Xander tubuh dengan dendam setelah kematian ibunya yang di sebabkan kelalain sang penguasa. Diam-diam ia bertekat untuk menuntut balas, sekaligus melindungi kaum bawah untuk di tindas. Di balik sikap tenangnya, Xander menjalani kehidupan ganda: menjadi penolong bagi mereka yang lemah, sekaligus menyusun langkah untuk menjatuhkan sang penguasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misteri di Dream Hospital
Di depan cermin, Xander menatap dirinya sendiri. Pakaian serba hitam menutupi tubuhnya, topi dan masker menutupi sebagian wajahnya. Malam ini, tekadnya bulat–ia harus mencari keberadaan tentang kematian perawat yang ia lihat di rumah sakit. Namanya Bela Ayu Natasya. Entah kenapa, ada dorongan kuat di hatinya untuk mengungkap misteri yang menyelimuti kasus itu.
Ia melirik jam dinding. Sudah menunjuk pukul dua belas malam. Saatnya bergerak.
Dengan motor sportnya, Xander meluncur menembus malam menuju Dream Hospital. Angin malam mengibas topi dan rambutnya, tapi ia tetap fokus pada tujuannya. Sesampainya di lokasi, ia menghentikan motor agak jauh dari gedung rumah sakit, memilih titik aman untuk mengamati tanpa menarik perhatian.
Ia berjalan pelan, menyelinap menuju gedung di mana Bela pernah bekerja. Saat hendak memasuki gudang tua di sisi rumah sakit, langkahnya terhenti. Seorang perawat dan dokter terlihat berjalan cepat arah ke gudang. Instingnya menyuruh Xander untuk bersembunyi. Ia menempel di balik dinding, menahan napas, mendengarkan percakapan mereka dengan seksama.
"Bagaimana? Obat-obatan itu sudah terkirim?'' tanya Dokter itu tergesa-gesa.
"Iya, dok. Semua sudah aman," jawab Perawat dengan suara rendah namun tegas.
"Bagus. Untung Bela meninggal lebih dulu. Kalau tidak, sumber penghasilan kita bakal hilang," ujar Dokter itu, nada suaranya dingin.
"Iya, Dok. Wartawan juga sudah disuap oleh Dokter Andre. Mereka tidak banyak bertanya," sahut perawat itu.
Xander menelan ludah. Semuanya sesuai firasatnya–ada sesuatu yang sangat salah dengan kematian Bela. Obat-obatan? Dokter Andre? Kata-kata mereka menimbulkan rasa dingin di tulang punggungnya.
Tanpa menunggu lebih lama, Xander mundur perlahan, meninggalkan tempat itu. Malam ini sudah cukup untuk mendapatkan petunjuk pertama. Tapi satu hal pasti: ia tidak akan berhenti sampai kebenaran terungkap.
•●•
"Xander..."
"Xander!"
Xander tersentak, menoleh. Pak ronald menatapnya dengan tajam, nada suaranya dingin dan sedikit kesal.
"Jelaskan nomor dua beserta contohnya," ucap Pak Ronald, menuntut jawab.
Xander terdiam sejenak, menatap papan tulis, kemudian mulai menjelaskan jawaban yang ia punya. Kata-kata lantang, tapi pikirannya masih melayang memikirkan kasus yang menarik perhatiannya.
"Bagus. Lain kali jangan menghayal di kelas lagi. Ini peringatan pertama dan terakhir buat kamu," ucap Pak Renald tegas.
"Iya, pak. Maaf," jawab Xander, menundukan kepala, berusaha fokus pada pelajaran tanpa memikirkan kasus malam selanjutnya.
Bel tanda istirahat akhirnya berbunyi. Para murid segera merapikan buku mereka, sementara guru pamit meninggalkan kelas.
"Xander, kenapa lo gak fokus sih?" tanya Vano menghampiri.
"Iya, tumben amat," tambah Arkan dengan nada bercanda.
"Gue ngantuk aja," jawab Xander singkat, lalu beranjak dari bangkunya diikuti kedua sahabatnya menuju kantin.
Di kantin, suasana ramai seperti biasa. Xander, Vano, dan Arkan mengambil tempat favorite mereka, memesan makanan, dan mulai menikmati santapan.
"Geys, lo liat berita semalam nggak?" tanya Vano, sambil mengunyah, seolah tak bisa melewatkan topik menarik saat makan.
"Berita apaan? Kayaknya lo suka banget nonton berita, deh," sahut Arkan, menahan tawa sambil menatap Vano.
"Ah, sebenarnya gue malas nonton berita... tapi yang di Tv itu tetangga gue," jawab Vano serius.
"Eh, tetangga lo kenapa?" tanya Xander penasaran.
"Dia seorang perawat. Meninggal di gudang rumah sakit," jelas Vano, nada suaranya menurun.
Xander menatap serius, menahan reaksi.
"Kasihan banget tetangga gue itu... dia tulang punggung keluarga lagi," lanjut Vano, lirih.
"Tunggu dulu... Bukan yang kerja di Dream Hospital itu, kan? Gue juga dengar sedikit-sedikit beritanya," sahut Arkan, menunduk sambil makan.
"Iya... yang namanya Bela Ayu Natasya. Dia tetangga gue," ujar Vano.
"Dia tetangga lo?" tanya Xander, matanya melebar.
"Iya Xan. Dia baik banget, ramah pula. Tinggal sama kedua orang tuanya, dan dia tulang punggung keluarga," jelas Vano.
Xander terdiam, ingat tatapan kosong suster Bela dan percakapan mencurigakan yang ia dengar semalam di rumah sakit. Suasana seketika menjadi tegang.
"Geys... gue rasa, mbak Bela itu dibunuh deh," bisik Vano pelan, menatap Xander takut terdengar orang lain.
"Dibunuh...?" bisik Arkan.
"Iya... coba bayangin. Mbak bela ditemukan di gudang, katanya pingsan, tapi gue lihat sendiri ada bekas cekikikan di lehernya. Gue nggak berani ngomong apa-apa waktu itu," jelas Vano, wajahnya pucat.
"Serius lo liat sendiri?" tanya Arkan, menahan kaget.
"Iya, Ar. Gue lihat sendiri," jawab Vano mantap.
"Apa tim forensik dan detektif nggak menindaki lanjuti kasus ini?" tanya Arkan, ragu.
Xander tetap diam. Matanya menatap jauh ke luar jendela kantin, pikirannya sibuk mengurai kejadian malam itu. Satu hal jelas di benaknya: ada sesuatu yang salah dengan kematian bela, dan ia bertekad untuk mengungkapkan kebenaran itu sendiri.
Ia mengepalkan tangan di bawah meja, sorot matanya membara meski suaranya tetap pelan. "Kalau ini memang pembunuhan... gua nggak akan berhenti sampai kebenaran kebongkar."