"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.
Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"
"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.
"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"
Diam.
"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.
Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Hari Pertama Sebagai Taruna
Pagi yang cerah menyambut Cakra dan Arlan di gerbang asrama Akademi Pertahanan. Ransel besar di punggung mereka menggantung penuh beban, bukan hanya barang bawaan, tapi juga harapan dan tekanan yang mulai terasa nyata. Asrama tampak kokoh dan sederhana, bangunan dua lantai dengan cat kusam, berjajar rapi di tengah lapangan besar. Di depan pintu masuk, beberapa peserta baru sudah mulai mengantri untuk pembagian kamar. Cakra diam menatap gedung itu, sesekali melirik daftar nama yang dibagikan. “Pleton 3, kamar B-12. Kita sekamar, Lan.” Arlan tersenyum lega “Akhirnya juga, men. Gue kira bakal dikocok kayak asrama Hogwarts.”
Mereka berjalan ke kamar yang dimaksud. Di dalam, sudah ada dua taruna lain yang tampak masih canggung, satu dari Kalimantan, satu lagi dari Sumatra. Mereka hanya saling melempar senyum kecil dan mulai mengatur tempat tidur masing-masing. Arlan, seperti biasa, mulai ngoceh. Arlan mengeluh “Gila sih ini... tempat tidurnya sempit banget. Di luar negeri, satu kasur bisa salto dua kali. Di sini? Baru duduk aja dengkul kena besi ranjang.”
Cakra tersenyum kecil “Biasa. Adaptasi awal.” Arlan melirik sahabatnya “Adaptasi? Bro, jetlag gue aja belum kelar.” aktu menunjukkan pukul 04.30, bel tanda apel berbunyi keras. Suara sepatu menghentak lorong asrama. Semua taruna bangun dan bergerak cepat. Semua… kecuali Arlan, yang masih tertidur pulas di balik selimut. Cakra mulai panik membangunkan sahabatnya “Lan. Bangun. Serius. Ini bukan sekolah biasa.”
Arlan menggeliat dengan malas “Lima menit lagi, bro…” Cakra terpaksa meninggalkannya karena harus segera berkumpul di lapangan bersama Pleton 3. Saat pelatih menghitung jumlah anggota, satu orang belum hadir. Dan itu sudah cukup membuat masalah besar. Pelatih menatap mereka tajam "Mana teman kalian?!!" tak ada jawaban akhirnya sang pelatih mulai marah. “Satu orang telat, satu peleton tanggung jawab! Push-up lima puluh hitungan! Sekarang!”
Semua langsung tiarap. Beberapa mengeluh pelan, namun tidak ada yang berani bersuara lantang. Cakra menahan napas, menyusuri tanah basah dengan telapak tangannya. Ia tahu, hukuman ini bukan hanya untuk Arlan, tapi untuk membentuk rasa tanggung jawab kolektif. Beberapa taruna melirik kesal saat akhirnya Arlan datang tergopoh-gopoh, rambut awut-awutan, kaus masih terbalik. pelatih melihatnya hingga matanya hampir keluar "DARI MANA KAMU?!!" arlan membenahi seragamnya dan menjawab dengan gugup "S-siap,dari kamar mandi" akhirnya sang pelatih memberikannya hadiah. "PUSH UP 100 KALI!!" arlan hanya bisa pasrah dan mengambil posisi di antara teman-temanya yg menatapnya kesal
Arlan masih dengan nafas terengah “Sumpah gue nggak sengaja… alarm-nya error…” Pelatih melihat hal itu dan berkata “Diam! Nanti kalian semua akan tahu, satu orang lemah, semua akan tumbang!” Cakra menatap tanah di bawahnya, keringat mulai mengucur. Dalam benaknya, ia mulai mengerti akademi ini bukan sekadar latihan fisik. Ini ujian mental. Dan mereka baru saja memasukinya.
Malam turun perlahan di atas kompleks akademi. Lampu-lampu asrama menyala redup, menciptakan bayangan panjang di sepanjang lorong. Para taruna baru dipanggil berkumpul di aula kecil dalam barisan rapi. Wajah mereka kelelahan, tapi rasa penasaran dan waspada masih terlihat jelas.
Di depan mereka, berdiri beberapa pelatih dan taruna senior. Salah satunya adalah Bang Haidar, senior dengan wajah keras dan suara berat yang langsung mencuri perhatian. Bang Haidar berbicara dengan nada dingin “Selamat datang di kehidupan kalian yang baru. Di tempat ini, nggak ada anak mama, nggak ada anak jenderal, dan nggak ada anak pahlawan. Yang ada, hanya kalian... dan kedisiplinan. Siapa yang nggak kuat, silakan pulang sekarang juga.”
Semua terdiam. Tatapan Bang Haidar berkeliling. Sampai akhirnya berhenti tepat di depan Cakra. “Kamu… anaknya Letnan Rangga, ya?” Seketika aula menjadi lebih senyap. Cakra hanya menunduk. “Nama ayahmu ada di tugu pahlawan di depan gerbang. Tapi jangan pikir nama itu bakal jadi tameng. Justru kamu harus kerja dua kali lebih keras dari yang lain. Kalau kamu gagal, nama beliau ikut jatuh.”
Cakra menggenggam tangannya erat, rahangnya mengeras. Tapi ia tetap diam. Ia tahu, itu bukan hinaan—itu peringatan. Malam semakin larut. Di luar asrama, para taruna menjalani giliran jaga sesuai jadwal yang dibagikan. Cakra dan Arlan mendapat giliran pukul 22.00–24.00, berjaga di lorong belakang asrama. Angin malam menusuk, suasana senyap kecuali suara jangkrik dan sesekali langkah senior berpatroli. Cakra duduk di bangku kecil, termenung. Lalu perlahan, ia mengeluarkan ponselnya dari saku dalam jaket.
Arlan melihat itu,ia segera mengingatkan cakra,ia takut kejadian tadi pagi terulang “Eh, bro, lo ngapain? Serius deh, jangan cari masalah di hari pertama.” Cakra tak menghiraukannya bahkan tanpa menoleh “Gue cuma mau kasih kabar ke Laras. Nggak bakal lama.” Arlan mulai panik, ia sudah tau bagaimana nasibnya jika sampai ketahuan “Cak, sumpah ini bahaya. Nggak ada toleransi buat beginian...” Cakra tetap sibuk mengetik pesan. Tapi nasib berkata lain. Dari ujung lorong, suara langkah berat mendekat.
Seorang pria bertubuh kekar muncul dari balik bayangan—Ketua Asrama, senior paling ditakuti.Ketua Asrama: menatap cakra tajam. “Apa itu di tanganmu, Taruna Cakrawala?” Cakra langsung berdiri, ponsel disembunyikan, tapi terlambat. Arlan ikut berdiri kaku. “Kamu pikir kamu spesial? Peraturan itu bukan pajangan. Sekarang, push-up dua puluh lima kali. Di tempat. Tanpa protes.” Cakra menunduk. Tanpa membantah, ia menjatuhkan tubuhnya ke tanah dingin dan mulai push-up, satu per satu.
Arlan, hanya bisa menatap temannya dengan ekspresi kecewa, namun tetap mendampingi di sampingnya. Setelah selesai, Ketua Asrama berbalik dan pergi, menyisakan keheningan canggung di antara mereka. Arlan merasa kasihan melihat temannya “Lo kuat, Cak. Tapi jangan sampai nama bokap lo yang bersinar, lo yang bikin redup.” Cakra masih tetap menunduk “Gue cuma pengen dia tahu… kalau gue nggak sendirian di sini.”
Jam sudah menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Asrama mulai senyap, hanya terdengar suara kipas angin berputar pelan dan sesekali taruna yang mengigau dalam tidur. Di pojok ranjang tingkat bawah, Cakra duduk bersandar, masih mengenakan celana training dan kaus tipis. Cahaya redup dari lampu meja kecil cukup untuk menerangi buku lusuh yang terbuka di pangkuannya.
Itu adalah buku catatan peninggalan sang ayah. Kertasnya menguning, ada beberapa bekas lipatan, tapi tulisan tangan Rangga masih terlihat jelas dan tegas.
Cakra menulis di halaman baru:
Hari pertama, dan aku sudah dihukum. Bukan karena malas, tapi karena rindu. Aku tahu ini bukan alasan yang layak di tempat seperti ini. Tapi aku juga manusia. Bang Haidar benar. Nama ayah terlalu besar untuk dijadikan tameng. Aku harus membuktikan bahwa aku layak menyandangnya. Bukan karena belas kasihan, tapi karena kerja keras. Ayah, kalau Ibu percaya aku bisa… aku janji, aku akan buktikan padamu juga.
Cakra berhenti sebentar. Matanya mengarah ke jendela kecil di atas ranjang, melihat langit malam yang bertabur bintang. Nafasnya berat tapi stabil.
Lalu, ponsel yang sempat ia sembunyikan kembali dikeluarkan. Satu pesan dari Laras belum ia balas sejak tadi.
Isi chat Laras:
"Kamu baik-baik aja kan di sana? Aku denger tadi kamu dihukum... aku ngerti, Cak. Tapi kamu nggak sendiri. Aku di sini, selalu dukung kamu." Cakra tersenyum kecil, lalu membalas: "Aku dihukum, tapi nggak kapok. Aku malah makin yakin. Makasih ya, Ras. Kamu salah satu alasan aku kuat." Ia menyimpan ponsel, menutup buku catatan, lalu berbaring perlahan. Sebelum menutup mata, ia bergumam pelan: “Bismillah... ini baru permulaan.”
Cakra baru saja menarik selimut dan menutup mata, mencoba memejamkan pikiran yang masih bergulat dengan emosi dan rasa tanggung jawab. Hening menyelimuti kamar asrama, hanya terdengar detak jarum jam dan napas berat para taruna yang kelelahan.
Tiba-tiba…
Arlan mengigau, pelan tapi jelas "Jangan... jangan ambil burger gue... itu... cheese double beef spesial..." Cakra membuka satu matanya. Ia menoleh ke arah atas ranjang tempat Arlan tidur. Taruna nyentrik itu terlihat gelisah, menggumam sambil memeluk bantal. Arlan masih tetap mengigau "Bangun subuh... siapa yang nyetel alarm jam lima... ini penyiksaan, bukan pendidikan..." Cakra tidak bisa menahan tawa kecilnya. Ia membalik badan, menutupi wajah dengan bantal, berusaha tidak membuat suara. Tapi tawanya tetap bocor. "Ya ampun, Arlan... lo tuh bahkan ngeluh pas tidur..."
Taruna lain sempat bergerak gelisah, tapi tidak ada yang benar-benar bangun. Cakra menggeleng pelan, senyum masih mengambang di wajahnya. Momen konyol itu sedikit meredakan tekanan emosional yang ia rasakan. Sambil menatap langit-langit, ia berbisik dalam hati: "Setidaknya gue nggak sendiri. Ada dia, dan ada orang-orang yang peduli..." Ia menarik napas dalam-dalam, menutup mata, dan akhirnya tertidur di tengah rasa lelah yang berubah jadi rasa syukur.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf