NovelToon NovelToon
DRAMA SI SANGKURIANG

DRAMA SI SANGKURIANG

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Tamat
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: gilangboalang

Di tengah hiruk pikuk kota Bandung yang modern, seorang pemuda terjebak dalam cinta yang tidak seharusnya. Ia tak tahu, bahwa wanita yang ia cintai menyimpan masa lalu yang kelam — dan hubungan mereka bukan sekadar kisah cinta biasa, melainkan takdir yang berulang dari masa lampau...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BABAK II: BENIH TRAGEDI (LANJUTAN) ​ADIEGAN 10: RAHASIA DALAM TANDA LAHIR

​Restoran kecil di Jakarta itu ramai, tetapi tidak sesak, memberikan suasana yang pas untuk perbincangan mendalam. Arya dan Reza duduk berhadapan. Di atas meja, hidangan sudah tersaji: Nasi goreng kampung dengan telur dan sate ayam—makanan sederhana yang terasa mewah bagi Reza.

​Arya mengawali percakapan, mencoba mengorek lebih dalam tanpa memaksa.

​"Jadi, Reza, kamu bilang ingin mencari sekolah yang lebih baik. Tapi seragammu ini... kamu merantau sendiri?"

​Reza mengangguk, menyendok nasi goreng dengan perlahan, menikmati setiap butirnya. Ia merasa bersalah karena berbohong, tetapi ia harus menjaga harga dirinya.

​"Iya, Kak. Saya memang dari Bandung. Sebenarnya... saya memang diusir," Reza mengakui separuh kebenaran, suaranya tercekat. "Ibu saya... dia sudah kecewa sekali dengan saya. Saya nakal. Saya sering buat onar, tawuran, dan ya... sering melawan."

​Reza menceritakan masa remajanya yang kacau, tetapi ia sama sekali tidak menyinggung masalah mencuri atau alkohol. Ia hanya fokus pada kekecewaan ibunya.

​"Ibu saya bilang, saya tidak boleh kembali sampai saya tahu apa arti hidup. Jadi, saya lari ke Jakarta, ke pelabuhan, karena saya ingat mimpi saya dulu ingin jadi Nahkoda."

​Arya mendengarkan dengan serius. Matanya memancarkan simpati. Ia tahu betapa sulitnya hidup mandiri di usia semuda itu.

​"Seorang Ibu yang keras. Tapi mungkin dia melakukan itu karena dia sangat mencintaimu," komentar Arya lembut. "Kamu punya tekad yang bagus. Melarikan diri untuk mencari mimpi, itu jauh lebih baik daripada lari untuk menyerah."

​Saat Arya berbicara, tangannya meraih botol minum di meja. Secara tak sengaja, siku Arya menyenggol botol itu, dan Reza refleks bergerak menghindar. Gerakan mendadak itu membuat kaus lusuh Reza tersingkap sedikit di bagian leher.

​Tepat di bawah tulang selangka kiri Reza, di pangkal lehernya, terpampang sebuah TANDA LAHIR berwarna merah keunguan, bentuknya unik, seperti tanda seru terbalik.

​Mata Arya sontak membelalak. Ia membeku. Wajahnya yang tadi ramah mendadak pucat. Tanda lahir itu... ia mengenalnya. Itu adalah tanda yang sama persis yang ia lihat pada malam ia meninggalkan Nawangsih belasan tahun lalu—tanda lahir yang ia yakini hanya dimiliki oleh darah dagingnya.

​Reza melihat perubahan drastis di wajah Arya. Pria itu tampak seperti baru saja melihat hantu.

​"Kak Arya? Kakak kenapa?" tanya Reza bingung.

​Arya tidak menjawab. Ia hanya menatap leher Reza, lalu mencoba mengendalikan diri. Ia berdiri dengan kaku.

​"Maaf, Reza. Saya... perut saya mendadak tidak enak. Saya harus ke toilet sebentar. Kamu lanjutkan saja makanmu, ya."

​Arya berjalan cepat, nyaris tergesa-gesa menuju toilet. Reza menatap kepergian pria itu dengan kebingungan. Ada apa dengan tanda lahirnya? Bukankah itu hanya noda biasa?

​DI DALAM TOILET

​Arya bersandar ke dinding, kedua tangannya mencengkeram tepi wastafel. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal-sengal. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya.

​Tanda lahir itu. Tidak mungkin. Tidak mungkin ia salah. Ia tidak pernah melupakan tanda itu.

​Bertahun-tahun lalu, ketika ia memutuskan pergi sebelum anak itu lahir, Nawangsih sempat menunjukkan tanda itu di USG, dan kemudian mengirimkannya foto setelah Reza lahir. Ia telah menghapus kontak Nawangsih, mencoba mengubur kenangan itu, tetapi memori visual tanda lahir itu abadi di benaknya.

​Reza. Anak yang diusir. Anak yang lahir di Bandung. Anak yang kini memiliki mimpi menjadi Nahkoda.

​Arya merasa bersalah. Ia adalah ayah yang meninggalkan. Jika Nawangsih mengusir Reza karena kenakalan, itu pasti karena kesulitan membesarkan anak sendirian—kesulitan yang seharusnya ia tanggung bersama.

​Arya menarik napas panjang, mencuci wajahnya dengan air dingin. Ia harus tenang. Ia harus memastikan.

​KEMBALI KE MEJA MAKAN

​Arya kembali, berjalan dengan tenang, tetapi ketenangan itu hanya topeng. Ia duduk, tatapannya kini berbeda—lebih lembut, namun sangat intens.

​"Reza," kata Arya, suaranya dalam. "Tadi kamu bilang, kamu diusir oleh ibumu dari Bandung. Siapa nama ibumu?"

​Reza terkejut dengan pertanyaan langsung itu. Biasanya, ia enggan menyebut nama ibunya, karena itu adalah sumber rasa sakit.

​"Nawangsih, Kak. Nama Ibu saya Nawangsih."

​Mendengar nama itu, Arya kembali terhenyak. Semuanya cocok. Tanda lahir, asal Bandung, nama Nawangsih.

​"Nawangsih..." Arya mengulang nama itu, tenggelam dalam ingatan. "Apa dia... masih terlihat muda? Apa dia sangat cantik?"

​Reza mengernyit. Ia tidak suka ada pria lain yang memuji ibunya, meskipun ia sangat merindukannya.

​"Iya, Ma—Ibu memang cantik. Kata orang-orang juga begitu," jawab Reza, sedikit defensif.

​Arya mengangguk perlahan. Ia harus melihatnya. Ia harus yakin.

​"Reza. Kamu masih punya foto ibumu? Di ponselmu?"

​Reza ragu sejenak. Foto Nawangsih adalah satu-satunya benda berharga yang ia bawa, yang ia simpan sebagai pengingat akan tujuan hidupnya. Ia mengambil handphone lamanya dari saku, membuka galeri. Ia menemukan foto terakhir yang ia ambil diam-diam dari meja ibunya sebelum pergi—foto Nawangsih yang tersenyum ke arah jendela.

​Reza menyodorkan ponsel itu kepada Arya.

​Arya mengambil ponsel itu. Begitu ia melihat wajah di layar, semua keraguan lenyap. Rambut hitam, mata tegas, kecantikan abadi itu. Nawangsih.

​Air mata Arya menetes, jatuh tepat di layar ponsel Reza. Ia tidak peduli. Ia sudah menemukannya. Ia menemukan anak yang ia tinggalkan.

​Arya meletakkan ponsel itu, lalu tanpa aba-aba, ia bangkit dan menarik Reza ke dalam pelukan yang sangat erat. Pelukan itu kuat, penuh emosi, mencengkeram bahu Reza hingga Reza kesulitan bernapas.

​Reza, yang keras kepala dan tangguh, kini merasa sangat kecil dan bingung.

​"Kak Arya? Kenapa? Ada apa?" tanya Reza, mencoba melepaskan diri.

​Arya tidak melepaskannya. Suaranya pecah, bercampur isak tangis yang tertahan, berbisik tepat di telinga Reza.

​"Aku Ayahmu! Aku Ayahmu, Za! Maafkan Ayah! Aku tidak pernah tahu, aku tidak pernah tahu kamu tumbuh begini besar! Anakku! Kamu anakku!"

​Reza terdiam. Kebingungan melanda seluruh tubuhnya. Ayah? Pria berseragam gagah, yang baru ia temui di halte bus, yang kini menangis di bahunya, adalah ayah yang Nawangsih sembunyikan selama 15 tahun?

​Pikirannya langsung berlari kembali ke rumahnya di Bandung. Keberadaan ayah selalu menjadi teka-teki, sumber pertengkaran, dan kini, sosok itu muncul di tengah malam, di kota asing.

​Reza tidak tahu harus merespons apa, selain membiarkan pelukan Arya meresap ke dalam jiwanya, pelukan yang ia rindukan seumur hidupnya.

1
Agustina Fauzan
baguuus
gilangsaputra
keren
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!