Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7: Surabaya yang Penuh Dusta
#
Gavin berangkat pukul lima pagi.
Larasati mendengar suara koper di-drag di koridor, langkah kaki yang berusaha pelan agar tidak membangunkan siapa-pun, lalu pintu depan yang tertutup dengan hati-hati. Mesin mobil menyala—dengung lembut BMW yang kemudian menjauh, melebur dengan keheningan Jakarta yang masih gelap.
Dia tidak bangun untuk mengantarnya. Tidak ada pelukan perpisahan, tidak ada ciuman selamat jalan. Semalam, saat Gavin bilang dia akan berangkat pagi-pagi sekali, Larasati hanya mengangguk, tersenyum, dan berbisik "hati-hati di jalan" sebelum berpura-pura tidur.
Tapi sekarang, di kamar yang mulai terang oleh cahaya fajar yang merayap lewat celah tirai, Larasati berbaring dengan mata terbuka lebar. Jantungnya berdetak cepat—bukan karena sedih, tapi karena antisipasi. Hari ini adalah hari pertama dari tiga hari kebohongan terbesar Gavin.
Dan Larasati akan memastikan dia punya bukti untuk setiap detiknya.
Jam enam, dia bangkit. Tubuhnya terasa berat—efek dari terlalu banyak malam tanpa tidur nyenyak, terlalu banyak air mata yang ditahan, terlalu banyak amarah yang disimpan di balik senyum palsu. Tapi dia paksa kakinya untuk bergerak, tangannya untuk stabil.
Dia harus kuat. Untuk Abimanyu. Untuk dirinya sendiri.
Di kamar mandi, Larasati menyalakan air dingin, membiarkan jet keras menghantam wajahnya. Dinginnya menusuk kulit, membuat matanya perih, tapi dia butuh itu—butuh sesuatu yang nyata, yang fisik, untuk melawan rasa sakit emosional yang kadang terasa begitu besar sampai dia takut dia akan tenggelam di dalamnya.
Air mengalir di wajahnya, bercampur dengan sesuatu yang hangat di pipinya—air mata yang datang tanpa permisi, tanpa suara. Dia menutup mata, membiarkan air dan air mata bercampur, membiarkan dirinya lemah untuk beberapa menit sebelum harus kembali kuat.
_Kenapa?_
Pertanyaan itu selalu kembali, seperti lagu yang macet di kepala. Kenapa Gavin melakukan ini? Apa yang Larasati kurang? Apa yang Kiran punya yang dia tidak punya?
Dia ingat dulu—delapan tahun lalu—saat Gavin melamarnya di atap gedung apartemen pertama mereka. Langit Jakarta penuh bintang yang jarang terlihat, dan Gavin berlutut dengan cincin yang dia beli dari tabungannya sendiri—belum kaya seperti sekarang, masih perjuangan untuk membuktikan diri di perusahaan ayahnya.
"Lara," katanya waktu itu, suaranya gemetar karena nervous. "Lo adalah perempuan terbaik yang pernah gue kenal. Gue gak bisa bayangin hidup tanpa lo. Mau gak... mau gak lo jadi istri gue?"
Dan Larasati menangis—menangis bahagia—sambil berkata ya berkali-kali sampai suaranya serak.
Mereka menikah tiga bulan kemudian. Pernikahan sederhana di taman rumah orangtua Larasati. Gavin menangis saat membaca janji pernikahan: "Aku berjanji akan mencintaimu selamanya, dalam suka dan duka, dalam kesehatan dan sakit, sampai maut memisahkan kita."
Sampai maut memisahkan kita.
Ternyata yang memisahkan mereka bukan maut. Yang memisahkan mereka adalah perempuan bernama Kiran dan kelemahan Gavin yang tidak bisa menolak godaan.
Larasati menutup keran air dengan gerakan tiba-tiba, membuat pipa bergetar. Cukup. Cukup tenggelam dalam kenangan. Kenangan itu sudah mati—terkubur di bawah tumpukan kebohongan.
Dia keringkan wajahnya dengan handuk kasar, menatap pantulannya di cermin yang masih berkabut uap. Wanita di sana terlihat asing—mata merah, pipi kurus, bayangan gelap di bawah mata. Tapi ada sesuatu yang berbeda di tatapannya. Bukan lagi tatapan istri yang patah hati.
Tatapan perempuan yang bersiap berperang.
---
Setelah mengantarkan Abimanyu ke sekolah—dengan pelukan ekstra erat yang membuat anaknya bertanya "Mama kenapa?", dijawab Larasati dengan "Mama cuma sayang banget sama Abi"—dia pulang ke rumah yang terasa terlalu besar, terlalu sepi.
Rumah ini dulunya penuh kehangatan. Tawa Abimanyu bermain di ruang tamu, suara Gavin bersenandung di dapur sambil bikin kopi pagi, musik jazz lembut dari speaker yang selalu menyala. Sekarang? Hanya dengung AC dan detak jam dinding yang terdengar terlalu keras di kesunyian.
Larasati duduk di sofa ruang keluarga, membuka laptop. Jemarinya bergerak cepat—muscle memory dari bertahun-tahun kerja sebagai designer sebelum dia berhenti untuk keluarga. Dia buka aplikasi tracking yang kemarin dia install diam-diam di ponsel Gavin—aplikasi yang tersembunyi, tidak kelihatan di home screen.
Hatinya berdegup cepat saat loading screen muncul. Lalu peta muncul—dan titik biru yang menunjukkan lokasi Gavin.
Bukan di Surabaya.
Titik biru itu ada di Bali. Tepatnya di area Seminyak—daerah beach club mewah dan villa eksklusif.
Sesuatu di dada Larasati remuk. Meski dia sudah tahu Gavin bohong, melihat bukti visualnya—melihat dia tidak di tempat yang dia bilang—membuat kenyataan itu menghantam seperti pukulan ke perut.
Dia zoom peta. Titik biru tidak bergerak—kemungkinan Gavin sedang di villa atau hotel. Larasati screenshot lokasi itu, save dengan nama file "Bukti_3.png", masukkan ke folder tersembunyi di cloud storage.
Lalu, dengan tangan yang mulai gemetar lagi, dia buka Instagram.
Dia tidak follow Kiran—terlalu obvious. Tapi akun Kiran tidak private, dan Larasati sudah hapal username-nya di luar kepala: @kirananindita.
Feed Kiran penuh foto-foto aesthetic—outfit of the day, makanan di restoran mewah, selfie dengan makeup sempurna. Tapi yang membuat napas Larasati tercekat adalah Instagram Story yang di-post dua jam lalu.
Foto pantai saat sunrise—langit oranye dan pink yang indah, ombak yang tenang, dan kaki dua orang di pasir—sepasang kaki laki-laki dan perempuan, jempol kaki hampir bersentuhan.
Caption: "Paradise with my love 🌅❤️"
Larasati menatap foto itu sampai layar ponselnya blur karena air mata yang menggenangi matanya. Tangannya gemetar hebat—dia hampir jatuhkan ponsel.
_My love._
Bukan "holiday", bukan "vacation with friends". _My love._
Gavin dan Kiran di Bali. Bersama. Sementara Larasati di sini, sendirian, berpura-pura pada dunia bahwa suaminya sedang meeting bisnis di Surabaya.
Sesuatu di dalam dadanya pecah—bukan patah seperti gelas yang jatuh, tapi hancur seperti kaca yang digilas sampai jadi debu. Sakit yang begitu dalam sampai dia tidak bisa bernapas, tidak bisa berpikir, tidak bisa melakukan apa-apa selain duduk diam dan merasakan seluruh dunianya runtuh untuk kesekian kalinya.
Air matanya jatuh—tidak bisa ditahan lagi, tidak bisa dikendalikan. Jatuh ke layar ponsel, ke tangannya, ke pangkuannya. Isakannya keluar—isakan pecah yang bergema di rumah kosong, tidak ada yang mendengar, tidak ada yang peduli.
Dia memeluk dirinya sendiri, tubuhnya meringkuk di sofa—mencoba membuat diri sekecil mungkin, seolah dengan mengecil dia bisa menghilang, bisa lari dari sakit ini.
Tapi tidak ada pelarian. Sakit itu di dalam dirinya, di setiap sel tubuhnya, di setiap detak jantung yang terasa seperti ditikam berulang kali.
_Aku sudah memberikan segalanya._
Pikiran itu berputar di kepalanya seperti mantra kejam.
_Aku tinggalkan karir yang aku cintai. Aku tinggalkan impianku punya butik sendiri. Aku habiskan delapan tahun jadi istri sempurna, ibu sempurna, mengurus rumah, mengurus anak, memastikan Gavin punya kehidupan yang nyaman sehingga dia bisa fokus membangun perusahaan._
_Dan ini balasannya? Dia di Bali dengan perempuan lain, posting foto romantis seolah dia lajang, seolah aku tidak ada, seolah delapan tahun pernikahan kami tidak berarti apa-apa?_
Kemarahan mulai merayap di balik kesedihan—amarah panas yang membuat dadanya sesak dengan cara yang berbeda. Dia berdiri dengan tiba-tiba, ponsel masih di genggaman, dan berjalan mondar-mandir di ruang tamu.
Dia ingin telepon Gavin sekarang. Ingin teriak "Aku tahu kamu di Bali! Aku tahu kamu sama Kiran! Berhenti bohong!" Ingin menghancurkan kebohongan ini, membuat semuanya meledak, memaksa Gavin menghadapi konsekuensi.
Tapi tangannya berhenti di atas tombol call.
_Tidak. Belum._
Suara di kepalanya—suara yang lebih dingin, lebih kalkulatif—menghentikannya.
_Kalau kamu konfrontasi sekarang, dia akan punya waktu untuk buat cerita. Untuk menutupi jejak. Untuk manipulasi situasi. Kamu butuh lebih banyak bukti. Kamu butuh dokumentasi seluruh perjalanan mereka—tidak hanya hari ini, tapi ketiga hari. Kamu butuh kasus yang tidak bisa dia bantah._
Larasati meletakkan ponsel dengan tangan gemetar. Dia ambil laptop lagi, buka kontak Aurellia, telepon.
Dua nada, lalu Aurellia angkat. "Lara? Lo okay?"
"Lia..." Suara Larasati pecah. "Gavin... dia di Bali. Sama Kiran. Mereka posting foto di Instagram. Mereka..."
Dia tidak bisa lanjutkan. Kata-katanya tersangkut di tenggorokan yang tercekat.
"Bajingan," umpat Aurellia keras. "Lara, lo di mana? Gue datang sekarang—"
"Tidak, jangan." Larasati menarik napas dalam, memaksa dirinya tenang. "Aku... aku butuh photographer yang kamu bilang kemarin. Yang di Surabaya. Apa dia bisa ke Bali?"
"Eh?" Aurellia terdiam sejenak. "Lo mau hire photographer buat—"
"Aku mau dokumentasi semuanya, Lia. Setiap tempat mereka pergi. Setiap momen romantis. Setiap bukti bahwa ini bukan 'meeting bisnis' tapi liburan dengan selingkuhan. Aku butuh itu untuk pengacara nanti."
Aurellia diam sejenak—Larasati bisa mendengar napasnya lewat telepon. "Okay. Gue telepon dia sekarang. Tapi Lara... lo yakin lo okay sendirian? Gue bisa ke rumah lo—"
"Aku harus okay," potong Larasati. Suaranya keras sekarang, meski masih gemetar. "Aku tidak punya pilihan untuk tidak okay. Tolong bantu aku, Lia. Aku butuh bukti ini."
"Oke. Gue akan atur. Tapi Lara..." Aurellia menghela napas. "Jaga diri lo, ya? Lo udah terlalu banyak tanggung sendirian."
Setelah menutup telepon, Larasati duduk di lantai—kakinya tidak kuat lagi. Dia sandarkan punggung ke sofa, menatap langit-langit yang putih bersih, terlalu bersih, terlalu perfect untuk rumah yang isinya sudah hancur.
Ponselnya berbunyi—pesan dari Gavin.
_"Sayang, sudah sampai Surabaya dengan selamat. Meeting seharian nanti. Love you ❤️"_
Larasati menatap pesan itu. Setiap kata adalah kebohongan. Setiap huruf adalah pengkhianatan.
Jemarinya melayang di atas keyboard. Dia ingin balas dengan "Aku tahu kamu di Bali, pembohong." Tapi dia tidak. Dia ketik balasan yang Gavin harapkan:
_"Syukurlah, sayang. Semangat meeting-nya! Jaga kesehatan ya. Love you too 💕"_
Kirim.
Centang biru muncul hampir langsung. Gavin baca. Tapi tidak ada balasan—mungkin sibuk dengan Kiran, tidak ada waktu untuk istri yang dia tinggalkan.
Larasati meletakkan ponsel, menatapnya seperti benda asing. Ini dia sekarang—perempuan yang mengirim pesan cinta untuk suami yang sedang selingkuh, berpura-pura tidak tahu apa-apa sambil perlahan membangun kasus untuk menghancurkan pernikahannya sendiri.
Siapa dia sekarang? Dia tidak kenal perempuan ini.
---
Jam berlalu dengan lambat. Larasati tidak melakukan apa-apa—hanya duduk di lantai ruang tamu, menatap kosong, kadang menangis tanpa suara, kadang terdiam dengan mata kosong.
Siang hari, ponselnya berbunyi lagi. Bukan dari Gavin—dari nomor tidak dikenal.
"Halo?"
"Mrs. Narendra? Saya Andi, fotografer yang direkomendasikan Aurellia." Suara laki-laki, profesional. "Saya sudah di Bali sekarang, di area Seminyak. Bisa share detail target?"
Larasati bangkit, otak mulai berfungsi lagi. "Namanya Gavin Narendra dan Kiran Anindita. Saya kirim foto mereka sekarang. Mereka kemungkinan nginap di villa atau hotel mewah di area sana."
"Understood. Fee-nya Rp 15 juta untuk tiga hari full coverage, all expenses included. Deal?"
Lima belas juta. Hampir setengah dari uang tabungan pribadi Larasati—uang yang dia simpan diam-diam dari hadiah ulang tahun, sisa uang belanja yang dia sisihkan sedikit demi sedikit.
"Deal," kata Larasati tanpa ragu. "Saya transfer sekarang. Kirim setiap foto dan video ke email saya. Setiap detail penting."
"Okay. Saya akan mulai sekarang."
Setelah menutup telepon dan transfer uang, Larasati merasa sesuatu yang aneh—bukan lega, tapi semacam kepuasan dingin. Dia bertindak. Dia tidak hanya duduk menangis—dia melawan.
Sore itu, saat menjemput Abimanyu dari sekolah, Larasati paksa dirinya tersenyum. Anaknya tidak boleh tahu. Tidak boleh merasakan kehancuran ini.
"Mama, Papa udah sampai Surabaya?" tanya Abimanyu di mobil, nada suaranya kecewa.
"Sudah, sayang. Papa kirim salam buat Abi."
Kebohongan lain. Tumpukan kebohongan yang makin tinggi.
"Kapan Papa pulang?"
"Jumat malam atau Sabtu pagi." Larasati menggenggam setir lebih erat, mencoba jaga suaranya tetap stabil. "Nanti kita sambut Papa, ya? Kita masak makanan kesukaan Papa."
Abimanyu mengangguk, tapi tidak terlihat excited. Dia menatap jendela mobil dengan ekspresi yang terlalu sedih untuk anak seusianya.
"Mama," katanya pelan. "Kenapa Papa sekarang jarang di rumah? Dulu Papa sering main sama Abi."
Pertanyaan itu seperti pisau. Larasati hampir tidak bisa jawab—suaranya tersangkut.
"Papa lagi sibuk, sayang. Tapi Papa tetap sayang sama Abi. Mama janji."
Janji yang mungkin bohong. Karena Larasati mulai meragukan apakah Gavin masih benar-benar sayang pada siapa pun selain dirinya sendiri dan Kiran.
---
Malam itu, setelah Abimanyu tidur, Larasati duduk sendirian di ruang makan yang gelap. Hanya lampu dari laptop yang menerangi wajahnya—cahaya biru yang membuat bayangan gelap di bawah matanya terlihat lebih dalam.
Email baru masuk dari Andi, photographer. Subject: "Day 1 Report."
Jantung Larasati berdetak cepat. Tangannya gemetar saat mengklik.
Attachment: 23 foto.
Foto pertama: Gavin dan Kiran keluar dari villa mewah di Seminyak, bergandengan tangan, tersenyum. Gavin pakai kemeja putih lengan pendek—kemeja yang Larasati belikan untuk ulang tahunnya tahun lalu.
Foto kedua: Mereka sarapan di beach club, duduk berhadapan dengan laut di belakang. Kiran tertawa, Gavin menatapnya dengan tatapan yang... Larasati tidak bisa salah melihat itu. Tatapan cinta.
Foto ketiga sampai kesepuluh: Mereka di pantai. Bermain di air, Kiran memeluk Gavin dari belakang, Gavin mencium keningnya. Seperti pasangan honeymoon.
Foto kesebelas: Mereka makan malam di restoran tepi pantai dengan sunset di background. Romantic. Sempurna. Seperti scene dari film romance.
Foto terakhir: Mereka kembali ke villa, jam menunjukkan 22:47 di watermark foto. Gavin membawa Kiran ala bridal style sambil tertawa, Kiran memeluk lehernya.
Setiap foto seperti pukulan. Setiap image menghancurkan sedikit demi sedikit apa yang tersisa dari hati Larasati.
Dia menutup laptop dengan keras. Tangannya mencengkeram meja sampai buku-buku jarinya memutih.
Napasnya pendek-pendek, cepat. Ruangan berputar. Ada sesuatu di dadanya yang rasanya akan meledak—campuran sakit, amarah, dan sesuatu yang lebih gelap. Kebencian, mungkin. Atau kehancuran total.
Dia berdiri, berjalan ke kamar mandi, dan muntah—tubuhnya mengeluarkan semua yang tidak bisa diproses emosinya. Dia muntah sampai tidak ada yang tersisa, sampai hanya bile dan air liur yang keluar, sampai tubuhnya gemetar hebat.
Lalu dia duduk di lantai kamar mandi yang dingin, memeluk kloset, menangis dengan isakan yang membuat tenggorokannya sakit.
_Aku tidak bisa lagi. Aku tidak kuat._
Tapi ada suara lain—suara yang lebih keras—berteriak di kepalanya.
_Kamu HARUS kuat. Untuk Abimanyu. Untuk dirimu sendiri. Kamu tidak bisa menyerah sekarang._
Larasati menarik napas dalam, memaksa tubuhnya berdiri. Dia cuci muka dengan air dingin, bilas mulutnya, menatap pantulannya di cermin.
Wanita di sana terlihat seperti hantu—pucat, mata merah, bibir pecah-pecah. Tapi ada sesuatu di matanya yang berbeda. Api kecil. Api amarah yang mulai tumbuh.
"Aku tidak akan jadi korban," bisiknya pada pantulan. "Aku tidak akan biarkan mereka menang."
Dia kembali ke laptop, buka email baru. Jemarinya melayang di atas keyboard.
Ada satu nama yang terus muncul di kepalanya sejak kemarin. Nama yang belum dia hubungi bertahun-tahun. Nama yang mungkin—mungkin—bisa membantu.
Reza Mahendra.
Sahabat Gavin sejak kuliah. Tapi lebih dari itu—dulu, sebelum Larasati kenal Gavin, Reza pernah... pernah mendekatinya. Di pesta kampus sepuluh tahun lalu, sebelum Gavin memperkenalkan mereka. Reza sempat tanya nomor Larasati, sempat ajak makan—tapi kemudian Gavin datang, dan semuanya berubah.
"Ini Lara, calon istriku," kata Gavin waktu itu dengan bangga, lengannya merangkul pinggang Larasati.
Dan Reza tersenyum—senyum yang tidak sampai ke mata—lalu bilang, "Wah, lo beruntung banget, Gavin. Jaga dia baik-baik ya."
Setelah itu, Reza jadi sahabat yang baik. Datang ke pernikahan mereka, jadi saksi, kadang makan malam bareng sebagai dua pasang couples (Reza bawa pacar berganti-ganti, tidak pernah serius). Tapi sekitar tiga tahun lalu, Reza pindah ke Singapura untuk bisnis. Komunikasi mereka jadi jarang—hanya ucapan ulang tahun di WhatsApp atau like di Instagram.
Kenapa Larasati tiba-tiba ingat dia?
Karena di salah satu email Gavin ke Kiran, ada kalimat yang membuat Larasati berhenti: "Reza tanya soal lo kemarin. Gue bilang lo cuma karyawan. Dia kayaknya curiga, tapi gak mungkin dia ngomong ke Lara. Dia bukan tipe yang suka drama."
Jadi Reza tahu? Atau setidaknya curiga?
Larasati buka Instagram, cari akun Reza: @rezamahendra_official.
Foto terakhir: di Singapore Marina Bay, dua minggu lalu. Tapi di Instagram Story-nya yang masih aktif, ada foto di Jakarta—kemarin.
Dia di Jakarta.
Jantung Larasati berdetak cepat. Jemarinya mengetik DM:
_"Reza, ini Lara. Apa kamu masih di Jakarta? Aku butuh bantuanmu. Urgent. Bisa ketemu?"_
Kirim.
Dia menatap layar, menunggu. Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Tidak ada balasan.
Mungkin dia tidur. Atau tidak cek Instagram.
Larasati sudah mau tutup laptop saat ponselnya berbunyi—notifikasi Instagram. Balasan dari Reza.
_"Lara? Long time no see. Gue masih di Jakarta sampai minggu depan. Ada apa? Lo okay?"_
Larasati mengetik dengan tangan gemetar:
_"Aku tidak okay. Tapi aku tidak bisa jelaskan lewat chat. Bisa ketemu besok? Please. Ini penting."_
Tiga titik muncul—Reza mengetik.
_"Okay. Besok jam 2 siang, di Kafe Filosofi Kopi, Kemang? That place still there kan?"_
Larasati ingat tempat itu—kafe langganan mereka dulu, saat masih sering hang out bertiga: dia, Gavin, dan Reza.
_"Masih ada. Okay. See you there. Terima kasih, Reza."_
_"Anytime, Lara. Whatever you need."_
Larasati meletakkan ponsel, menatap layar yang mulai gelap.
Besok dia akan bertemu Reza. Dia akan ceritakan semuanya—atau setidaknya cukup untuk mendapatkan bantuan yang dia butuhkan. Reza kenal Gavin luar dalam. Dia mungkin punya informasi yang Larasati butuhkan. Atau setidaknya, dia bisa jadi saksi—saksi bahwa pernikahan ini sudah tidak bisa diselamatkan.
Atau... ada sesuatu yang lain di benak Larasati. Sesuatu yang gelap, yang dia tidak mau akui tapi pelan-pelan mulai terbentuk.
Jika Gavin bisa selingkuh, kenapa dia tidak bisa... tidak bisa apa?
Larasati menggeleng keras, mengusir pikiran itu. Belum. Dia belum sampai di sana. Dia masih punya prinsip, masih punya martabat.
Tapi suara kecil di kepalanya berbisik: _Tapi sampai kapan martabat itu berarti kalau kamu terus dihancurkan?_
Dia tutup laptop, matikan lampu, naik ke kamar. Tapi tidak ke kamar utama—ke kamar tamu yang sekarang jadi kamarnya. Kamar kecil yang sepi, yang dingin, yang mengingatkan betapa sendirian dia sekarang.
Larasati berbaring di ranjah, menatap langit-langit dalam gelap. Di luar, Jakarta mulai hujan—tetesan pertama pelan, lalu semakin deras, sampai suara hujan memenuhi keheningan.
Dan di tengah suara hujan itu, Larasati berbisik pada kegelapan:
"Aku akan membalas. Entah bagaimana, entah kapan. Tapi aku akan pastikan kalian semua merasakan apa yang aku rasakan."
Janji pada dirinya sendiri. Janji yang dibuat di malam yang paling gelap dalam hidupnya.
Dan besok—besok dia akan mulai langkah pertama menuju pembalasan itu.
Dengan bantuan Reza, atau dengan cara lain yang belum dia tahu.
Yang pasti, ini baru permulaan.
---