Lima tahun pernikahan Bella dan Ryan belum juga dikaruniai anak, membuat rumah tangga mereka diambang perceraian. Setelah gagal beberapa kali diam-diam Bella mengikuti proses kehamilan lewat insenminasi, dengan dokter sahabatnya.
Usaha Bella berhasil. Bella positif hamil. Tapi sang dokter meminta janin itu digugurkan. Bella menolak. dia ingin membuktikan pada suami dan mertuanya bahwa dia tidak mandul..
Namun, janin di dalam perut Bella adalah milik seorang Ceo dingin yang memutuskan memiliki anak tanpa pernikahan. Dia mengontrak rahim perempuan untuk melahirkan anaknya. Tapi, karena kelalaian Dokter Sherly, benih itu tertukar.
Bagaimanakah Bella mengahadapi masalah dalam rumah tangganya. Mana yang dipilihnya, bayi dalam kandungannnya atau rumah tangganya. Yuk! beri dukungungan pada penulis, untuk tetap berkarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tujuh. Bertemu Kakek.
"Kakek!" seru Bella kaget begitu melihat Pak Bonar. Bella tidak menyangka akan bertemu Pak Bonar di rumah kakek Gavin. Pàk Bonar bukanlah orang asing bagi Bella.
Beliau adalah salah satu donatur di panti asuhan tempat tinggalnya dulu sebelum menikah. Pak Bonar sangat royal memberi bantuan sumbangan ke panti asuhan bahkan menjadi donatur tetap.
Awal pertemuan mereka, saat Bella tidak sengaja bertemu Pak Bonar di sebuah kafe. Bella bekerja paruh waktu di kafe itu. Sementara Pak Bonar sedang makan siang bersama rekanan bisnisnya.
Pak Bonar tersedak kala itu dan teman yang bersamanya makan panik dan tidak tau mau berbuat apa. Kebetulan Bella yang meladeni mereka. Dengan sigap Bella menolong Pak Bonar dengan menepuk punggungnya beberapa kali. Sehingga makanan itu keluar.
Pak Bonar sangat berterima kasih atas pertolongan Bella. Setelah banyak bertanya-tanya, sejak kejadian itu Pak Bonar menjadi salah satu donatur di panti asuhan tempat Bella.
Enam tahun yang lalu Bella memutuskan meninggalkan panti asuhan. Dan sejak itu Bella tidak pernah lagi bertemu Pak Bonar.
"Kamu siapa?" Pak Bonar mengernyitkan matanya mencoba mengingat siapa wanita di depannya.
"Kakek sudah lupa samaku ya. Aku Bella yang menolong kakek saat tersedak di sebuah kafe dulu. Trus kakek sering datang ke Panti Asuhan Asih, ingat tidak, Kek?" seru Bella mengingatkan.
Gavin dan Martin saling berpandangan. Tidak menduga kalau kakeknya kenal dengan Bella di masa lalu.
"Oh, Bella, itu ya. Iya, iya kakek sudah ingat!" seru Pak Bonar saat ingatannya sudah pulih. Bella menyalami Pak Bonar dengan hormat.
"Apa kabarmu Bella. Sudah lama sekali kakek tidak bertemu kamu."
"Iya Kek, sejak Bella me ...." Bella tidak melanjutkan kalimatnya ketika dia tiba-tiba tersadar apa tujuannya datang ke rumah ini.
"Kata Ibu Nisa, kamu keluar dari panti untuk mencari pekerjaan."
"I-iya Kek!" sahut Bella gugup. Setahun pergi dari panti Bella memutuskan menikah dengan Ryan.
"Hem ...." Gavin berdehem untuk menolong Bella yang kehilangan kata. Sekaligus protes karena kakeknya mengabaikannya sejak datang.
Perhatian Pak Bonar teralih, sadar telah mengabaikan cucunya sendiri. Mata tua itu menyipit melihat ke arah Gavin.
"Katanya kamu mau mengenalkan tunanganmu sama Opung. Mana dia?" Pak Bonar menyapu sekeliling dengan pandangannya, mencari sosok lain.
"Dia sudah berbincang dengan Opung sejak sepuluh menit yang lalu. Sahut Gavin cuek, lantas duduk di sofa dengan acuh. Kedua belah mata Martin melotot. Sepertinya bosnya lupa dengan skenario yang telah mereka susun. Gavin melihat kedipan mata Martin, tapi tidak faham sama sekali.
"Bella tunangan kamu! Begini ya caramu memperlakukannya!" bentak Pak Bonar melihat sikap dingin Gavin. Dilemparnya Gavin dengan pipa rokok yang selalu nangkring di sudut bibirnya.
Seketika Gavin tersadar dengan sandiwara yang tengah mereka mainkan. Serta merta dia bangkit, memungut pipa rokok yang dilemparkan kakeknya.
"Bukan salah aku Opung. Sedari tadi Opung yang ambil alih kemudi," sindirnya. Lalu menyerahkan pipa rokok kakeknya. Lantas berdiri di belakang Bella.
Menyentuh lembut bahunya, dan tersenyum manis pada Bella. Hampir saja Martin terbahak, karena ulah Gavin. Sang kakek malah melirik tajam, tidak percaya ketulusan Gavin.
"Kalian kenal dimana?" sergah Pak Bonar curiga. Hidungnya mengendus kalau cucunya tengah bermain peran. Sikap Gavin terlalu dibuat-buat. Meski dalam hatinya dia senang bertemu Bella, tapi untuk mempercayai kalau mereka bertunangan. Tunggu dulu! Sepertinya Bella bukan tipe Gavin.
Dulu Pak Bonar pernah punya ide, mengenalkan Bella pada cucunya. Namun, karena kala itu Gavin dekat dengan Soraya dan pada akhirnya meninggalkannya di altar, membuat Pak Bonar mengurungkan niatnya.
Entah bagaimana sekarang mereka dipertemukan di belakangnya. Apakah semesta merestui mereka untuk berjodoh. Tapi, kenapa dirinya mengendus ada yang tidak beres di antara mereka?
"Kami bertemu di rumah sakit Opung." sahut Gavin jujur. Yah, memang di rumah sakit lah pertemuan pertama keduanya. Tepatnya di ruang praktek Dokter Sherly.
"Sudah berapa lama?" sorot mata Pak Bonar semakin liar menyorot. Membuat Gavin yang tidak terbiasa berbohong pada kakeknya merasa gugup.
"Tiga ha ..."
"Tiga bulan yang lalu kakek!" jawab Bella tersenyum lembut. Gavin menarik nafas lega atas jawaban Bella.
"Sudah tiga bulan kamu kenal dia. Dan baru kali ini kamu kenalkan sama Opung!" lagi-lagi Pak Bonar melempar pipa rokoknya pada Gavin. Bella tersentak kaget, begitu juga Gavin dan Martin.
"Maaf Opung, selama ini mereka LDR an, baru beberapa hari ini, Non Bella kembali ke kota ini." timpal Martin meluruskan suasana.
"Iya, Kek, Bella berada di luar kota. Dan kami berdua terlalu sibuk, baru beberapa hari ini kami bertemu." Gavin menyakinkan kakeknya.
"Hem," dengus Pak Bonar terdiam. Tidak ingin merubah suasana di antara mereka.
Tiba-tiba terdengar deru suara mobil di luar.
"Itu pasti bibimu, Vin." ucap Pak Bonar.
"Bibi mau kemari, ngapain " keluh Gavin enggan. Sepertinya Gavin enggan bersua dengan bibinya, saudara perempuan almarhum Papanya.
Gavin tidak rukun dengan bibinya, karena beberapa kali mereka bentrok masalah warisan kakeknya yang selalu ingin dikuasai sang bibi.
"Hallo Papa!" tanpa mengucap salam Hilda menerobos langsung menemui papanya
"Eh, ada Gavin. Tumben lagi di rumah kakek." lirik Hilda acuh. Dibelakang Hilda mengekor seorang gadis, yang membuat sepasang mata Gavin, Martin, terlebih Pak Bonar, mau terloncat keluar.
Soraya!
Yah, Hilda datang bersama Soraya ke rumah kakeknya. 'Sejak kapan dia ada di kota ini.' gerutu hati Gavin geram, dan berani-beraninya muncul di rumah kakeknya.
Gavin lantas berdiri. "Mau apa kamu kemari!" sebutnya tajam. Senyum Soraya yang tadinya sempat mengembang lantas menghilang begitu saja, mendengar suara dingin Gavin.
"Gavin, jaga bicaramu. Dia tamu bibi." ucap Hilda mencoba meredam emosi Gavin. Dan Hilda tersadar kalau ada seseorang duduk di dekat Gavin.
"Siapa gadis itu, pacar barumu kah?" ucap Hilda mengejek.
"Dia Bella, tunangan Gavin!" sahut Pak Bonar.
"Tunangan, hah!" kekeh Hilda seraya menutup mulutnya yang terbuka lebar, mengejek Gavin. "mencair juga hatimu pada akhirnya, apakah ini karena ancaman kakek. Kalau kamu tidak akan dapat warisan kalau tidak memiliki keturunan?"
"Jaga mulutmu, Hilda!" teriak Pak Bonar kalap mendengar cercaan putrinya pada Gavin, keponakannya. Memancing emosi Gavin saja.
Sementara, Soraya kaget karena Gavin mantannya sudah memiliki tunangan. Padahal setaunya Gavin tidak pernah menggelar pertunangan. Apakah mereka diam-diam melakukannya.
Soraya melirik jari manis Gavin dan Bella. Sama sekali tidak ada apa-apa terlilit di jemari itu, layaknya orang yang sudah bertunangan.
Gavin mengerti tatapan yang dilontarkan Soraya. Tapi dia tetap tenang saja. Meski dia sangat menyesali keteledorannya. Kenapa dia sampai lupa mengenakan cincin di jarinya sebagai lambang pertunangan mereka.
"Hem, katanya bertunangan, kok gak mengundang Bibi. Trus, apa kamu tidak sanggup membeli sepasang cincin, untuk pertunangan kamu?" sindir Hilda.***