Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.
Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.
Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.
✯
Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7
Lampu-lampu neon menari di antara kepulan asap tipis, menciptakan warna ungu dan biru yang berganti cepat di dinding kaca klub. Dentuman bass merambat dari lantai, seperti denyut nadi raksasa yang membuat udara bergetar.
Di sudut bar, dua gadis duduk bersebelahan Rada dan Alia. Meskipun sedikit tersentil oleh kata-kata Gavin, Rada tetap pergi ke klub malam. Ia baru saja melewati minggu yang panjang, keluarga, drama percintaan, dan semua hal yang membuat kepala sesak.
Rada meneguk minumannya, cairan berwarna jingga keemasan berputar di dalam gelas kristal.
“Tuhan, aku cuma mau satu malam tanpa mikirin siapa pun. Aku ingin lupa bahwa aku pernah sangat jatuh cinta, aku ingin lupa bahwa yang dia pilih adalah kakak kandungku.” katanya, suaranya nyaris tenggelam oleh musik.
Alia tersenyum miring, memainkan sedotan di antara jarinya. “Itu alasan kita di sini. Tidak ada pesan dari mantan. Hanya musik, minuman, dan sedikit kebodohan yang bisa dimaafkan besok pagi.”
Mereka tertawa kecil. Di tengah keramaian, penari mulai naik ke panggung, tubuh lentur bergerak mengikuti alunan elektronik yang menggema. Gerakannya berani tapi artistik, memikat seluruh ruangan. Lampu strobo menyorot wajah-wajah yang terpana.
Alia menyikut Rada pelan. “Lihat yang di tengah itu. Gerakannya kayak nggak dari dunia ini.”
Rada menatap sejenak, lalu mengangkat alis. “Aku bahkan lupa caranya berdansa sesantai itu. Sudah terlalu sibuk jadi orang dewasa.”
"Malam ini, kita bukan orang dewasa. Kita cuma dua gadis yang ingin tertawa sampai pagi." Ucap Alia.
Pelayan lewat membawa nampan penuh minuman berwarna neon. Rada memesan satu lagi, kali ini berwarna ungu lembut, dengan uap dingin naik dari permukaannya. Musik berganti, sedikit lebih pelan tapi lebih sensual.
Beberapa pasangan mulai turun ke lantai dansa. Alia berdiri, menarik tangan Rada.
“Ayo. Kalau terus duduk, kita bakal jadi penonton seumur malam.”
Rada tertawa, sedikit menolak, tapi akhirnya menyerah. “Oke. Tapi jangan salahkan aku kalau aku menginjak kakimu.”
Mereka berjalan ke tengah lantai, lampu memantul di rambut dan kulit mereka. Dunia di luar klub seakan hilang yang tersisa hanyalah ritme, tawa, dan getaran yang menyatukan langkah mereka dengan musik.
Tanpa di sadari oleh Rada, Gavin duduk mengawasi dari meja sudut yang agak gelap. Di sampingnya duduk Alex, si asisten pribadi yang sesekali melirik bosnya.
"Anda baik-baik saja, pak?" Tanya Alex agak cemas, selama ia bekerja sebagai asisten pribadi Gavin, bosnya itu tidak pernah mendatangi tempat ini. Hidup Gavin selalu lurus dan monoton, berputar sekitar kantor dan alam kalau sedang memiliki waktu luang.
Gavin belum pernah memilih klub malam sebagai tempat untuk menghibur diri. Kalaupun pikirannya sedang kacau, Gavin lebih memilih mendaki gunung atau pergi berselancar.
"Ya, tidak perlu khawatir." Sahut Gavin tanpa mengalihkan pandangannya dari Rada. Gadis itu menari dengan asal-asalan.
Jika bukan karena khawatir pada Rada, Gavin tentu tidak akan pernah menginjakkan kaki di tempat seperti ini.
"Hai ganteng," seorang wanita berdandan menor hendak menyentuh Gavin, namun Alex lebih sigap menjauhkannya.
"Pergi sana! Jangan menyentuhnya," Alex memberi peringatan, suaranya dingin dan tajam membuat si wanita buru-buru pergi.
Gavin bahkan tidak meliriknya sedikitpun, matanya sibuk mengikuti Rada. Salah satu alasan Gavin tidak mau ke klub malam adalah wanita-wanita kurang belaian itu.
Musik semakin menggila. Lantai dansa dipenuhi orang, lampu berputar, suara tawa bercampur dengan dentuman bass yang memukul dada. Rada sudah tidak sepenuhnya sadar. Gelas ketiganya habis terlalu cepat, dan minuman keempat datang tanpa ia sempat berpikir.
Alia, di sisinya, sama-sama mulai goyah, tapi masih mencoba tertawa. “Kau tahu,” katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar di tengah musik, “ini malam terbaik dalam hidupku.”
Rada menatapnya, matanya berkilat oleh pantulan lampu. “Bagus sekali. Jika bajingan itu ada disini, aku pasti memukulnya.”
Kakinya goyah. Dunia berputar. Lantai terasa seperti ombak yang menelan pijakannya. Ia tertawa kecil, lalu tubuhnya miring, nyaris jatuh.
Sebelum sempat menyentuh lantai, sepasang tangan kuat menahannya. Wangi cologne maskulin memenuhi udara di sekitarnya.
Suara yang dalam dan menahan amarah berbisik di telinganya,
"Aku sudah bilang… kamu seharusnya tidak datang ke tempat ini, Rada."
Rada mendongak. Pandangannya kabur, tapi cukup untuk mengenali sosok itu, Gavin, pria yang datang tiba-tiba secara menyebalkan ke hidupnya. Dasi hitamnya longgar, kemejanya masih rapi meski sorot matanya menajam seperti badai yang tertahan. Di belakangnya berdiri Alex, asistennya, yang selalu mengikutinya.
Alia menatap mereka dengan bingung, lalu memekik senang. “Hei, Gavin, kamu benar-benar tampan..."
Gavin menoleh setengah, nada suaranya tegas namun sopan. “Alex, tolong bantu nona itu pulang. Pastikan aman.”
Alex langsung melangkah, menangkap Alia yang hampir kehilangan keseimbangan. “Baik, Bos.”
Alia mencoba protes, tapi Alex menahannya dengan sabar, membisikkan sesuatu dengan nada menenangkan. Dalam beberapa detik, mereka berdua bergerak menuju pintu keluar di sisi ruangan, menembus kerumunan.
Sementara itu, Gavin memapah Rada dengan hati-hati. Ia menarik tubuhnya lebih dekat, menutupinya dari tatapan orang-orang di sekeliling. Cahaya klub berkilau di rambut Rada yang berantakan, wajahnya memerah oleh alkohol dan kelelahan.
"Kenapa… kamu di sini? Katamu kamu nggak pernah ke klub?" gumam Rada, suaranya lemah namun menggoda karena efek minuman.
“Karena kamu keras kepala,” jawab Gavin pelan. “Dan aku tahu kamu akan berusaha melupakan sesuatu dengan cara yang salah.”
Ia menunduk sedikit, menatap wajah Rada yang nyaris terlelap. Ada helaan napas panjang, seperti seseorang yang terlalu sering menahan diri untuk peduli.
“Ayo. Sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran.”
Dengan lembut tapi tegas, Gavin menuntunnya keluar. Pintu kaca besar klub terbuka, hembusan udara malam yang dingin menyambut mereka. Suara musik meredam perlahan, tergantikan oleh bunyi mesin mobil yang menunggu di luar.
Di balik semua cahaya dan gemerlap, hanya tersisa satu pemandangan. Gavin yang masih memeluk Rada erat di lengannya, melindunginya dari dunia yang hampir menelannya hidup-hidup.
Gavin meletakkan Rada dengan hati-hati di kursi belakang, lalu ia mengendarai mobilnya menuju Black Orchid.
Udara malam kian dingin ketika mobil hitam Gavin berhenti di depan gedung apartemen. Lampu kota memantul di jendela, meninggalkan garis cahaya tipis di wajah Rada yang tertidur di kursi penumpang.
Gavin membuka sabuk pengamannya, menghela napas panjang. Ia menatap Rada beberapa detik, wajahnya tampak damai, padahal beberapa jam lalu ia hampir terjatuh di lantai klub, dikelilingi orang asing dan lampu-lampu gila.
"Kamu keras kepala," gumamnya pelan, separuh marah, separuh cemas.
Ia turun dari mobil, lalu berkeliling untuk membuka pintu penumpang. Dengan hati-hati, ia membopong Rada. Tubuhnya ringan, aromanya samar bercampur antara parfum bunga dan alkohol.
Lift menuju lantai dua terasa terlalu sunyi. Suara sepatu Gavin bergema pelan di antara dinding logam. Ia menatap angka di layar lift yang naik perlahan, dan dalam diam, hatinya justru terasa lebih berat dari langkahnya.
Ketika sampai di depan apartemen Rada, ia mencoba membuka pintu namun kode digital merah berkedip di layar. Salah. Lagi dan lagi.
Gavin menatap panel itu, menghela nafas "Tentu saja… dia mengganti sandinya."
Ia menatap pintu di sebelah, apartemennya sendiri. Dengan helaan napas yang lelah, ia akhirnya membawa Rada masuk ke dalam.
Apartemen Gavin tampak kontras dengan malam yang baru saja mereka lewati, interior minimalis berwarna abu dan hitam, wangi kopi dan cedarwood memenuhi udara. Lampu redup menciptakan suasana hangat tapi sunyi.
Ia menurunkan Rada di tempat tidur pribadinya. Selimut abu-abu tersibak, dan ia memastikan kepalanya nyaman di bantal. Satu helai rambut jatuh di pipi Rada, Gavin mengangkatnya perlahan, tangannya berhenti di udara seolah takut menyentuh lebih dari yang seharusnya.
"Kamu benar-benar membuatku gila malam ini," ucapnya lirih, senyum kecil yang jarang terlihat muncul tanpa sengaja.
Ia menatapnya sejenak lagi, pandangan lembut tapi penuh konflik. Lalu, dengan langkah pelan, Gavin berjalan keluar kamar. Di ruang tengah, ia menjatuhkan diri ke sofa kulit besar, melepas dasi dan menyandarkan kepala ke belakang.
Jam digital di dinding menunjukkan pukul 02.47 dini hari.
Di luar, kota masih berkilau. Di dalam, hanya suara napas seseorang yang berusaha tetap tenang di tengah kecemasan yang tak ingin diakui.
Gavin menatap langit-langit, bergumam pada dirinya sendiri sebelum matanya perlahan terpejam,
"Selama kamu aman malam ini… itu sudah cukup.”
...✯✯✯...