NovelToon NovelToon
Jangan Sentuh Aku

Jangan Sentuh Aku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cinta Seiring Waktu / Dokter / Slice of Life
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)

Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.

Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.

Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5

Sejak percakapan itu, Hanif mulai memperhatikan Sekar. Bukan dengan cara mencolok, tapi lewat detail-detail kecil yang sebelumnya ia abaikan. Cara Sekar selalu datang paling pagi dan pulang paling malam. Bagaimana ia menunduk setiap kali melewati kerumunan, seolah ingin menghindari dunia. Dan betapa setiap senyum yang ia berikan tampak seperti bentuk kesopanan, bukan ketulusan.

Suatu sore, saat hujan turun pelan di halaman rumah sakit, Hanif berdiri di dekat jendela ruang medis, memperhatikan langkah Sekar yang tergesa menuruni tangga. Ia tampak memeluk berkas erat-erat, berjalan cepat ke arah gedung direktur.

Hanif berdiri di depan lift lantai direksi. Tangannya masuk ke dalam saku jas dokter, wajahnya tegang, mata tak lepas dari pintu lift yang tertutup rapat. Ia sudah menunggu hampir tiga puluh menit. Entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya tetap berdiri di sana—menanti Sekar.

Tanpa di sadari bahwa tidak berselang lama Sekar langsung keluar dari ruangan direktur. Sekar keluar, masih memegang map cokelat di tangannya, langkahnya tenang seperti biasa. Tapi Hanif tahu, tenang itu hanya di luar. Hatinya sendiri siapa yang bisa menebak?

Melihat Sekar keluar dari lift tanpa menoleh ke arahnya, rasa penasaran Hanif tumbuh lebih besar. Dia pun mengintili Sekar, dan bertanya to the point.

"Ngapain kamu di ruangan direktur tadi?" tanya Hanif, suaranya dalam, tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.

Sekar berhenti sejenak tanpa menoleh. Lalu melanjutkan langkah. Tanpa menjawab. Hal itu semakin membuat Hanif kesal—juga gemas karena rasa keingintahuannya tak terjawab.

"Hei," Hanif menyusul, berdiri menghalangi jalannya. "Saya lagi ngomong sama kamu. Saya tanya, kamu ngapain ke lantai direktur?"

“Bukan urusan anda, Dokter.”

Hanif berdecak, lantas terpaksa menghadang jalan Sekar dengan berdiri di depan perempuan itu. Sekar terpaksa menghentikan langkah. Dia mendongak, menatap Hanif sejenak—tatapan itu tajam, seperti pisau yang tak menggores kulit tapi langsung menghantam hati. Ia tidak bicara. Sama sekali.

"Jangan diam, Sekar." Nada suara Hanif meninggi sedikit. "Orang-orang udah pada ngomong di belakang kamu. Dan sekarang aku liat sendiri kamu ke ruangan dia. Sering."

Sekar masih diam. Jemarinya menggenggam map di tangannya makin erat.

Hanif frustrasi. "Kamu pikir diam kamu itu jawaban? Kamu nggak bisa terus sembunyi di balik tatapan dingin itu. Kamu harus jelasin.” Suaranya berubah pelan saat berkata, “saya percaya kamu nggak kayak yang mereka pikirkan.”

Perempuan itu mengangkat wajah menatapnya. Hanya saja tatapannya tetap sama.

Tak ada perubahan. Datar, tapi matanya menyala. Marah. Tersinggung. Terluka. Semua jadi satu, tanpa kata.

Dan saat lift di belakang mereka berbunyi kembali—pintu terbuka perlahan—Hanif, tanpa pikir panjang, meraih pergelangan tangan Sekar. Menahannya sebelum ia melangkah masuk.

"Atau ... benar kamu simpanan direktur?"

Sekar menatapnya lurus, napasnya pendek, tapi wajahnya tetap keras. Mata itu menyiratkan sesuatu yang lebih menyakitkan daripada jawaban. Tapi tetap, tak ada kata yang keluar dari bibirnya.

Lalu ia menarik tangannya pelan—dingin—dan melangkah masuk ke lift tanpa berkata sepatah pun. Pintu tertutup.

Dan Hanif hanya bisa berdiri di sana. Dengan tangan yang masih terasa hangat karena genggaman singkat tadi, dan kepala yang dipenuhi tanya. Apa sebenarnya yang sedang disembunyikan Sekar?

Sedangkan di sisi lain, Sekar mengibaskan lengannya keras-keras seolah sentuhan Hanif tadi telah membakar kulitnya. Tubuhnya gemetar, tidak karena dingin, melainkan karena rasa takut yang meledak-ledak di dadanya. Pintu lift menutup, mengurungnya sendirian dalam ruang sempit dan sunyi.

Entah ke lantai mana, dia juga tidak tahu. Yang penting, ia ingin pergi ke tempat yang tak bisa ditemui siapa-siapa. Ia pencet tombol di dinding—asal-asalan. Tapi... oh, tolonglah. Di saat genting seperti ini, lift tersebut malah macet.

Sekar menggigit bibirnya karena panik. Pintu tidak terbuka, tapi lift tersebut juga tidak berangkat ke lantai yang lainnya. Tapi apa yang Sekar lakukan setelahnya? Berteriak minta tolong? Tidak. Sekar seolah frustrasi pada hidupnya sendiri.

Ia bersandar ke dinding, napasnya tersengal. Jemarinya mencengkeram map di tangan, lalu perlahan-lahan ia merosot turun, duduk di lantai lift. Lututnya ditarik ke dada, dan ia memeluk dirinya sendiri. Air matanya tak keluar, tapi seluruh tubuhnya bergetar seakan menyimpan sesuatu yang tak sanggup dibagi kepada siapa pun.

Di luar lift, Hanif yang masih berdiri terpaku akhirnya tersadar dan menekan tombol darurat. Pintu terbuka sedikit, lalu berhenti.

“Sekar?!”

Suara Hanif terdengar jelas di luar sana. Membuat Sekar menutup kedua kupingnya erat-erat. Sengaja ia tidak minta tolong bukakan pintu pada lelaki itu karena memang putus asa pada hidupnya. Ia ... seolah memang ingin mati. Tapi hal itu tak bertahan lama. Kurang dari semenit, pintu lift terbuka. Menampilkan Hanif yang kini berdiri di sana sambil menatapnya khawatir.

“Astaga. Kamu ngapain di situ? Keluar, Sekar. Liftnya macet.”

Sekar tak menjawab. Ia hanya menggeleng lemah, menunduk dalam.

Hanif melangkah masuk, hendak menyentuh bahunya, tapi Sekar langsung menyentak tubuhnya menjauh. Refleks. Matanya menatap Hanif dengan teror yang nyata. Tangannya terangkat, melindungi dada seolah takut disakiti.

Hanif terdiam. Seketika ia paham—ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar rumor tentang direktur. Dan itu bukan sesuatu yang bisa dipaksa keluar hanya dengan kata-kata.

Hanif kaget melihatnya, tapi tak butuh waktu lama untuk menyadari ada sesuatu yang salah. Sekar gemetar, seolah tubuhnya sendiri tak lagi bisa dia kendalikan. Dalam detik itu, nalurinya sebagai dokter dan… entah apa lagi, dorongan lain yang lebih personal, membuatnya tetap di tempat. Tidak menyentuh, hanya berjaga.

Ia menunduk sedikit, mencoba menyesuaikan tinggi tubuhnya dengan posisi Sekar yang masih duduk di lantai. “Saya di sini,” katanya pelan. “Tapi saya nggak akan nyentuh kamu.”

Sekar mengedip cepat, lalu buru-buru berdiri sendiri. Tangannya meraba dinding lift untuk penopang, tubuhnya masih sedikit limbung. Dengan susah payah, ia meraih tombol dan menekannya. Lift mulai bergerak.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Hanif, hati-hati.

“Jangan bilang siapa-siapa,” jawab Sekar, datar. Suaranya tidak bergetar, tapi terasa seperti tembok yang tinggi dan dingin.

“Kamu sakit?” tanya Hanif lagi. Kali ini suaranya lebih lembut, tak menyudutkan.

Sekar menoleh. Tatapannya tajam, tapi bukan marah—lebih seperti peringatan.

“Tidak usah bertanya,” katanya lirih. “Dan saya harap... ini hanya kamu dan saya yang tahu.”

Hanif menatapnya lama. Pikirannya dipenuhi banyak hal, tapi satu yang paling kuat adalah rasa ingin tahu—dan rasa bersalah. Ia mengira Sekar hanya menyembunyikan sesuatu yang kotor atau memalukan. Tapi yang ia lihat barusan… itu ketakutan. Ketakutan yang mentah, nyata.

Ia mengangguk pelan. “Baik. Rahasia ini aman.”

Sekar mengalihkan pandangannya. Napasnya mulai teratur, meski tubuhnya masih sedikit menegang. Dalam kepalanya, ia tak menyangka bahwa dokter yang awalnya ia anggap menyebalkan dan sok tahu… justru menjadi orang pertama yang mengetahui sesuatu yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat.

Serangan panik Sekar bukan hal baru baginya, tapi selama ini ia selalu berhasil menghindar sebelum orang lain melihatnya dalam keadaan seperti tadi. Ia benci perasaan rapuh itu. Benci terlihat lemah. Tapi kali ini ia gagal.

Dan sialnya, yang melihat adalah Hanif.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!