NovelToon NovelToon
Asmara, Dibalik Kokpit

Asmara, Dibalik Kokpit

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Percintaan Konglomerat
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?

selamat membaca...semoga kalian suka yaa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7

Sendiri seperti biasanya...

Malam itu udara Jakarta terasa lembap dan berat. Lampu-lampu apartemen berkelip dari kejauhan, tapi di dalam unit milik Asmara, suasananya sunyi dan menyesakkan.

Ia menatap koper yang sudah terisi setengah, lalu menghela napas panjang. Tangannya gemetar saat menarik resleting.

"Aku nggak bisa tinggal di sini lagi. Setiap bayangan di jendela terasa seperti dia. Setiap suara lift berhenti di lantai ini, aku takut itu Devanka…" kata Asmara dalam hati.

Dengan langkah cepat, ia menyeret kopernya keluar apartemen. Suara roda koper yang beradu dengan lantai koridor menggema di antara kesunyian malam.

Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang mengikuti.

Begitu sampai di lobby, petugas keamanan yang sedang berjaga menatapnya heran.

“Mau pergi malam-malam, Mbak Mara?”

Asmara tersenyum kikuk. “Iya, saya mau pulang ke rumah orangtua sebentar. Ada urusan keluarga.”

Padahal, yang sesungguhnya — ia hanya ingin pergi dari apartement, ia takut Devanka akan nekat mendatangi lagi.

Alih-alih mengambil mobilnya di parkiran basement, Asmara malah membuka aplikasi dan memesan taksi online.

Ia tahu, ke bawah sendirian malam-malam seperti ini terlalu berisiko.

Devanka bisa saja muncul tiba-tiba seperti sebelumnya.

Beberapa menit kemudian, mobil taksi berhenti di depan lobby.

Asmara segera naik ke dalam, meletakkan kopernya di kursi belakang.

Wajahnya terlihat lelah dan tegang.

Sopir taxi menyapanya, “Mau ke mana, Mbak?”

“Ke rumah di daerah Cipete, Pak. Jalan Melati Raya nomor 12.”

“Baik.”

Mobil melaju perlahan meninggalkan gedung apartemen.

Asmara menatap keluar jendela, lampu-lampu kota berlarian di matanya. Tapi pikiran dan hatinya penuh ketakutan.

Tak butuh waktu panjang, taksi yang ditumpangi Asmara, berhenti di depan rumah berarsitektur klasik di kawasan Cipete.

Lampu teras menyala redup, menyinari halaman kecil dengan pohon kamboja di ujung pagar.

Asmara turun dari taxi, menyeret kopernya pelan. Meski udara malam lembap, tapi justru dingin menusuk tulang.

Rumah itu dulunya tempat paling aman baginya.

Tapi setelah kepergian Ibunya, entah kenapa terasa asing, seperti rumah orang lain.

Ia mengetuk pintu beberapa kali, dan tak lama kemudian terdengar suara langkah tergesa dari dalam.

Pintu terbuka. Seorang wanita berusia empat puluhan berdandan rapi berdiri di ambang.

Tatapan matanya tajam, dan bibirnya langsung melengkung sinis.

“Wah... siapa yang datang malam-malam begini? Oh, ternyata Nona Asmara.” kata Yuliana, wanita itu adalah Ibu tirinya. Yuliana menikah dengan Ayah Asmara setelah Ibunya meninggal.

“Malam, Bu....” kata Asmara pelan, berusaha sopan, meski hatinya bergetar hebat, menahan rasa sakit hatinya.

Yuliana menatap Asmara tak suka, dia bertolak pinggang dan berkata. “Jarang-jarang kamu datang ke rumah ini, ya. Tumben. Lagi butuh apa? Uang? Tempat singgah?”

Asmara menelan ludah, matanya berkaca-kaca tapi ia menahan diri.

“Aku cuma mau numpang beberapa hari. Ada sedikit masalah di apartemen.”

Yuliana tertawa kecil, tapi nadanya tajam.

“Masalah? Atau masalahnya kamu sendiri yang bikin? Aku dengar-dengar kamu sekarang sering jadi bahan gosip di bandara.”

Asmara mengerutkan kening. “Ibu tahu dari mana?”

“Ya ampun, Asmara sayang... berita seperti itu cepat menyebar. Dunia penerbangan kan kecil.”

Asmara terdiam. Setiap kata dari wanita itu seperti belati yang menusuk hatinya.

Tak lama kemudian, Pak Bram, ayah Asmara, muncul dari ruang tengah. Wajahnya sudah menua, tapi matanya masih sama, tegas, meski kini diselimuti kelelahan.

“Papa..”

“Kamu datang malam-malam begini kenapa, Mara ?”

“Aku... cuma pengen istirahat di sini beberapa hari. Aku capek banget, Pa.”

Sebelum sang ayah sempat menjawab, Yuliana langsung memotong dengan nada ketus.

“Bram, lihat sendiri kan? Anakmu cuma datang kalau lagi susah aja. Waktu lagi senang, nggak pernah ingat rumah ini.”

“Bu, aku nggak datang buat minta apa-apa…”

“Oh iya? Kalau gitu, kenapa datang tengah malam begini sambil bawa koper? kalau kamu nggak bikin masalah, aku yakin kamu nggak bakal pulang ke rumah ini, kamu pikir rumah ini hotel yang bisa untukmu sesuka hati datang dan pergi.”

Asmara menggigit bibir, menahan air mata yang mulai menggenang. Ia menatap ayahnya, berharap ada pembelaan, tapi justru lelaki itu menghela napas pelan.

“Asmara... ibumu benar. Kamu seharusnya kasih kabar dulu, jangan datang mendadak begini. Rumah ini bukan hotel.”

Ucapan itu membuat dada Asmara serasa diremas.

Ia menatap ayahnya dengan tatapan tak percaya.

“Papa juga pikir aku cuma datang kalau lagi butuh?” suara Asmara bergetar.

“Papa nggak bilang begitu, cuma... kamu tahu sendiri, hubungan kita nggak pernah mudah sejak kamu memilih pindah dan jarang pulang.”

“Aku sibuk kerja, Pa. Aku berusaha berdiri sendiri tanpa nyusahin siapa-siapa.”

“Kerja atau sibuk ngurus urusan cinta dengan suami orang di bandara, hm?” kata Yuliana menyindir.

Asmara memejamkan mata, menahan napas panjang agar air matanya tak tumpah.

Ia hanya ingin tempat aman malam ini, tapi bahkan rumah ayahnya pun menolaknya dengan dingin.

Asmara menelan ludah, matanya mulai basah. Ia menatap ayahnya terakhir kali.

“Aku pikir... rumah ini masih bisa jadi tempat pulang. Tapi ternyata, aku salah.” kata Asmara pelan.

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik, menyeret kopernya ke pintu. Roda kopernya beradu dengan lantai marmer, menimbulkan suara yang menggema di tengah keheningan yang kaku.

Di ambang pintu, ia berhenti sejenak. Hujan di luar sudah mulai deras.

Ia menatap ke dalam, ayahnya masih duduk di kursi, menunduk tanpa menatap balik.

Tak ada kata “hati-hati”, tak ada upaya menahan.

“Papa... bahkan sekarang pun, Papa tetap diam.” kata Asmara lirih.

Air matanya jatuh bersamaan dengan langkah kakinya keluar dari rumah itu.

Payung tak ia buka, biar saja hujan membasuh wajahnya yang penuh luka.

Asmara kembali memesan taxi, tak butuh waktu lama Mobil taksi berhenti di depannya, menyalakan lampu kuning.

Asmara memasukkan kopernya ke bagasi, lalu masuk ke dalam mobil. Sopir menatap lewat kaca spion, ragu ingin bertanya.

“Ke mana, Mbak?”

Asmara menatap kosong ke depan, suaranya pelan.

“Ke bandara.”

Mobil taxi pun melaju menjauh dari rumah yang dulu ia sebut tempat pulang, meninggalkan cahaya lampu teras yang perlahan memudar di balik hujan.

Sepanjang perjalanan, hujan perlahan berhenti, namun udara dingin masih menusuk tulang. Lampu jalan di area bandara hanya menyala setengah, memantulkan cahaya kuning pucat di atas aspal yang basah.

taksi yang membawa Asmara berhenti di pinggir jalan. Asmara keluar pelan, menyeret kopernya dengan langkah gontai. Sopir sempat melirik lewat kaca spion, dengan sedikit ragu sopir itu bertanya.

“Mbak yakin turun di sini? Masih agak jauh ke terminal.”

“Iya, Pak. Terima kasih...” jawab Asmara lirih.

Pintu taksi menutup, suara mesinnya menjauh, meninggalkan Asmara sendirian di pinggir jalan yang sepi.

Ia menarik napas panjang, lalu menurunkan kopernya.

Rasanya semua tenaga sudah habis, bukan karena lelah berjalan, tapi karena menahan beban yang selama ini ia pikul sendirian.

Perlahan, Asmara duduk di trotoar, lututnya ditekuk, dan kedua tangannya memeluk tubuh sendiri.

Angin malam berembus, membawa suara pesawat yang lepas landas dari kejauhan.

Matanya menatap kosong ke arah lampu-lampu landasan yang berkelap-kelip.

Hatinya terasa sesak.

“Kenapa rasanya aku selalu sendirian...” bisik Asmara pada diri sendiri.

Ia tersenyum hambar, mengusap air mata yang sudah mengering di pipinya.

“Dari kecil... Setelah Mama meninggal, aku cuma pengen disayang Papa.” suaranya bergetar.

“Waktu Papa nikah lagi, aku pikir... semuanya bakal baik-baik aja. Tapi ternyata, dengan mudah aku tersingkir di rumahku sendiri.”

Angin kembali meniup rambutnya yang mulai berantakan.

Matanya mulai basah lagi.

“Aku berjuang sendiri, kerja keras... cuma biar Papa bangga. Tapi buat apa, kalau tiap kali aku datang, aku dianggap beban?”

Ia tertunduk lama, mengusap wajahnya dengan tangan. Lampu mobil yang lewat hanya sebentar menyinari tubuhnya yang duduk sendirian di bawah trotoar itu.

Siluetnya tampak rapuh, seperti seseorang yang baru saja kehilangan arah.

Ia menatap koper di sampingnya, satu-satunya “rumah” yang kini ia punya.

Di dalamnya ada seragam pramugari, sepatu, dan beberapa foto lama bersama ayahnya sebelum semua berubah.

“Kalau bukan karena pekerjaan ini... mungkin aku udah nggak tahu lagi harus kemana.”

Suara pengumuman dari kejauhan terdengar samar , pesawat baru saja mendarat.

Asmara menarik napas dalam-dalam, menatap langit malam yang gelap tanpa bintang.

“Sendiri lagi... kayak biasanya.”

Ia memeluk lututnya lebih erat, membiarkan waktu berjalan tanpa tahu harus ke mana.

Hanya suara mesin pesawat dan desir angin yang menemaninya malam itu.

...✈️...

...✈️...

...✈️...

^^^Bersambung^^^

1
Siti Naimah
pikirkan baik2 Asmara.. kesempatan gak datang duakali
Siti Naimah
jadi ruwet gitu ya...perkara yang dihadapi asmara? padahal dia gak salah apa2...ini semua ulah devanka
mantan kekasihnya yg masih Ter obsesi sama Asmara
Siti Naimah
bagus..asmara punya prinsip hidup yg kuat.berusaha untuk tidak mengulang kepahitan yang sama
Siti Naimah
menyimak dulu...kelihatannya bakal seru nih
Marini Suhendar
❤❤❤...lanjut thor
Nursina
semangat lanjutkan👍
Nursina
semangat lanjutkan
Mericy Setyaningrum
wah Dubai Im in love
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!