PENDEKAR Mabuk memiliki nama asli Suto Wijaya Kusuma dan dia adalah seorang pendekar pembela kebenaran dan menumpas kejahatan. Perjalanan nya dalam petualangannya itu banyak menghadapi tantangan dan rintangan yang sering kali membuat nyawa nya terancam. Namun pendekar gagah dan tampan itu selalu punya solusi dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ikko Suwais, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 8
"BIAR Saja. Dia kan gurumu, bukan guruku," jawab Suto Sinting seenaknya, sengaja menggoda sigadis dengan jawaban konyolnya.
"Manusia kejam kau!" geram Karina yang membuat Suto Sinting berdebar senang melihat wajah berang si cantik berbibir menggemaskan itu.
"Aku hanya bercanda!" ujar Suto Sinting. "Kurasa gagasanmu itu memang benar. Kau buka mulutnya dan kutuangkan tuak ke dalam mulut itu! Lakukanlah sekarang juga sebelum racun itu merenggut nyawanya!"
Karina buru-buru membuka mulut gurunya seperti membuka besi jebakan rusa. Kraakk..!
"Husy! Jangan keras-keras nanti tulang rahang nya lepas!" ujar Suto Sinting sambil tertawa geli melihat gadis itu terlalu kasar mengangakan mulut gurunya akibat rasa paniknya.
Mulut sang guru telah terbuka sedikit. Suto Sinting segera menuangkan tuaknya pelan-pelan tuak mengucur jatuh ke dalam mulut. Si gadis mengguncang-guncang kepala sang guru.
"Kenapa kau guncang-guncang kepalanya?
"Biar tuaknya mengalir masuk ke dalam kerongkongannya!" jawab si gadis dengan cepat tampak gugup sekali. la bahkan mengangkat tubuh gurunya agar bisa duduk, lalu tubuh itu diguncang-guncang
nya lagi. Bruuuk, ubruk, ubruk...!
"Hei, hei... bisa rontok tulang gurumu kalau kau guncang-guncang begitu!" cegah Suto Sinting.
"Biar tuaknya masuk ke dalam tubuhnya!"
"Kau ini seperti orang sedang mencuci botol kosong saja?!" gerutu Suto Sinting sambil membaringkan si guru. "Buka lagi mulutnya, akan kutuangkan kembali tuakku biar banyak yang tertelan oleh beliau."
Karina yang cemas sekali itu lakukan hal yang sama seperti tadi. Jari tangannya mendesak masuk ke mulut sang guru, meraih gigi dan merenggangkan. Tuak segera dituangkan kembali oleh Suto. Sedikit demi sedikit. Setelah mulut itu penuh tuak penuangan pun dihentikan. Karina melepas mulut gurunya, mulut itu terkatup kembali. Kluuuk.....!
"Aaaoww...!" Karina memekik keras.
"Kenapa?!" tanya Suto sambil tertawa walau ia tahu apa yang terjadi.
"Ouh...! Tolong ini... jariku tergencet gigi Guru!" Sambil Karina tak berani dicabut tangannya begitu saja. Suto Sinting semakin geli pandangi jari telunjuk Karina yang tergigit gigi sang guru bagai terkena jepretan tikus.
"Makanya... lain kali minta maaf dulu kalau mau memegang mulut Guru," ujar Suto setelah berhasil melepaskan jari Karina. "Kau sembarangan saja. Tahu-tahu kedua tanganmu merenggangkan mulut guru sendiri. Itu namanya kualat! Mulut Guru diobok-obok seenaknya."
Karina ingin membantah, bahwa ia sudah minta maaf dan minta izin dalam hatinya sebelum lakukan hal itu. Tetapi niatnya membantah diurungkan karena ia melihat luka sang guru mengepulkan asap tipis. Kejap berikutnya sekeping logam yang terbenam di tubuh sang guru itu meloncat keluar. Pluuk...!
Logam berbentuk piringan bergerigi sebesar tutup botol itu jatuh di lengan sang guru hingga dapat dilihat dengan jelas. Tapi yang menjadi pusat pandangan mata Karina adalah luka sang guru yang segera mengatup dan darahnya bagaikan menguap dengan sendirinya, lalu darah yang berceceran itu pun lenyap dan luka tersebut menjadi rapat. Makin lama makin tak terlihat. Akhirnya sang guru seperti tak pernah terluka sedikit pun.
Setelah siuman, sang guru mengaku badannya terasa lebih segar dari sebelum terkena senjata rahasia tadi. Sang Guru yang mengaku bernama Ki Dharmapala segera pandangi Suto dan ia mulai kenali siapa pemuda tampan yang membawa bumbung tuak. la kenali ciri-ciri itu, sehingga ia dapat menerka bahwa pemuda yang menyelamatkan muridnya dan dirinya sendiri itu adalah si Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting.
Ki Dharmapala yang mempunyai julukan: si burung Bengal segera berkata Kepada Suto Sinting,
"Beruntung sekali kau lewat sini, Suto. Jika tidak, mungkin aku dan muridku mati di tangan si Jahanam Tua itu. Kami merasa berhutang budi padamu dan tak tahu dengan apa harus membalasnya.
"Dengan sendirinya saja, Ki," ujar Suto Sinting sengaja berkelakar untuk menutupi rasa tak enaknya menerima sikap serendah itu dari orang setua Ki Dharmapala alias si Burung Bengal itu.
"Mungkin Kakek Sabawana atau si Gila Tuak masih ingat padaku, Karena kami dulu pernah saling membantu dalam mengusir Rampok Laut Mati dari Pantai simbaran," Ujar si Burung Bengal.
"Waktu itu, aku masih berusia dua puluh delapan tahun. Bukan hanya kami berdua yang mengusir Rampok Laut Mati. tapi juga beberapa tokoh seangkatan; seperti Sanupati alias si Tua Bangka, Cakradayu, Parangkara, yang sekarang menjadi Resi, juga si Pakar Pantun yang menjadi Resi pula dan beberapa orang lainnya."
"Kebetulan nama-nama yang kau sebutkan adalah orang-orang yang ku kenal semua,Ki Dharmapala," Sahut Suto Sinting.
Kalau begitu sampaikan salamku kepada beliau jika kalian bertemu dengan mereka."
"Pasti akan kusampaikan, Ki," ujar Suto Sinting sambil sebentar-sebentar melirik ke arah Karina yang diam-diam sering mencuri pandang dari balik pundak gurunya.
"Tapi kalau boleh kutahu, Mengapa Ki Dharmapala dan Karina terlibat bentrokan dengan si Jahanam Tua itu?" tanya Suto Sinting.
"Dia tetap menganggapku anak iblis," sahut Karina dengan wajah menampakkan dendamnya kepada si Jahanam Tua.
"Persoalannya bukan hanya itu saja, Muridku," Ujar si Burung Bengal.
"Hmmm... sebaiknya kita bicara di pondokku saja, Pendekar Mabuk. Kebetulan juga hari sudah mulai senja. Barangkali kau butuh istirahat untuk lanjutkan perjalanan ke...."
"Aku hanya ingin memburu si Jahanam Tua itu tadi" sahut Suto Sinting.
"Kalau bukan karena melihat Karina terluka berbahaya dan Ki Dharmapala dalam keadaan tubuh gawat sekali, Mungkin orang itu sudah kukejar!"
"O, Rupanya kau punya masalah dengan si Jahanam Tua?!" si Burung Bengal merasa heran.
"Kalau boleh kutahu, persoalan apa hingga kau bermasalah dengan si Jahanam Tua itu, Suto?!"
"Dia ingin membunuhku sebagai orang yang menurutnya akan menjadi penyelamat bagi titisan Eyang Tapak Lintang."
"Ooh...?!" Karina dan gurunya terkejut, pandangan mata mereka semakin tajam. Suto masih cuek dengan keterkejutan kedua orang itu. la lanjutkan ucapannya yang tak ingin terpotong oleh suara apa pun.
"Padahal aku sendiri tak tahu, siapa orang yang dimaksud sebagai titisan Eyang Tapak Lintang yang sedang mencari Pedang Jagal Keramat itu. Sebab...."
"Tunggu dulu!" sergah Ki Dharmapala dengan wajah semakin tegang.
"Kumohon jangan keras-keras menyebutkan nama pedang pusaka itu, Suto."
"Mengapa kau tampak cemas sekali, Ki?"
"Hmmmm, ehh, persoalan..."
"Sebaiknya kita segera pulang ke pondok saja Guru!" Potong Karina dengan nada berkesan cemas. Akhirnya sang guru pun menawarkan hal serupa kepada Pendekar Mabuk.
"Memang sebaiknya kita bicara di pondok saja, Suto. Mungkin banyak yang akan kita bicarakan. Di sana kita bisa bicara dengan aman."
"Dengan aman?!" gumam hati Suto. la merasa heran, mengapa kelihatannya Karina dan Gurunya menyimpan kecemasan yang dirahasiakan? Ada Apa sebenarnya dengan mereka berdua ini."
...*...
...* *...
☺🙏💪
mampir yaaa