki motor vega berwarna hitam miliknya.
"Aku tidak tahu. Bahkan aku tidak tahu kalau akan dijodohkan denganmu. Aku saja kaget saat datang ke sini tadi," papar Raffa. Ia mengenakan helm dan menaiki motornya.
"Hah? Tapi ... tadi kamu bilang ...
Raffa menatap Hanin. Tatapan elang yang tajam menghujam itu membuat Hanin urung bicara.
"Tidak ada salahnya kan kalau kita mencoba?"
Hanin terbelalak. "Me-mencoba apa? Mas jangan macam-macam. Aku gak suka sama kamu, Mas. Aku tuh mau nikah sama lelaki yang aku cintai dan lelaki itujuga mencintaiku!"
"Bagaimana bisa kamu menemukan lelaki seperti itu kalau kamu saja gak mau membuka diri,
Han?" tegas Raffa.
Hanin terkesiap. "Aku ...."
"Kamu selalu menutup diri, berusaha sendiri, dan selalu berkata bahwa akan menemukan calon
suamimu dengan caramu." Raffa menatap lurus ke depan.
"Tidak ada yang salah dengan pemikiranmu,tapi aku hanya mau meluruskan saja. Sebab, pada dasarnya cinta itu hadir setelah halal. Jika cinta hadir sebelum halal itu sama saja saling mencari untung. Katakan saja simbiosis mutualisme," jelasnya kemudian.
Hanin bergeming. Ia tak paham maksud ucapan Raffa. Priadi depannya itu benar- benar suka sekali mengucapkan kalimat yang mengundang rasa penasaran.
"Sudahlah, aku jelasin sampai mulutku berbusa, kamu tak akan paham. Aku pulang dulu. Nanti,
kalau ketemu aku di mana pun jangan lupa sapa aku."
Hanin mengerutkan dahinya. "Lah, ngapain?"
"Karena kita sudah saling kenal. Bahkan, aku juga berniat melamarmu. Hanya saja harus tertunda karena kehadiran calon adik iparmu itu. Jawaban Raffa membuat Hanin mencebik.
"Yakin banget kalau aku bakalan mau," kata Hanin.
"Meski gak mau, kamu pasti akan mau karena berawal dari rasa terpaksa." Usai mengucapkan hal itu, Raffa menghidupkan motornya, lalu melajukannya meninggalkan pekarangan rumah
Hanin.
Langkah Hanin terhenti saat mendengar obrolan Lisna dengan Arya yang membahas soal Raffa diruang tengah. Pasangan sejoli itukini berpindah di ruang keluarga.Menonton tivi sambil rebahan.
Hanin hanya geleng- geleng kepala. Adiknya dan Arya belum halal. Tapi, malah tiduran dengan posisi seintim itu. Anehnya, ibu dan bapaknya hanya diam saja.
"Yang, kok kamu nyari calon buat Hanin ganteng begitu, sih?Emang gak ada ya OB yang mukanya jelek atau minimal pas-pasan lah. Lah ini ... udah kayak aktor korea aja wajahnya," keluh Lisna.
"Apa, sih, kamu itu. Lagian Raffa sama aku kan masih gantengan aku," kata Arya.
"Iya... maksudku, kenapa kamu nyari cowok yang ganteng? Kenapa gak yang biasa-biasa aja,sih?"
"Aku mana tahu. Papa yang nyalonin Raffa, Sayang. Aku juga mana tahu kalau dia akan datang hari ini. Tahu gitu kan aku bakalan nyuruh Papa nyari cowok lain yang wajahnya pas- pasan."
Lisna masih merengut. Sungguh, ia masih tak rela jika Hanin mendapatkan pria yang tampan.
"Hanin itu pantesnya sama tipe-tipe cowok kampungan karena Hanin juga kampungan," keluh Lisna.
"Oalah, Lis ... Lis. Sekarang kamu iri sama aku? Kalau gitu kenapa gak kamu saja yang nerima
lamaran Mas Raffa?" Hanin menyahut secara tiba- tiba.
"Idih! Udah kayak kompor meleduk! Gak diajak omong nyahut aja! Lagian mana level aku sama OB kayak dia. Gak sudi!" balas Lisna.
"Kalau gitu, diam! Gak usah banyak ngeluh!" kata Hanin.Lantas, ia berjalan ke kamarnya untuk berniat istirahat. Namun, saat teringat bahwa dirinya belum mandi, Hanin memutuskan untuk mandi dulu.
Hanin merasa tubuhnya segar setelah mandi. Ia memakai pakaiannya sekalian di kamar mandi seperti biasanya. Namun, ia kaget saat membuka pintu kamarmandi Arya sudah berdiri di depannya.
"Hei, ngapain kamu di sini?!"Refleks Hanin menutup dadanya dengan handuk, meski ua sudah berpakaian lengkap. Arya tersenyum tipis.
"Mau buang air kecil, Nin."
"Kan bisa nunggu di depan. Memang Lisna ke mana?!"
"Dia ketiduran. Kayaknya kecapekan habis cerita- cerita."
"Lain kali kalau masih ada orang di kamar mandi, tunggu ajadi ruang tengah. Jangan di sini!"
Hanin merasakan ada yang aneh dengan sikap Arya. Ia pun bergegas lari ke kamarnya. Hanin menutup pintu kamarnya dengan tergesa, punggungnya bersandar didaun pintu. la mengatur mapas yang terasa memburu, mencoba menenangkan diri. Apa yang baru saja terjadi membuat pikirannya kacau.
Mengapa Arya berdiri di depan kamar mandi saat ia baru selesai mandi? Apakah itu kebetulan atau sesuatu yang disengaja? la merapatkan handuk dilehernya, mencoba mengusir pikiran buruk yang terus menari-nari di kepalanya.
"Mungkin memang aku saja yang terlalu sensitif," gumamnya, tetapi hati kecilnya tidak sepenuhnya yakin.
Suara tawa kecil dari ruang tengah terdengar samar. Hanin mengintip dari celah pintu dan melihat Arya kembali duduk disofa, sementara Lisna masih tertidur dengan posisi yang sama seperti sebelumnya. Ia terlihat santai, seolah tidak terjadi apa- apa.
Hanin duduk di pinggir tempat tidurnya, tangannya meremas ujung kain rok yang ia kenakan.Kejadian ini membuatnya semakin tidak nyaman tinggal di rumah ini jika ada Arya. Entah kenapa lelaki itu tak kunjung pulang.
Keesokan paginya, Hanin bangun dengan perasaan lelah. Ia mencoba mengabaikan peristiwa semalam dan memulai hari seperti biasa. Setelah sarapan, ia duduk diruang makan untuk memeriksa daftar belanjaan yang diberikan ibunya untuk keperluan seminggu ke depan.
Namun, suasana berubah tegang ketika Lisna masuk ke ruangmakan dengan wajah cemberut.
"Hanin, aku dengar kamu marah- marah ke Arya kemarin sore saataku tidur. Apa-apaan sih?!"
Hanin meletakkan daftar belanjaannya, menatap Lisna dengan mata tajam. "Aku nggak marah- marah, Lisna. Aku cuma minta dia nggak berdiri di depan kamar mandi setelah aku selesai mandi. Itu nggak sopan."
Lisna tertawa kecil, tetapi nadanya sinis. "Kamu ini pede, ya? Arya itu nggak mungkin macam-macam sama kamu. Lihat kamu aja dia ogah. Lagian, dia cowok aku. Kalau ada masalah, bicarakan keaku, bukan langsung ke dia!"
Hanin menggertakkan gigi, mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi. "Aku nggak butuh drama pagi- pagi, Lis. Kalau kamu nggak suka, silakan aduin aja ke Ibu."
"Lihat aja nanti. Aku bakal bilang ke Ibu biar kamu berhenti cari- cari masalah sama aku dan Arya!" Lisna berteriak sebelum meninggalkan ruang makan dengan langkah dihentak-hentakkan.
Hanin memejamkan matanya,merasa frustrasi. Hidup di rumahini semakin sulit, terutama dengan sikap Lisna yang selalu menekannya dengan membabi buta.
Hanin berangkat bekerja usai memastikan semua pekerjaanrumah beres. Dengan menenteng tas ia berangkat berjalan kali.
"Wah, pagi- pagi udah mendung. Bentar lagi kayaknya hujan. Mana payungnya rusak."Hanin menggumam. la kembali melanjutkan langkah menuju toko Ko Yusuf.
Hanin berdiri di sudut gubuk,tubuhnya menggigil karena basah kuyup. Kilat menyambar, disusul suara gemuruh guntur yang menggetarkan malam. Hujan semakin deras, membasahi atap gubuk tua yang sudah bocor dibeberapa bagian.
Hanin yang baru selesai kerja dan akan pulang, mendadak hujan turun dengan deras. Dan saat memilih berteduh, Hanin terkejut saat melihat Raffa juga ada di dalam gubuk itu.
Hanin heran, kenapa Raffa adadi mana- mana? Sebenarnya apa pekerjaan asli pria itu? Raffa, pria muda yang beberapa hari bertemu dengannya sekaligus pria yang pernah akan melamarnya berdiri tak jauh darinya. Mata Raffa tampak tajam menatap Hanin, seperti biasanya.Tapi, ia nampak seolah ingin menjelaskan kehadirannya di tempat itu.
Namun, sebelum kata- kata keluar dari mulut Raffa, tikus kecil melintas di kaki Hanin.
"Ah!" Hanin berteriak refleks,melompat ke arah Raffa, lalu tanpa sadar memeluknya. Napasnya memburu, sementara tubuhnya terus gemetar karena takut.
Raffa membeku sejenak, tetapi kemudian berusaha menenangkan Hanin. "Tenang lah. Itu cuma tikus kecil. Tidak apa- apa. Namun, sebelum suasana menjadi lebih tenang, suara ramai terdengar dari luar gubuk. Cahayalampu senter menyorot ke arah mereka.
"Hei! Apa yang kalian lakukan di sini?! Mesum, ya?!" seru seorangpria paruh baya, yang diikuti beberapa warga kampung lainnya. Hanin melepaskan pelukannya dengan cepat, wajahnya memerah karena malu.
"Tidak! Bukan seperti itu! Kami cuma.."
"Kami cuma berteduh," tambah Raffa cepat tapi tetap tenang. Ia mencoba menjelaskan, tetapi warga tidak mau mendengar.
"Berdua saja? Sudah jelas kalian berbuat zina! Peluk- pelukan digubuk ini!" Salah satu wanita
menuding mereka dengan ekspresi penuh kecurigaan.
"Tidak, Bu! Sungguh, kami tidak melakukan apa- apa!" Hanin mencoba membela diri, tetapi sorot
mata warga sudah telanjur menghakiminya.
"Bawa mereka ke balai desa!
Biar kepala desa yang memutuskan!" teriak seorang pria.
Hanin dan Raffa tidak punya pilihan selain mengikuti warga yang menyeret mereka ke balai desa. Sepanjang perjalanan, hati Hanin dipenuhi rasa takut dan malu.
Setibanya di balai desa, suasana semakin memanas. Warga berkumpul, berbisik- bisik dan menatap Hanin serta Raffa dengan tatapan penuh curiga. Kepala desa,Pak Rendra, duduk di kursinya dengan raut wajah serius.
"Apa yang terjadi di sini?"tanyanya tegas.
Seorang pria tua melangkah maju. "Kami menangkap dua orang ini di sebuah gubuk di pinggir jalan,Pak. Mereka berdua sedang berpelukan! Itu jelas perbuatan tidak bermoral!"
"Tidak seperti itu, Pak! Saya hanya takut karena ada tikus, jadi saya refleks berlari ke arah Mas
Raffa," Hanin berusaha menjelaskan.
Pak Rendra menatap Raffa.
"Kamu ada apa di sana?"
"Saya berteduh, Pak. Kebetulan kami bertemu di tempat yang sama.Tidak ada apa- apa di antara kami," jawab Raffa dengan tenang.
Namun, warga tidak percaya. Mereka mulai berteriak- teriak,menuntut agar Hanin dan Raffa dihukum. "Jangan biarkan mereka lepas begitu saja! Mereka harus dinikahkan, atau diusir dari kampung!"
Hanin merasa lemas mendengar tuntutan itu. la ingin membela diri, tetapi suara warga terlalu nyaring untuk diatasi.
"Cukup!" Suara Pak Rendra membungkam keributan. la memandang Hanin dan Raffa dengan tatapan tegas.
"Kalian berdua pulang malam ini. Tapi saya akan memanggil keluarga kalian besok pagi untuk membahas masalah ini."
Pak Rendra mendata Hanin dan Raffa serta menyita KTP mereka berdua untuk jaminan.
Ketika Hanin pulang ke rumah,ia menemukan Lisna dan Bu Daning sudah menunggunya diruang tamu. Wajah Lisna penuh dengan senyuman mengejek, sementara Bu Daning tampak marah besar.
"Apa ini yang kamu lakukan di luar rumah, Hanin? Memalukan keluarga kita?!" Bu Daning memulai
dengan nada tinggi.
"Bu, itu tidak seperti yangmereka pikirkan. Aku cuma meneduh, dan mereka salah paham," jawab Hanin, suaranya bergetar.
"Salah paham? Jadi semua orang kampung yang melihat kamu berdua itu salah? Hanin, aku tidak percaya kamu bisa melakukan hal serendah itu!" Bu Daning mencibir.
Lisna menambahkan dengan nada sinis. "Hanin... Hanin, aku nggak nyangka kamu itu ternyata bisa merendahkan diri sampai segitunya. Kemarin bilangnya gak mau, tapi ternyata di belakang udah sedoyan itu!"
Hanin menatap Lisna dengan mata basah.
"Lisna, aku tidak seperti yang kalian pikirkan. Mereka cuma salah paham."
Hanin menatap Bapaknya yang hanya diam dengan wajah kecewa."Pak... aku gak ngelakuin apa- apa. Percayalah, Pak," ucapnya lirih.
"Cukup, Hanin!" bentak Bu Daning. "Besok pagi, kita akan bicara di depan kepala desa. Kalau memang terbukti kamu salah, jangan harap bisa tinggal di rumah ini lagi!"
Hanin merasa hatinya hancur. la masuk ke kamar dengan tubuh gemetar, membiarkan air matanya
mengalir tanpa henti.
Pagi itu, Hanin duduk di balai desa bersama Bu Daning, Pak Abdul dan Lisna. Raffa juga hadir,
didampingi oleh seorang pria yang mengaku sebagai pamannya. Warga kembali berkumpul untuk mendengarkan keputusan kepala desa.
Pak Rendra membuka pertemuan dengan nada tegas."Setelah mendengar semua keterangan, saya tidak menemukan bukti yang jelas bahwa Hanin dan Raffa melakukan perbuatan tidak senonoh. Tapi karena fitnah ini sudah tersebar luas, saya hanya punya satu solusi."
Semua orang menunggu dengan tegang.
"Hanin dan Raffa harus menikah. Itu satu- satunya cara untuk membersihkan nama mereka."
Hanin membelalak. "Pak, saya tidak bisa menikah dengan dia! Saya bahkan tidak mengenalnya dengan baik!"
Raffa menoleh ke arah Hanin, wajahnya datar tapi tidak ada yang bisa menebak apa yang pria itu pikirkan.
"Tapi ini untuk nama baik kalian berdua," kata Pak Rendra."Atau, Hanin, kamu harus meninggalkan kampung ini."
Hanin merasa seluruh dunia runtuh di sekitarnya. la menatap Raffa, mencari jawaban di mata pria
itu.
"Baik, saya akan menikahinya." Suara Raffa akhirnya memecah keheningan.
Hanin terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Apakah ini akhir dari semuannya.