Di saat kedua sahabatnya telah menikah, Davin masih saja setia pada status jomblonya. hingga pada suatu malam ia menghadiri perayaan adik perempuannya di sebuah hotel. perayaan atas kelulusan adik perempuannya yang resmi menyandang gelar sarjana. Tapi siapa sangka malam itu terjadi accident yang berada diluar kendali Davin, pria itu secara sadar meniduri rekan seangkatan adiknya, dan gadis itu tak lain adalah adik kandung dari sahabat baiknya, Arga Brahmana. sehingga mau tak mau Davin harus bertanggung jawab atas perbuatannya dengan menikahi, Faradila.
Akankah pernikahan yang disebabkan oleh one night stand tersebut bisa bertahan atau justru berakhir begitu saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7.
Lamunan Dila di sadarkan oleh suara getar ponselnya. Ia berpikir pesan tersebut berasal dari Davin sehingga Dila ogah-ogahan membuka pesan tersebut. Pesan kedua kembali menimbulkan suara getaran pada ponsel Dila.
"Mas Davin ngapain sih....? Apa nggak capek terus-menerus ngirim pesan kayak gini?." Sebal Dila. Walaupun dengan perasaan sebal, Dila akhirnya membuka pesan tersebut. Rupanya ia salah sangka, pesan itu bukan dari Davin melainkan pesan dari sahabat baiknya, Marwah, yang mengajaknya bertemu siang ini di cafe favorit mereka.
"Okey." setelah mengetik balasan pesan untuk Marwah, Dila lantas menekan tombol send di ponselnya. Apa salahnya mengisi waktu kosong dengan bertemu dengan sahabat baik, lagipula Davin pasti tidak akan marah mengingat yang akan ditemuinya adalah seorang wanita bukannya seorang lelaki, begitu pikir Dila.
Tepat pukul dua belas siang Dila berangkat menuju cafe yang dimaksud. Gadis itu menumpangi taksi online karena mobilnya masih berada di rumah orang tuanya.
Beberapa saat kemudian, tibalah Dila di depan cafe dan secara kebetulan Marwah pun baru saja turun dari mobilnya. Wanita itu menghampiri Dila. Ya, wanita, karena faktanya Marwah sudah menikah dan memiliki seorang putra. Marwah menikah saat masih duduk di bangku kuliah, dua tahun lalu.
"Tumben kamu naik taksi, mobil kamu mana?." Tanya Marwah sekedarnya.
"Lagi di bengkel." Dila terpaksa berdusta. Karena, tak mungkin ia jujur pada Marwah jika sebenarnya ia telah menikah dan saat ini mobilnya masih berada di rumah orang tuanya. Bisa-bisa group seangkatannya heboh karena ulah si Marwah yang terkadang gegabah dalam bertindak.
"Oh...." Nampaknya Marwah percaya begitu saja dengan alasan Dila. Kini keduanya berjalan bersama memasuki pintu utama cafe. Marwah mengajak Dila menghampiri meja yang masih kosong di sisi sudut ruangan. Meja tersebut merupakan meja favorit mereka jika berkunjung ke cafe tersebut.
"Kamu kenapa sih? Kok muka kamu tiba-tiba lemas gitu?." Tanya Dila saat mereka telah menempati kursi yang saling berhadapan, dengan meja bulat sebagai perantara.
"Bukan apa-apa kok."
"Jangan berdusta, Marwah! Kita sudah lama bersahabat dan aku kenal betul dengan sikapmu yang sangat payah dalam menutupi sesuatu." Dila tak percaya begitu saja dengan jawaban Marwah.
Marwah nampak menghela napas panjang, sebelum sesaat kemudian mengucapkan kalimat yang mampu membuat Dila membelalakkan kedua matanya.
"Aku hamil lagi, Dila."
"APA? Kamu hamil lagi?." saking kagetnya dengan pengakuan Marwah, Dila sampai tak sadar menaikan volume suaranya beberapa oktaf hingga mereka pun menjadi pusat perhatian dari pengunjung lainnya, terutama yang menempati meja tak jauh dari mereka.
"Pelan kan suaramu, Dila!." Marwah merasa tak enak hati saat menyadari mereka menjadi pusat perhatian.
"Maaf..." Marwah mengedarkan pandangan seraya tersenyum sungkan kepada orang-orang yang kini melirik pada mereka.
"Sorry, aku kelepasan." Ujar Dila pada Sahabat baiknya itu.
"Bukannya kamu ingin menunda kehamilan setelah kelahiran anak pertama kamu? Lalu, kenapa bisa kebobolan begitu sih?." Bukannya meragukan kemampuan suami Marwah dalam memenuhi kebutuhan finansial istri dan anak-anaknya karena faktanya suami Marwah merupakan seorang pengusaha, hanya saja Dila mengkhawatirkan kondisi mental Marwah dalam merawat dan mengurus anak-anak yang usianya berdekatan. Dila khawatir sahabatnya itu mengalami baby blues.
"Mas Irwan memintaku berhenti mengkonsumsi pil penunda kehamilan." aku Marwah di hadapan Dila.
"Lalu kamu menurutinya, tanpa peduli dengan kondisi mental kamu yang nantinya harus merawat anak yang usianya berdekatan?." Dila sampai menepuk jidat mendengar pengakuan Marwah. Bukannya tak senang dengan kabar kehamilan Marwah, namun Dila hanya menyayangkan sikap Marwah yang menuruti permintaan suaminya di saat hatinya justru belum sepenuhnya siap untuk hamil lagi.
"Aku memang takut dan khawatir jika kedepannya nanti sedikit kewalahan dalam mengurus anak-anakku. Tetapi, aku lebih takut mendapat gelar istri durhaka karena tidak patuh pada suamiku, Dila. Apalagi faktanya mas Irwan sanggup memenuhi semua kebutuhanku dan mas Irwan juga telah menyediakan jasa baby sitter untuk membantuku dalam merawat anak-anak."
"Istri durhaka..." Cicit Dila dalam hati. Rupanya dua kosa kata tersebut mampu membungkam mulut Dila, mengingatkan gadis itu pada statusnya yang juga telah menjadi istri orang, akan tetapi lalai dalam menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia bahkan tidak bersedia tidur sekamar dengan suaminya.
"Are you okey?." Pertanyaan serta lambaian tangan Marwah sekaligus menyadarkan Dila dari lamunannya.
"I'm Okeyy." Jawab Dila yang sebenarnya tak yakin dengan Jawabannya sendiri.
"Kalau kata mamah aku sih, ada untungnya juga jika memiliki anak dengan usia yang berdekatan, biar sekali repot katanya." Marwah lanjut lagi pada topik mereka soal kehamilannya. Berbeda dengan Dila yang tadinya banyak omong, kini gadis itu lebih banyak mengiyakan ucapan sahabatnya itu. Nampaknya kata istri durhaka yang terucap dari mulut Marwah mampu mengubah pola pikir Dila tentang kehamilan Marwah.
"Bukankah kau dan mas Irwan dijodohkan, lalu mengapa kau merasa perlu patuh padanya?." Pertanyaan Dila memancing senyum di bibir Marwah.
"Dila ku sayang....Aku dan mas Irwan memang dijodohkan, tetapi itu bukan sebuah alasan untuk aku tidak patuh padanya. Apapun alasan kita menikah, sudah semestinya kita patuh pada suami, Dila." Jawab Marwah. Kali ini jawaban wanita satu anak itu mampu memukau Dila.
"Awalnya aku memang tidak mencintai mas Irwan, akan tetapi cinta dan kasih sayang mas Irwan mampu membuka pintu hatiku, Dila. Kini aku sangat mencintainya, aku sangat mencintai suamiku, Dila." Marwah menambahkan.
Deg.
Dila tak sanggup lagi berkata-kata mendengar pengakuan Marwah tentang perasaannya terhadap suaminya, pria yang dahulu menikahinya karena sebuah perjodohan.
Menyaksikan jarum jam yang menggantung pada dinding cafe telah menunjukkan pukul satu siang dan mereka pun sudah selesai menikmati berbagai hidangan yang dipesan, Marwah lantas mengajak Dila untuk berlalu meninggalkan cafe.
Dila menolak dengan alasan masih ingin mampir ke suatu tempat ketika Marwah menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Dila belum siap mengakui pernikahannya dengan Davin kepada sahabatnya itu, mengingat hingga detik ini sepengetahuan Marwah ia masih menjalin kasih dengan Sandi.
Di sepanjang perjalanan Dila melamun. Saking fokusnya pada lamunannya, sopir taksi perlu mengingatkan dirinya jika mereka sudah tiba di tujuan.
Setibanya di unit apartment, Dila mendapati Davin sudah berada di apartemen.
"Kamu sudah pulang, mas?." Dila sedikit terkejut mendapati Davin sudah kembali padahal waktu masih menunjukkan pukul setengah dua siang.
"Mas sengaja pulang untuk mengantarkan makan siang untukmu." Davin sengaja tidak makan siang di luar karena ingin makan siang bersama Dila di rumah, tetapi Dila justru memberi jawaban yang mampu membuat Davin menelan kecewa.
"Tadi aku sudah makan siang di luar bersama Marwah."
"Begitu ya." Meskipun sedikit kecewa namun Davin tetap bersikap seperti biasa. Bukan kecewa karena Dila sudah makan siang di luar tanpa dirinya, tapi sedikit kecewa karena Dila pergi tanpa memberitahu dirinya sebelumnya. Namun begitu, Davin masih sangat berbesar hati memaklumi sikap Dila tersebut sebab ia sudah berkomitmen untuk memaklumi sikap istrinya selagi bukan sebuah pengkhianatan.
"Kalau begitu, mas akan segera kembali ke kantor." Pamit Davin.
"Maaf..."
Deg.
"Kamu bilang apa barusan?." Davin bertanya sambil menoleh demi memastikan pendengarannya.
"Maaf karena aku pergi tanpa izin dari mas Davin." Satu tujuan dari permintaan maaf Dila, yakni tak ingin menjadi istri durhaka.
Davin melebarkan senyum sambil mengulurkan tangannya, mengusap lembut puncak kepala Dila.
"Mas maafkan.... Tapi lain kali, sebaiknya kamu mengabari mas jika ingin keluar apartemen! Sekarang kamu adalah tanggung jawab mas, jika terjadi sesuatu padamu maka kedua orang tua serta kakakmu pasti akan menganggap mas adalah suami yang tidak becus dalam menjaga istrinya." pesan Davin dengan nada lembut.
Dila pun mengangguk paham.
akibat iri,hampir hilang masa depan kan...
Davin ayo selidiki siapa yang melaporkan kalau Dila ada di dalam kamar mu??? bisa dilaporkan balik lho atas pencemaran nama baik,atau gak di kasi sanksi dikantor...
tanpa menncari fau siapa pasangan Davin
dan Dilla
tp siaapp2 yaa ujungnya kmu yg maluuu
semangaaatttt
kenapa harus tunggu konferensi pers dulu?? rasa nya untuk itu tidak di perlukan