Kecelakaan yang merenggut istrinya menjadikan Arkana Hendrawan Kusuma tenggelam dalam perasaan kehilangan. Cinta yang besar membuat Arkan tak bisa menghilangkan Charissa Anindya—istrinya—dari hidupnya. Sebagian jiwanya terkubur bersama Charissa, dan sisanya ia jalani untuk putranya, Kean—pria kecil yang Charissa tinggalkan untuk menemaninya.
Dalam larut kenangan yang tak berkesudahan tentang Charissa selama bertahun-tahun, Arkan malah dipertemukan oleh takdir dengan seorang wanita bernama Anin, wanita yang memiliki paras menyerupai Charissa.
Rasa penasaran membawa Arkan menyelidiki Anin. Sebuah kenyataan mengejutkan terkuak. Anin dan Charissa adalah orang yang sama. Arkan bertekad membawa kembali Charissa ke dalam kehidupannya dan Kean. Namun, apakah Arkan mampu saat Charissa sedang dalam keadaan kehilangan semua memori tentang keluarga mereka?
Akankah Arkan berhasil membawa Anin masuk ke kehidupannya untuk kedua kalinya? Semua akan terjawab di novel Bring You Back.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aquilaliza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Minta Maaf
.... ...
.... ...
.... ...
Arkan kembali ke kamarnya usai menemani Kean tertidur. Ia duduk tenang di sofa kamarnya sambil menatap foto mendiang istrinya. Tatapannya lekat, penuh kelembutan, kasih sayang, juga kerinduan yang sangat besar.
"Charissa," gumamnya pelan sambil mengusap foto sang istri menggunakan ibu jarinya.
"Kau tahu, sekretaris baru ku itu sangat mirip denganmu."
Arkan terkekeh pelan. "Mungkin kau sudah bosan mendengar aku mengatakan itu. Atau mungkin kau cemburu karena akhir-akhir ini aku sering mengatakan itu."
Arkan menarik nafas kemudian menghembuskan nya sedikit kasar. "Aku minta maaf. Tapi, aku mengatakan yang sebenarnya. Kemiripan kalian bukan hanya sekedar dari segi nama dan wajah. Kau tahu, kalian memiliki iris mata yang sama. Kalian juga sama-sama tidak suka tomat, sama seperti putra kita, Kean."
Arkan menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa lalu membawa foto tersebut dalam dekapannya. Dia sangat merindukan istrinya.
***
Pagi sekali Arkan sudah dihadapkan oleh kemarahan sang Ibu. Wanita itu datang pagi-pagi ke rumahnya usai mendapat laporan dari Vanesha semalam. Vanesha mengadu tentang dirinya yang sudah menurunkannya di jalanan pada sang Ibu.
"Ibu tidak menyangka Arkan, kau bisa melakukan itu pada seorang wanita lembut seperti Vanesha." Monic menatap Arkan dengan tatapan kecewa. Dia tak menyangka putranya bisa setega itu menurunkan Vanesha di jalanan.
"Apa yang dia katakan pada Ibu?" Arkan bertanya dengan tenang.
Bu Monic menarik nafasnya dan menghembuskannya. Ia mencoba menenangkan hatinya agar tidak terbawa emosi dan marah-marah berlebihan di depan Arkan. Bisa saja Arkan tak mau mendengarkannya lagi.
"Dia datang ke rumah semalam. Dia menceritakan pada Ibu kalau kau memarahinya dan menurunkannya di jalanan. Kau juga tidak suka dia ikut mengantar Kean ke sekolah."
Arkan berdecak pelan mendengar nya. Vanesha memang sangat licik. Dia tahu kemana dia harus mencari perlindungan.
"Arkan, Papa juga mendengar setiap keluhan Vanesha semalam. Papa tidak suka kau bersikap seperti itu. Walaupun tidak suka pada Vanesha, setidaknya jangan turunkan dia di jalanan. Apalagi banyak orang yang melihat kejadian itu. Dia pastinya sangat malu." Bu Monic menjelaskan.
Arkan diam. Papa nya tidak pernah ikut campur urusan kehidupannya kecuali beberapa hal tentang bisnis. Semuanya pria itu serahkan padanya. Jika kali ini Papanya juga mengatakan hal tersebut, mungkin dia sudah melewati batas. Dan dia harus berbesar hati untuk meminta maaf.
"Arkan, Vanesha putri dari teman Mama, teman mendiang Mama mu juga. Kami sudah sangat lama menjalin hubungan pertemanan kami. Jangan sampai karena hal ini, semuanya menjadi rusak."
"Arkan minta maaf, Ma."
"Bukan pada Mama. Katakan itu pada Vanesha, Nak. Kau mau kan meminta maaf pada Vanesha?"
Arka sejenak terdiam sebelum akhirnya berdehem pelan. Membuat segaris senyum tipis terukir di bibir Monic.
Pembicaraan tentang Vanesha itu berakhir dengan deheman persetujuan dari Arkan. Ibu dan anak itu lanjut sarapan bersama dengan Kean yang baru selesai bersiap-siap. Anak itu sangat bersemangat melihat sang Nenek, apalagi tanpa ada bayang-bayang Vanesha yang biasa mengikuti Neneknya kamana-mana.
"Nenek, bagaimana keadaan Kakek? Kean belum ketemu Kakek sudah hampir ... berapa lama ya, Pa?" Anak itu menatap sang Papa. Dia lupa, sudah berapa lama ia belum bertemu Kakeknya?
"Tiga minggu."
"Ya, tiga minggu," sahut anak itu sambil menunjukkan tiga jari ke arah Monic. Wanita itu terkekeh pelan. Cucunya sangat menggemaskan.
"Sabar ya, cucu Nenek. Nanti Nenek sampaikan pada Kakek, ya?"
Kean mengangguk-anggukkan kepala, lalu menyuapkan sesuap makanan ke mulutnya. Dia berharap, semoga saja Kakeknya nanti ikut berkunjung, dan mereka bisa bermain bersama.
Selesai sarapan, Arkan langsung mengantarkan Kean ke sekolah, sementara Monic kembali ke kediamannya. Dalam perjalanan, Kean tak bisa berhenti bertanya saat melihat Papanya mengerjakan sesuatu melalui iPad. Terkadang, dia bertanya random pada supir yang membuat pria paruh baya itu cukup bingung menjawab.
"Kean ke kelas dulu ya, Papa," pamitnya pada Arkan saat lelaki itu mengantar ke depan gerbang sekolah taman kanak-kanak nya.
Arkan yang tengah berjongkok agar menyamakan tinggi mereka pun mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Tangannya mengusap-usap lembut puncak kepala sang putra. "Ingat pesan Papa?"
"Ingat, Pa."
"Apa?"
"Lawan saat ditindas, saling membantu teman, gunakan nama Papa atau Kakek saat Kean benar-benar terdesak."
Arkan tersenyum. "Good. Sana masuk."
"Oke, Papa." Anak itu mengecup singkat pipi Papanya lalu berlari kecil ke menuju kelas.
Saat tubuh mungil Kean menghilang dari pandangannya, Arkan berbalik ke mobil dengan tatapan dingin tanpa senyum di bibir.
"Ke C restoran."
"Baik, Tuan." Supir yang selalu disapa Pak Mat itu langsung mengarahkan mobil ke tempat yang dimaksud Arkan.
Sementara itu, di HK Group, Anin sudah menunggu kehadiran Arkan untuk memberikan beberapa dokumen yang dititipkan padanya. Sesekali perempuan itu melihat jam, cukup merasa heran karena Arkan terlambat hari ini.
"Sudah lah. Pak Arkan itu pemilik perusahaan ini. Dia datang cepat atau terlambat, itu hak dia. Sekarang, lakukan saja pekerjaan mu." Anin bergumam sendiri, lalu kembali fokus mengerjakan pekerjaannya.
Di lain tempat, Arkan berjalan tenang memasuki restoran yang ia minta Pak Mat antarkan. Vanesha yang sudah menunggu langsung menyambut dengan senyum lebar. Namun, Arkan tak sedikitpun membalas senyumannya. Pria itu hanya menatapnya dingin.
"Aku senang kau ajak bertemu. Ingin makan apa? Mau aku—"
"Tidak perlu. Aku mengajakmu bertemu karena ingin minta maaf. Maaf sudah menurunkan mu di jalanan."
Vanesha tersenyum manis. Tangannya terulur hendak menyentuh tangan Arkan, namun Arkan dengan cepat menghindarinya.
"Jangan menyentuh sembarangan," ucap Arkan dingin.
"Maaf." Lagi Vanesha tersenyum. "Untuk permintaan maaf mu, aku belum bisa menerimanya."
Arkan tersenyum miring. Ia tahu, kemana arah pembicaraan akan dibawa Vanesha. Meski begitu, ia tak lekas pergi meninggalkan Vanesha. Ia ingin lihat, sejauh mana Vanesha ingin bermain-main.
"Kau harus melakukan sesuatu agar aku tahu, permintaan maaf mu sungguh-sungguh." Arkan tetap tenang mendengarkan Vanesha. "Temani aku seharian ini. Aku mau kita menghabiskan waktu bersama tanpa ada yang mengganggu."
Arkan terkekeh, jenis kekehan yang begitu merendahkan sosok wanita di hadapannya saat ini. "Kau tahu? Aku tidak peduli kau menerimanya atau tidak. Itu tidak penting."
Arkan beranjak meninggalkan Vanesha yang hanya bisa terdiam dengan perasaan kesal dan marah. Arkan benar-benar pria dingin yang tak memiliki hati. Tapi ia yakin, suatu saat dia pasti bisa mendapatkan Arkan.
***
Kedatangan Arkan di perusahaan langsung disambut oleh Anin dengan sapaan lembut dan senyuman tipis manis, yang membuat Arkan merasa tenang. Dia hampir saja tersenyum saat membalas sapaan sekretaris nya tersebut, sesuatu yang belum sama sekali dilakukan seorang Arkana Hendrawan Kusuma selama ini.
"Dan terakhir, Anda ada janji temu bersama klien dari Jepang di hotel Permata pukul 04.00."
Anin mengangkat wajahnya usai membacakan jadwal Arkan hari ini. Seketika matanya bertemu dengan tatap Arkan yang sejak tadi fokus menatapnya. Anin lah yang pertama kali memutuskan kontak mata tersebut, hingga menyadarkan Arkan untuk ikut mengalihkan fokusnya ke objek lain.
"Berkas-berkas ini, kau sudah memeriksa semuanya?" tanya Arkan memecah kecanggungan.
"Sudah, Pak."
Arkan mengangguk pelan selagi sibuk membubuhkan tanda tangan di berkas yang Anin berikan. "Selesai," ujarnya usai memberikan tanda tangan. Arkan menutup kembali dokumen terakhir lalu memberikannya pada Anin. "Kau bisa keluar."
"Baik, Pak. Saya permisi." Anin berbalik setelah mendapat anggukkan Arkan.
Dan belum sempat langkah Anin mencapai pintu, suara Arkan menghentikannya. "Tunggu, Anin." Perempuan itu langsung menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Tolong buatkan saya kopi."
"Baik, Pak." Sahut Anin lalu kembali berpamitan. Dan saat itu Anin bisa merasakan sepasang mata intens menatap punggung nya, membuatnya semakin mempercepat langkahnya.
.... ...
.... ...
.... ...