NovelToon NovelToon
You Can Run, But You'Re Still Mine

You Can Run, But You'Re Still Mine

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Single Mom / Identitas Tersembunyi / Wanita Karir / Penyesalan Suami / Dark Romance
Popularitas:31.5k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.

Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.

Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.

Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

7. Di Ambang Luka

Nata menggebrak meja. Pulpen terpental. Beberapa dokumen roboh. Untuk pertama kalinya malam itu, kontrolnya retak.

“Sebelum menikah dengan Papa,” katanya keras tapi tetap terukur, “ibu Raska memang sudah punya aset.”

Ia menatap Roy tanpa berkedip.

“Sedangkan ibumu datang tanpa membawa apa pun. Bahkan pakaiannya pun seadanya.”

Suasana membeku.

“Kau tidak punya hak iri pada kakakmu,” lanjut Nata dingin. “Tidak sekarang. Tidak pernah.”

Roy membuka mulut, hendak membalas.

“Cukup!”

Satu kata. Tegas. Nata menunjuk pintu.

“Keluar.”

Dengan wajah merah dan napas berat, Roy berbalik dan melangkah pergi.

BRAK!

Pintu ditutup keras.

Nata berdiri kaku di balik meja. Dadanya naik turun, napasnya berat. Emosi yang jarang sekali ia izinkan muncul.

“Anak durhaka,” gumamnya.

Ia menatap pintu tertutup itu lama, lalu mengalihkan pandangannya ke jendela.

“Raska tak pernah seperti ini,” katanya lirih. “Tak pernah membanting pintu. Tak pernah meninggikan suara.”

Ia menghela napas kasar. “Kalau bukan karena tes DNA…”

Kalimat itu terhenti.

Nata mengepalkan tangan. “Mana mungkin aku percaya dia anakku.”

Sunyi menelan ruangan.

***

Mobil Raska melambat, lalu berhenti tepat di depan gerbang besi hitam itu.

Rumah yang dulu pernah ia tinggali bersama kedua orang tuanya. Rumah tempat segalanya bermula.

Dan berakhir.

Jantungnya berdetak lebih cepat dari yang ia inginkan. Tujuh tahun. Sudah tujuh tahun ia tak berdiri di depan gerbang ini. Empat tahun ia tinggal bersama neneknya, lalu sendirian di apartemen. Menjauh dari tempat ini, seolah jarak bisa menenangkan luka.

Nyatanya, tidak.

Gerbang itu masih sama. Tinggi. Kokoh. Dingin.

Raska menurunkan kaca mobil.

Seorang satpam paruh baya menghampiri. Seragamnya rapi, langkahnya terukur. Ia menatap Raska. Wajah yang asing… tapi terasa familiar.

“Maaf, Nak,” ujar pria itu sopan. “Kami tidak menerima tamu.”

Raska menghela napas pelan. Ia membuka pintu mobil dan turun. Detak jantungnya makin terasa di telinga.

Ia mencoba tersenyum.

“Mang Udin,” ucapnya perlahan. “Ini saya. Raska.”

"Raska?" gumamnya tanpa sadar.

Pria itu mengernyit. Menatap wajah di depannya, mencoba mencocokkan dengan ingatan lama yang berdebu waktu. Tatapan itu turun-naik, dari mata Raska, rahangnya yang kini tegas, bahunya yang lebih lebar.

Lalu Raska menambahkan, suaranya sedikit bergetar oleh kenangan,

“Dulu… Mang Udin pernah jatuh ke kolam ikan gara-gara kepleset ambil bola saya. Terus pas naik, ikannya malah nyangkut di celana Mamang.”

Mata Udin melebar. Seperti ada pintu yang tiba-tiba terbuka di kepalanya.

“Astaga…” gumamnya. “Nak Raska?”

Raska mengangguk kecil. Senyumnya tipis, tapi tulus. “Iya, Mang. Saya.”

Udin terdiam beberapa detik, lalu wajahnya berubah. Bukan lagi wajah satpam yang berjaga, melainkan seorang pria tua yang sedang menatap masa lalu.

“Ya Allah…” katanya lirih. “Sekarang sudah jadi pemuda.” Ia tertawa kecil, haru. “Tampan. Gagah.”

Anak laki-laki yang dulu ia temani bermain bola di halaman. Yang berlari sambil tertawa, menerbangkan layangan sampai senja. Yang sering ia gendong ketika terjatuh dan menangis, kini berdiri di hadapannya sebagai pria dewasa.

Tanpa banyak pikir, Raska melangkah maju dan memeluknya. Pelukan itu spontan. Jujur. Hangat.

“Terima kasih,” ucap Raska pelan di bahu pria itu. “Masih setia menjaga rumah ini.”

Udin sempat kaku. Ragu. Lalu tangannya terangkat, membalas pelukan itu dengan erat. Pelukan seorang penjaga… kepada anak yang dulu sering ia jaga.

“Nak Raska…” gumamnya. Suaranya bergetar. “Rumah ini… tetap nunggu kamu pulang.”

Raska memejamkan mata sejenak.

Di balik dada yang berdebar itu, kenangan lama kembali hidup. Dan untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya berdiri di ambang luka, tanpa lari.

Mobil Raska memasuki pekarangan rumah yang sudah tujuh tahun ia tinggalkan.

Tak ada yang berubah.

Tata taman masih sama. Halaman itu masih luas. Pohon mangga dan pohon jambu yang dulu sering ia panjat, masih berdiri di tempatnya, seolah menunggu.

Laju mobil melambat.

Dan tanpa izin, ingatan menyerbu.

"Nak Raska!"

Suara Mang Udin bergaung di kepalanya.

"Astagaaa… jangan panjat lagi! Cepetan turun!

Mamang bisa kena marah kalau kamu jatuh!"

Di atas dahan, Raska kecil justru tertawa. Kakinya bergoyang, wajahnya cerah tanpa tahu apa-apa.

Senyum kecil tanpa sadar terbit di bibir Raska dewasa.

Lalu mobil berhenti tepat di depan rumah.

Senyum itu menghilang. Raska menatap bangunan itu lama. Rumah yang menyimpan dua hal sekaligus:

kenangan paling hangat… dan luka paling dalam.

Pintu jati yang tinggi dan lebar terbuka perlahan. Seorang wanita paruh baya muncul dari baliknya.

Bik Uci.

Dahinya berkerut, tatapannya waspada, jelas tak mengenali mobil yang berhenti di halaman itu.

Raska turun.

Langkahnya pelan saat mendekat.

“Bik…” suaranya rendah, hampir bergetar, “…saya pulang.”

Wanita itu membeku.

Panggilan itu, terlalu familiar. Terlalu hangat.

“Siapa kamu?” tanyanya akhirnya, mata tak lepas dari wajah Raska.

Raska tersenyum tipis. “Saya Raska, Bik.”

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan pelan, seolah takut kenangan itu pecah jika diucapkan terlalu keras.

“Bibi masih ingat sambal ikan kemangi, masakan favorit saya?

Masih ingat waktu bibi terpeleset karena ngejar ikannya yang jatuh ke lantai?

Dan setup roti… yang selalu bibi buat khusus buat saya.”

Mata Bik Uci melebar. Wajahnya memucat, lalu bergetar.

“Astaga…

Beneran… Nak Raska?”

Senyum kecil sempat terbit di wajah Bik Uci. Senyum yang sama seperti bertahun-tahun lalu. Hangat, refleks, tanpa sempat dipikirkan.

Tangannya terangkat, mengikuti kebiasaan lama. Hendak memeluk.

Namun gerakan itu terhenti di udara.

Senyumnya perlahan pudar, seolah ia baru ingat, waktu telah berjalan terlalu jauh.

Ragu. Takut. Tak yakin ia berhak.

Raska-lah yang melangkah lebih dulu. Ia memeluk wanita itu erat, tanpa kata.

“Terima kasih…” ucapnya lirih di bahu Bik Uci, “…masih setia menjaga rumah ini.”

Pertahanan Bik Uci runtuh. Tangannya akhirnya membalas pelukan itu, gemetar.

“Nak Raska…” gumamnya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan.

Ingatan lama berputar di kepalanya.

Raska kecil yang menangis di samping jenazah ibunya.

Anak itu yang duduk diam di dekat makam, menolak pulang.

Raska yang digandeng neneknya keluar dari rumah ini.

Tatapan kosong dari balik jendela mobil… saat kendaraan itu perlahan menjauh.

Pelukan itu terlepas. Raska menarik napas panjang. “Saya ingin ke kamar Mama.”

Kata-kata itu jatuh pelan, namun berat.

Bik Uci terdiam sesaat. Lalu mengangguk. Ia menyingkir ke samping, membuka jalan. Namun kecemasan tak bisa ia sembunyikan dari sorot matanya.

Karena ia tahu.

Beberapa kamar tidak pernah benar-benar ditinggalkan.

Dan beberapa luka… selalu menunggu untuk dibuka kembali.

...🔸🔸🔸...

...“Beberapa rumah tidak ditinggalkan. Mereka hanya menunggu pemiliknya berani kembali.”...

...“Ada tempat yang menyimpan kenangan paling hangat, sekaligus luka paling dalam, dan keduanya bernama rumah.”...

..."Nana 17 Oktober"...

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
Fadillah Ahmad
Lanjutkan Lagi Kak Nana... 😁😁😁🙏

Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Fadillah Ahmad
Iya, Belum Waktunya kalian Bertemu... Sabar saja... Dan, ketika Waktu itu datang... Kamu pasti akan pangling melihat Raska Yang Sekarang Elvara... 😁😁😁 dia "Raska" kini, sudah menjadi Tentara... Sesuai Yang di inginkan oleh ibumu Elvara 😂😂😂 Jadi, Tunggu lah Waktu itu datang, ya... 😁😁😁
Fadillah Ahmad
Itu Elvara Rasaka... Itu Elvara... Dia kembali! 😁😁😁
Endang Sulistiyowati
Hah nyaris tipis...padahal reaksi tubuh saling mengenali. Bangganya nanti Rava punya ayah seorang Kapten. pasti langsung keterima sama Bu Elda. Ga tau lah Elvara mau kemana arahnya.

Kak, up lagi donk 🤭
Fadillah Ahmad
itu Pasti Raska, kan kak Nana? Mungkin Baru Pulang Dinaa, Dari Papua, Mungkin ya? 😁😁😁
tse
kata2 mutiaramu ka. ...
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Fadillah Ahmad
Iya, Waktu itu, telah tiba Elvara. Ksmu sudah tidak bisa menghindar lagi, sudah bertahun-tahun kamu menghindar Elvara. Sekarang lah Saatnya kamu kembali... Dan menyelesaikan masalahmu yang telah lama tertunda sejak Remaja itu. Pulanglah... 😁😁😁🙏
Fadillah Ahmad
Harus itu, bukan kah... Kata orang tua, dulu-dulu, laki-laki itu harus kuat, nggk boleh Nangis, kan.

Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏

Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏
Hanima
lanjut Rasss
Fadillah Ahmad
Iya Sayang, Papa kamu harus di Cari dulu di Penjuru kota Jskarta... Atau bahkan Ke Seluruh indonesia, Sayang... 😁😁😁
Fadillah Ahmad
Iya Rava... Benar, Papa kamu lagi dinas, jadi belum bisa bertemu denganmu... Tunggu lah sanpai Papamu mendapat Cuti dulu ya nak, yaaa setidaknya 6 bulan sekali lah kalian bisa bertemu 😁😁😁 Soalnya Ayah kamu kan Tentara. Ayahmu juga Dinas 😁😁😁🙏
Felycia R. Fernandez
hampir saja mereka berjumpa... dengan Elvara yang sudah berubah dari Gasekil menjadi si singset...
tapi wajahmu gak berubah kan Vara??
Felycia R. Fernandez
aku juga nahan nafas 😳😳😳😳
Fadillah Ahmad
Yess akhirnya... Ksmu kembali pulang ke tanah Air Elvara... 😁😁😁🙏
Fadillah Ahmad
Kak Nana, genre novel ini kok berubah ya kak? menjadi Genre - Cinta Romantis? Bukan genre - Anak Rahasia lagi?
🌠Naπa Kiarra🍁: Itu keputusan editor, Kak. Gak bisa diganggu gugat.
total 3 replies
Fadillah Ahmad
Ah, akhirnya... Novel ini menandatangani kontrak juga... 😁😁😁 aku seneng deh... 😁😁😁 Insya allah dapat Bab terbsik ya kak 🙏🙏🙏😁
🌠Naπa Kiarra🍁: Aamiin 🙏
total 1 replies
Sugiharti Rusli
selain ibunya yang sangat menanti kepulangan mereka ke tanah air, apa antusias yang sama akan Rava rasakan, mengingat dia lahir dan besar di negara itu jadi mungkin belum ada bayangan tentang tanah airnya sendiri kan,,,
Sugiharti Rusli
apalagi Elvara dulu harus dipotong saat melahirkan si Rava kan, jadi agak lebih lama dan sekarang pada akhirnya dia sudah menyelesaikan dengan baik,,,
Sugiharti Rusli
memang lama yah kalo sekolah kedokteran itu, hanya orang" bermental tangguh yang sanggup yang bisa menyelesaikannya,,,
abimasta
elvara sudah jadi dokter,siapkan hati untuk pulang menemui hati yanng tertinggal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!