NovelToon NovelToon
AKU BUKAN WANITA SHALIHAH

AKU BUKAN WANITA SHALIHAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Spiritual / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami
Popularitas:6.5k
Nilai: 5
Nama Author: ZIZIPEDI

Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.

Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Antara Buku dan Takdir

Sudah lebih dari enam bulan berlalu sejak Nayla dan Azam terakhir bertemu. Dan Nayla, dengan segala usahanya, telah belajar ikhlas. Ia menyibukkan diri dengan tugas kuliah, kajian tasawuf, dan kegiatan sosial di komunitas kampus.

Hingga suatu hari, pengumuman datang bahwa akan ada dosen tamu baru dari Surabaya yang akan mengisi mata kuliah Filsafat Etika Islam dan Pemikiran Modern.

“Kayaknya dosen keren deh, dari universitas negeri di Jawa Timur, lulusan luar negeri juga katanya,” bisik salah satu temannya.

Nayla hanya mengangguk pelan. Fokusnya tak lagi mudah teralihkan.

Hari itu pun tiba. Mahasiswa memenuhi ruang auditorium fakultas. Suasana ramai. Beberapa dosen senior turut hadir, termasuk pembimbing Nayla. Tak lama, moderator mempersilakan sang dosen tamu untuk masuk.

Dan di sanalah—di tengah dentingan rasa yang sempat padam—sosok itu kembali muncul.

Langkahnya tenang. Wajahnya sama seperti dulu. Tapi ada sorot berbeda di mata Azam saat melihat Nayla di deretan kursi tengah aula.

Nayla tercekat. Dunia seperti berhenti sejenak. Ia tak pernah membayangkan—tak pernah sekalipun mengira—Azam akan muncul di tempat ini, dalam forum akademik yang menjadi bagian dari proses tumbuhnya.

Azam memulai kuliah umum dengan tenang. Ia tak menunjukkan gelagat apa pun. Seolah tak ada sejarah di antara mereka. Tapi ada halus nada berbeda saat ia menyinggung tentang “pengampunan, kesadaran diri, dan cinta yang tumbuh karena ilmu.”

Selesai acara, mahasiswa mulai bubar. Tapi Nayla tetap duduk di tempatnya. Diam. Bingung.

Salah satu temannya menepuk bahu Nayla. “Eh, kamu baik-baik aja? Dosen tadi... kayak kenal banget ya sama kamu.”

Nayla hanya tersenyum kecil. “Ya… mungkin Allah memang sedang ingin mempermainkan hatiku. Atau justru, sedang mengujinya sekali lagi.”

Di sisi lain, Azam berbincang dengan dekan fakultas, lalu diam-diam melirik ke arah Nayla. Ia tak berniat mengusik. Ia hanya ingin dekat, cukup dekat untuk menjaga dari kejauhan. Karena cinta tak harus memaksa masuk, kadang cukup dengan melindungi dalam senyap.

Namun takdir belum selesai menulis ceritanya.

Dan Nayla tahu... pertemuan ini bukan sekadar kebetulan.

Sejak hari itu, kampus bukan lagi sekadar tempat menuntut ilmu bagi Nayla. Setiap langkahnya terasa lebih hati-hati. Ia tak pernah menyangka, takdir bisa begitu lihai menyusun pertemuan dalam bentuk yang tak lazim—dosen dan mahasiswi.

Azam sendiri menjaga sikapnya dengan sangat profesional. Ia tak pernah menyebut masa lalu. Bahkan saat tak sengaja berpapasan di koridor, ia hanya menyapa dengan anggukan singkat dan senyum yang dijaga.

Namun perlahan, interaksi itu mulai tumbuh. Saat diskusi kelas, Azam sering memancing Nayla untuk berbicara. Bukan karena istimewa—setidaknya itulah yang ia yakini—melainkan karena Nayla memang memiliki pemikiran yang dalam, reflektif, dan tajam.

“Menurut Saudari Nayla, bagaimana makna taubat dalam perspektif tasawuf, bukan sekadar sebagai penyesalan tetapi sebagai jalan pulang?”

Pertanyaan itu meluncur begitu saja. Nayla sempat terdiam. Jantungnya berdegup kencang, tapi ia menjawab dengan suara yang tenang.

“Taubat... dalam tasawuf bukan hanya menghapus dosa, tapi juga melepaskan kelekatan hati pada selain Allah. Ia adalah bentuk cinta tertinggi yang memutuskan untuk kembali, meski pernah jauh.”

Azam menatapnya sejenak. Lalu mengangguk pelan. “Jawaban yang baik.”

Sejak hari itu, dinamika mereka berubah. Nayla tahu Azam mulai membuka ruang—tidak lagi sedingin dulu. Tapi batas itu tetap dijaga. Rapi. Tak ada obrolan pribadi. Tak ada isyarat yang menggoda.

Namun hatinya tak bisa bohong. Setiap kata, setiap pandangan, menyimpan luka yang belum pulih, sekaligus harapan yang mulai tumbuh lagi. Dan Nayla tahu... ini adalah ujian, bukan luka baru.

Sampai suatu sore, saat ia berada di perpustakaan, Azam mendekat. Masih dengan raut tenang.

“Ada waktu? Saya ingin bicara sebentar. Di tempat terbuka,” ucap Azam.

Nayla terdiam. Ragu. Tapi ia tahu, ini bukan lagi tentang masa lalu. Ini tentang masa depan yang perlu diputuskan.

“Heem..” jawab Nayla singkat.

Mereka duduk di bangku taman kampus. Jarak terjaga. Matahari sore mulai condong. Langit memerah, seolah ikut mendengar.

“Aku tidak akan meminta maaf karena masa lalu,” kata Azam memulai. “Tapi aku ingin tahu, apakah kau bahagia sekarang?”

Nayla menatapnya. Hening sesaat. Lalu menjawab, “Aku tidak sedang mencari bahagia, Mas Azam. Aku sedang belajar mencintai takdirku. Itu cukup bagiku.”

Azam mengangguk pelan. Tak ada harapan yang ia paksa. Tapi ada keikhlasan yang mulai tumbuh dari hatinya sendiri. Dan saat itu, ia menyadari—mencintai Nayla bukan berarti memilikinya kembali. Tapi menjaganya, bahkan jika itu berarti membiarkannya memilih jalan sendiri.

Dan Nayla tahu, hubungan mereka kini diuji—bukan oleh luka, tapi oleh pilihan.

Hari-hari di kampus berlalu dalam kesibukan akademik. Azam tetap menjalani perannya sebagai dosen tamu dengan sikap tenang dan profesional. Namun, tak ada yang bisa sepenuhnya menahan gelombang yang bernama rasa.

Terutama saat ia mendengar percakapan ringan di ruang dosen.

“Mahasiswi itu, Nayla Azahra, punya pemikiran yang tajam. Aku sempat mengobrol dengannya setelah forum diskusi pekan lalu. Anak itu berbeda,” ujar dosen muda bernama Farid, kolega yang dikenal cerdas dan terbuka, lulusan Timur Tengah yang baru dua tahun kembali ke Indonesia.

Azam menunduk, tampak tetap tenang. Namun jantungnya berdetak lebih cepat.

“Kalau aku masih lajang, mungkin sudah kubisikkan niat serius ke dekan buat taaruf sama dia,” ujar Fadli menimpali, sambil tertawa kecil. “Tapi ya... kita lihat saja. Siapa tahu Allah kasih jalan.” ujar Fadil lagi.

Farid menoleh, "jangan serakah Pak Fadil, kasihan Bu Naning," ujar Farid.

Azam tersenyum samar, berusaha tidak menanggapi. Tapi dalam dadanya, ada sesuatu yang mencubit tajam.

Ia tidak punya hak untuk cemburu. Hubungannya dengan Nayla telah runtuh sejak enam bulan lalu. Meski Azam masih sah Suami Nayla, namun pria berjambang tipis itu tak berani berandai andai. Azam cukup tahu diri, karena dirinya telah menghancurkan hati Nayla secara langsung, saat mereka tinggal serumah enam bulan lalu.

Dan Nayla tidak pernah memberi sinyal ingin membuka kembali lembaran itu. Bahkan kini, Nayla telah menjelma menjadi perempuan yang jauh berbeda dari masa lalunya. Ia tumbuh, ia kuat, dan Azam tahu—banyak lelaki saleh akan melihat sinarnya.

Namun malam itu, untuk pertama kalinya sejak perpisahan mereka, Azam sujud lebih lama dari biasanya.

“Ya Allah… jika masih ada jalan untukku menjaganya, tuntun lah aku. Tapi jika tidak, ajarkan aku untuk ikhlas seperti dia telah mengikhlaskanku…”

Keesokan harinya, saat melihat Nayla di kantin fakultas berbincang sopan dengan Farid, Azam hanya berdiri diam dari kejauhan. Tak menyapa. Tak mendekat. Tapi matanya tak bisa berbohong—ia terluka, sangat terluka.

Dan di dalam hati, ada satu keputusan mulai tumbuh: jika ia tak ingin kehilangan Nayla untuk kedua kalinya, ia harus memperjuangkannya dengan cara yang benar. Bukan sebagai dosen. Bukan sebagai lelaki masa lalu. Tapi sebagai lelaki yang ingin menjemputnya untuk menjadi masa depan.

1
Julicsjuni Juni
buat Nayla hamil thorr...buat teman hidupnya.. kasian dia
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan
Julicsjuni Juni
hati ku,ikhlas ku belum bisa seperti Nayla... astaghfirullah
Iis Megawati
maaf mungkin ada cerita yg kelewat,merekakan dah berpisah berbulan" ga ada nafkah lahir batin dong,dan bukankah itu sudah trmasuk talak 1,yg dmn mereka hrs rujuk/ nikah ulang maaf klo salah/Pray/
Zizi Pedi: Tidak, secara otomatis tidak terhitung cerai dalam hukum Islam hanya karena suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin, karena istri yg pergi dari rumah. Perkawinan tetap berlaku hingga ada putusan cerai dari Pengadilan Agama atau jika suami secara sah menceraikan istrinya. Namun, suami yang melalaikan kewajibannya seperti tidak memberikan nafkah lahir dan batin adalah perbuatan yang berdosa dan dapat menjadi alasan bagi istri untuk mengajukan gugatan cerai. Tetapi dalam kasus Azam dan Nayla berbeda, mereka saling mencintai dan tak ada niat untuk bercerai jadi mereka masih sah sebagai suami istri. Dan talak itu yg punya laki2. untuk pertanyaan kk tentang talak 1. Mereka bahkan tidak terhitung talak kk, karena Azan g pernah mengucapkan kata talak. dan untuk rujuk talak 1 Setelah jatuh talak satu, suami dan istri masih bisa rujuk kembali tanpa harus akad ulang selama istri masih dalam masa iddah. Talak satu disebut talak raj'i, yang berarti suami masih berhak merujuk istrinya selama masa iddah. Jika masa iddah telah habis, maka untuk kembali bersama, mereka harus melakukan akad nikah ulang. TAPI SEBAGAI CATATAN (Azam tidak pernah mengucap talak untuk Nayla, jadi mereka masih sah suami istri meski tanpa menikah ulang.)
total 1 replies
R I R I F A
good... semangat up date ny
Zizi Pedi: terima kasih Kk
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!