Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Retak 30 Tahun
Bandung pagi itu terasa ganjil. Matahari sudah naik, tapi cahayanya seperti tertahan awan tipis yang malas bergerak. Udara dingin menempel lebih lama di kulit, seolah rumah ini menahan suhu dinginnya sendiri. Dan untuk pertama kalinya… aku benar-benar melihat retakan itu. Bukan pada dinding rumah, bukan pada pagar kayu yang lapuk tapi pada cerita Ibu dan Ayah. Tiga puluh tahun mereka bersama, dan pagi ini aku sadar betapa panjangnya waktu itu untuk sebuah luka yang tidak pernah sembuh.
Aku duduk di meja makan, menatap kursi kosong yang dulu ditempati Pak Rahman setiap pagi. Dulu, meskipun ia pendiam, selalu ada suara kecil yang menandakan kehadirannya: gesekan koran, sendok mengaduk kopi, atau suara sepatu kulit saat ia bersiap kerja. Sekarang… tidak ada apa-apa. Kursi itu hanya barang kayu yang diam, seperti saksi bisu dari cinta yang sudah berakhir.
Ibu sedang membuat teh. Tangannya gemetar sedikit saat menuang air panas ke gelas. Entah dingin, lelah, atau sesuatu yang lebih dalam. Aku memerhatikannya lama sebelum akhirnya memberanikan diri bertanya, “Bu… apa Ibu yakin sudah tidak bisa dipertahankan lagi?”
Pertanyaan itu membuat Ibu berhenti. Punggungnya membeku sejenak. Lalu perlahan, ia menoleh ke arahku.
“Alya,” katanya, suaranya lembut terlalu lembut. “Kamu pernah lihat Ibu dan Ayah bertengkar?”
Aku menggeleng.
“Pernah lihat Ibu tersenyum waktu Ayah pulang?”
Aku terdiam sejenak. Aku mencoba mengingat, tapi pikiran itu terasa kabur.
Ibu tersenyum kecil, pahit. “Nah… itu jawabannya.”
Ia duduk di depanku, mengusap gelas hangat di tangannya. “Kami tidak bertengkar keras, tidak saling pukul, tidak saling caci. Tapi kami lama sekali berhenti bicara dari hati. Lama sekali berhenti saling melihat sebagai teman.” Ibu menarik napas dalam. “Rumah kami tidak ribut, tapi heningnya terlalu menyakitkan.”
Aku menelan ludah. Kata-kata itu bukan jawaban yang mudah diterima, tapi aku tidak bisa membantah.
Ibu melanjutkan, “Retaknya itu perlahan, Nak. Sedikit-sedikit. Dari hal-hal kecil. Dari janji sederhana yang tidak ditepati. Dari perasaan yang disimpan. Dari lelah yang tidak pernah dibagi.”
Matanya berkaca-kaca. Tapi ia tetap tersenyum sebuah senyum yang mungkin hanya dipakai oleh perempuan yang sudah terlalu lama menahan diri.
“Dua puluh tahun lalu, Ibu pernah bilang ke Ayah bahwa Ibu kesepian. Ayah hanya bilang Ibu terlalu sensitif.”
Ibu menghela napas. “Dan sejak saat itu… Ibu berhenti bicara.”
Aku memejamkan mata. Sebagai anak, kami tidak pernah tahu. Tidak pernah benar-benar melihat. Karena retakan rumah itu tidak terlihat di permukaan. Mereka terlalu pandai menyembunyikan.
Tidak lama kemudian, Dimas keluar dari kamar. Matanya sembap, entah karena kurang tidur atau terlalu banyak menangis diam-diam. Ia duduk tanpa suara. Disusul Laras yang berjalan pelan sambil memegang perutnya yang besar. Dan terakhir Raka, yang duduk paling ujung, kepala tertunduk.
Seperti selalu, keluarga kami kembali duduk di meja makan yang sama. Tapi untuk pertama kalinya, kursi Ayah kosong bukan karena ia berangkat kerja melainkan karena ia benar-benar pergi.
Dimas memecah keheningan. “Bu… Ayah ninggalin rumah gitu aja?”
Ibu menggeleng. “Tidak begitu. Ayah dan Ibu bicara. Baik-baik. Tidak ada teriakan, tidak ada kata kasar. Kami sepakat.”
“Sepakat buat pisah?” Raka mengangkat kepala, suaranya getir.
“Sepakat buat tidak saling menyakiti lagi dengan pura-pura.”
Perkataan itu membuat ruangan kembali sunyi.
Laras menyeka air matanya. “Bu… apa Ayah nggak pernah sayang sama Ibu?”
Ibu tersenyum sungguh, senyum yang sangat kuat. “Ayah kalian sayang. Dulu. Tapi cinta juga bisa capek kalau tidak dijaga. Dan mungkin… Ayah sudah terlalu lelah.”
Tidak ada yang bicara selama beberapa saat. Hanya suara kipas angin tua yang berputar lambat di pojok dapur. Suara yang selama ini tidak pernah terasa mengganggu, tapi hari ini terdengar begitu jelas dan menyakitkan.
Aku menarik napas dalam lalu berkata pelan, “Bu… kenapa Ibu tahan semua ini tiga puluh tahun?”
Ibu menatap ke arah jendela, melihat embun yang menempel di kaca. “Karena kalian,” jawabnya. “Ibu ingin kalian tumbuh dalam rumah yang lengkap. Walaupun retak, tetap ada dua orang tua yang pulang ke rumah yang sama setiap malam.”
Aku meremas jemariku sendiri di bawah meja. Tidak tahu harus sedih, marah, atau bersyukur. Tiga puluh tahun… waktu yang luar biasa panjang untuk menanggung kesepian.
“Kalau Ibu minta maaf… kalian mau maafin?”
Kami bertiga aku, Dimas, Laras, dan Raka langsung menggeleng bersamaan.
“Bu…” suaraku pecah. “Ibu nggak salah.”
Ibu terdiam. Matanya bergetar.
“Yang salah itu keadaan,” tambah Dimas.
“Yang salah itu waktu,” kata Laras.
“Yang salah itu… Ayah nggak ngelihat Ibu lebih awal,” bisik Raka.
Ibu menutup mulut dengan tangan, bahunya bergetar. Tangisnya akhirnya pecah. Bukan tangis keras tapi tangis panjang yang mungkin ia simpan selama puluhan tahun.
Dan kami memeluknya.
Di meja makan itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami benar-benar menjadi keluarga yang jujur. Tidak sempurna. Tidak utuh. Tapi jujur.
Hanya saja… kejujuran itu baru permulaan.
Karena retak tiga puluh tahun tidak berhenti di sini. Ia baru mulai membuka cerita yang lebih dalam.
Setelah tangis Ibu mereda, ruangan itu tetap terasa berat, tetapi ada sesuatu yang berubah. Bukan menjadi ringan tidak. Namun seperti sebuah pintu kecil yang akhirnya terbuka, memberi sedikit cahaya ke dalam ruangan yang gelap selama bertahun-tahun.
Aku membantu Ibu menyiapkan sarapan sederhana. Hanya roti panggang dan telur, tapi prosesnya terasa asing. Biasanya Ayah duduk di sudut meja sambil membolak-balik koran atau menonton berita pagi. Kini, piring untuknya tetap berada di lemari, tak tersentuh. Keheningan itu bukan hanya kosong tapi seperti ada lubang besar yang ditinggalkan seseorang yang dulu sangat berarti.
Raka masih duduk di meja makan tanpa banyak bicara. Bola matanya merah, tapi ia berusaha keras menyembunyikannya. Dimas sibuk memotong roti, meski potongannya tidak rapi. Laras mengelus perutnya, mungkin mencari ketenangan dari kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya.
Kami semua memproses kesedihan dengan cara masing-masing.
Saat kami duduk, Ibu berkata perlahan, “Maaf kalau pagi ini terasa canggung. Ibu masih belum terbiasa.”
Tidak ada yang menuntut Ibu untuk kuat. Tapi Ibu tetap mencoba.
Dimas mengangguk pelan. “Nggak apa-apa, Bu. Kita semua masih belajar.”
Raka tiba-tiba bersuara, nada suaranya patah, “Bu… Ayah bakal balik lagi nggak?”
Pertanyaan itu menusuk jantung semua orang di meja itu. Laras menatap adiknya, ingin membela, tetapi tidak tahu harus bagaimana. Dimas hanya menutup wajah dengan tangannya, menghindari kontak mata.
Ibu menghela napas panjang lalu menatap Raka dengan lembut. “Ibu… nggak tahu, Nak.”
“Jadi Ayah pergi selamanya?” Raka menunduk.
“Tidak ada yang selamanya,” jawab Ibu. “Tidak bahagia selamanya. Tidak sedih selamanya. Bahkan kehilangan pun… lama-lama berubah bentuk.”
Raka mengusap matanya cepat-cepat, seolah malu. “Aku cuma… nggak siap.”
“Kita semua nggak siap,” kataku, mengulurkan tangan ke arahnya. Ia menggenggamnya lemah.
~~~
Setelah sarapan, aku keluar ke halaman. Tanah masih basah setelah hujan semalam. Pohon mangga di pinggir pagar menjatuhkan air dari daun-daunnya, menimbulkan suara “tik tik” yang ritmis. Aku berdiri di sana, membiarkan angin Bandung yang dingin mengenai wajahku.
Aku mencoba membayangkan Ayah berjalan keluar dari rumah ini untuk terakhir kalinya. Memasukkan pakaian ke koper, menatap ruangan ini tanpa berkata apa pun, lalu menutup pintu perlahan. Aku mencoba membayangkan apa yang ada di benaknya.
Kesepian...? Lega...? Marah...? Lelah...?
Aku sendiri tidak tahu.
Aku hanya tahu satu hal: luka tiga puluh tahun itu bukan milikku, tapi aku ikut merasakannya. Pecahannya mengenai kami satu per satu.
Dimas menyusulku ke halaman. Ia berdiri di sampingku tanpa bicara. Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya ia berkata, “Kak… aku dulu sempat benci Ayah waktu kecil.”
Aku menoleh. “Kenapa?”
“Karena Ayah selalu sibuk. Ada di rumah, tapi tidak benar-benar ada.” Dimas menendang kerikil kecil di tanah. “Baru sekarang aku sadar… mungkin Ayah juga kesepian.”
Aku terdiam. Dimas jarang bicara sedalam ini.
“Lalu… apakah itu alasan untuk pergi?” tanyaku.
Dimas mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Tapi kalau hidup dengan orang yang kamu sayang tapi kamu nggak merasa dicintai lagi… itu mungkin lebih menyakitkan daripada hidup sendirian.”
Aku menelan ludah. Kata-kata itu seperti membuka sesuatu dalam diriku sendiri tentang Ardi, tentang pernikahan yang belum sepenuhnya kupahami.
“Aku takut, Kak,” lanjut Dimas.
“Takut apa?”
“Takut rumahku nanti sama kayak ini.”
Aku menarik napas panjang. “Makanya kita belajar dari apa yang gagal hari ini. Bukan buat menyalahkan Ibu atau Ayah… tapi supaya kita nggak ulangi hal yang sama.”
Dimas menatapku lama sebelum akhirnya mengangguk.
Di dalam rumah, Laras sedang duduk di ruang tamu, memegang album foto yang kemarin dibuka Ibu. Ia membolak-balik halaman itu, dan setiap lembar menyimpan emosi yang sulit ditebak sedih, rindu, marah, dan juga sedikit lega karena akhirnya semuanya jujur.
Aku duduk di sampingnya. “Masih mikirin Ayah?”
Laras menelan ludah. “Iya. Tapi… lebih dari itu, aku mikirin Ibu. ”Ia menyentuh foto Ibu muda yang tersenyum cerah di pesta keluarga.“ Lihat ini. Ibu cantik banget, ya. Senyumnya tulus. Cerah banget.”
Aku ikut memperhatikan. Ada energi berbeda di foto itu. Ibu terlihat penuh harapan, penuh masa depan yang ia yakini indah. Dan kini, di usia lima puluhnya, senyum itu hampir tak terlihat.
“Pernikahan bisa mengubah orang, ya…” Laras berbisik.
Kalimat itu membuatku bergidik. Ada sesuatu yang menusuk jauh ke dalam dadaku.
“Aku takut, Kak… takut aku jadi kayak Ibu,” katanya pelan.
Aku menatap perutnya, lalu menatap matanya. “Laras… kamu tidak akan jadi Ibu. Kamu akan menjadi dirimu sendiri. Ibu punya jalannya. Kamu punya jalanmu.”
Laras menggeleng. “Tapi kalau suamiku nanti juga berubah? Kalau dia tiba-tiba pergi? Kalau aku terlalu capek?”
Aku menggenggam tangannya. “Kalau kamu capek… kamu cerita. Jangan simpan sendiri tiga puluh tahun.”
Laras memejamkan mata sambil menangis pelan.
Sementara itu, Ibu masuk dengan membawa tumpukan kertas. Dokumen perceraian. Mata kami langsung tertuju pada kertas-kertas itu.
“Ini… surat-surat yang Ibu terima kemarin,” katanya.
Aku merasakan sesuatu turun di dadaku. Seperti batu yang jatuh keras.
Dimas membaca sekilas, rahangnya menegang. “Ayah tanda tangan sendiri, Bu?”
Ibu mengangguk. “Iya. Tanpa ribut. Tanpa drama.”
“Tapi Bu… ini resmi,” kataku pelan.
Ibu menatapku dengan lembut. “Justru karena resmi, Ibu akhirnya bisa mulai hidup baru.”
Raka menelan ludah. “Tanpa Ayah?”
Ibu menghela napas. “Tanpa pura-pura.”
Kalimat itu membuat kami terdiam.
Setelah tiga puluh tahun… Ibu akhirnya memilih dirinya sendiri.
~~~
Menjelang siang, telepon rumah berbunyi. Suaranya memecah keheningan dan membuat semua orang menoleh. Tidak ada yang bicara, tetapi aku tahu kami semua memikirkan hal yang sama: Ayah.
Ibu ragu beberapa detik sebelum mengangkat telepon itu.
“Halo?” suaranya lirih.
Kami menunggu. Tidak ada yang berani bergerak.
Beberapa detik kemudian, Ibu berkata, “Iya… betul. Rahman sudah tidak tinggal di sini lagi.”
Ada jeda panjang. Ibu menunduk, wajahnya tidak terbaca.
“Oh begitu… baik. Terima kasih.”
Telepon ditutup. Kami menatapnya penuh tanya.
“Siapa, Bu?” Ibu menarik napas. “Bank. Menanyakan data Ayah.” Hanya itu. Tapi senyumnya gugur. Tidak ada kabar dari Ayah. Bahkan satu pesan pun tidak. Dan aku melihat sesuatu yang patah lagi di mata Ibu.
~~~
Sore itu, saat matahari condong ke barat dan sinarnya masuk melalui jendela ruang tamu, Ibu berkata sesuatu yang membuat kami semua tercekat.
“Kalian tahu… kadang bukan perpisahan yang paling menyakitkan.” Ia menatap kami satu per satu.
“Tapi menyadari bahwa selama ini… kita hidup berdampingan, tapi tidak benar-benar bersama.” Tidak ada yang menjawab. Karena kami tahu, itu bukan hanya cerita Ibu. Itu juga pelajaran untuk kami semua.
Dan itulah hari ketika aku, sebagai anak, benar-benar melihat bagaimana retak tiga puluh tahun itu terjadi perlahan, diam, tak terdengar, tapi pasti.