Jenia adalah seorang gadis dari keluarga sederhana yang pintar, ceria, sangat cantik dan menggemaskan. namun tiada satupun pria yang dekat dengannya karena status sosialnya di yang di anggap tidak setara dengan mereka. namun selama 6 tahun lamanya dia sangat menyimpan rasa suka yang dalam terhadap seorang pria yang tampan, kaya raya dan mapan sejak mereka duduk di bangku kuliah.. akankah ia akan mendapatkan pria pujaannya itu?? kita akan mengetahuinya setelah membaca novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nildy Santos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 7
Hari itu kantor begitu sibuk. Divisi Kreatif sedang dikejar deadline untuk membuat konsep kampanye besar klien baru. Jenia sibuk memeriksa presentasi rekan setimnya, matanya fokus pada layar laptop, seakan dunia di sekitarnya menghilang.
Tanpa disadari, dari lantai berbeda, seseorang diam-diam menatap daftar absensi digital karyawan. Bastian.
Ia menelusuri daftar itu, matanya langsung menemukan nama yang ia cari: “Jenia Prameswari – Divisi Kreatif & Pengembangan”.
Entah mengapa dadanya terasa lega.
Di sela rapat dengan manajer, pikirannya melayang. Biasanya, ketika ia pulang kerja, ada suara lembut Jenia yang mengetuk pintu ruangannya dengan laporan harian. Biasanya, ada senyuman canggung Jenia setiap kali ia salah menyebut nama file. Kini, semua itu hilang.
Sore itu, Bastian sengaja turun ke lantai divisi kreatif dengan alasan ingin mengecek progress kampanye. Beberapa staf tampak kaget dengan kedatangan langsung atasan besar itu.
“Pak Bastian… ini kejutan, biasanya kan melalui supervisor,” ucap salah satu staf.
“Ya, saya hanya ingin memastikan,” jawabnya singkat.
Saat itu, matanya langsung tertuju pada Jenia yang sedang menjelaskan desain konsep kepada rekan timnya. Ia terlihat berbeda lebih percaya diri, lebih hidup.
Untuk sesaat, Bastian hanya berdiri mematung, memperhatikan bagaimana Jenia tertawa kecil saat berdiskusi, atau bagaimana matanya berbinar saat mengutarakan ide.
Ada sesuatu yang mengganggu hatinya.
Setelah pertemuan singkat, Bastian keluar ruangan. Rehan yang kebetulan baru datang dari pantry melihat sahabatnya itu.
“Bas… tumben kamu di sini?” tanyanya sambil mengerutkan dahi.
“Cuma ngecek pekerjaan,” jawab Bastian datar.
Rehan menatapnya penuh arti, lalu sekilas melirik ke arah ruangan tempat Jenia berada.
“Kamu yakin cuma itu alasannya?”
Bastian terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangan.
“Ya. Kenapa memangnya?”
Rehan hanya tersenyum tipis. Ia tahu, sahabatnya itu mulai merasakan sesuatu yang tak ingin ia akui.
Di meja kerjanya, Jenia sebenarnya sadar kalau sejak tadi seseorang memperhatikannya. Dan ia tahu persis siapa itu. Namun ia memilih pura-pura tidak peduli. Kata-kata Bastian dulu“Jenia tidak level denganku”masih terngiang jelas di telinganya.
Ia menegakkan punggung, menarik napas dalam, lalu kembali fokus.
“Cukup. Aku nggak boleh goyah lagi,” batinnya.
Hari itu, ruang kerja divisi kreatif terasa lebih riuh dari biasanya. Kepala divisi, Pak Adrian, baru saja menerima telepon penting dari seorang klien besar yang meminta presentasi langsung sore ini. Semua tim sibuk, sementara Adrian butuh seseorang yang bisa menemaninya sekaligus membantu menyiapkan dokumen tambahan.
“Jenia,” panggil Adrian sambil mendekat ke meja Jenia.
“Ya, Pak?” Jenia menoleh, sedikit gugup karena jarang dipanggil langsung.
“Aku butuh kamu mendampingi aku sore ini. Kamu yang paling paham detail kampanye kita. Bisa, kan?”
Jenia mengangguk cepat, walau hatinya berdegup kencang.
“Bisa, Pak. Saya siap.”
Sore itu, mereka berangkat bersama ke sebuah restoran elegan tempat klien menunggu. Adrian tampak ramah, sesekali melempar candaan ringan yang membuat Jenia bisa tertawa lepas. Ia merasa dihargai, bukan sekadar staf junior.
Yang tidak ia tahu, di kejauhan ada sepasang mata yang memperhatikan. Rehan.
Rehan baru saja keluar dari ruang rapat ketika tanpa sengaja melihat Jenia berjalan di samping Adrian. Ia berhenti, menatap punggung mereka berdua yang perlahan menjauh. Ada sesuatu di dadanya yang menyesak.
“Kenapa harus sama dia?” gumamnya lirih.
Sepulang dari pertemuan, Adrian dengan antusias menceritakan bagaimana klien terkesan dengan kerja sama tim kreatif. “Kamu hebat, Jen. Kalau nggak ada kamu, mungkin presentasi tadi nggak akan berjalan semulus itu.”
Pujian itu membuat pipi Jenia sedikit memanas.
“Ah, saya hanya membantu sedikit, Pak…”
Namun saat mereka kembali ke kantor, langkah Jenia tertahan. Di depan lobi, Rehan sudah berdiri dengan wajah yang sulit dibaca.
“Rehan? Kamu kok di sini?” tanya Jenia heran.
Rehan menatap Adrian sekilas, lalu kembali menatap Jenia.
“Aku cuma kebetulan lewat,” ucapnya singkat.
Jenia tidak menyadari nada dingin di balik kata-kata itu. Tapi Adrian yang cukup peka bisa merasakannya. Ia tersenyum kecil, lalu menepuk bahu Jenia.
“Oke, aku duluan ya. Besok kita lanjut bahas revisi.”
Saat Adrian pergi, keheningan tercipta. Rehan menatap Jenia dengan mata yang penuh pertanyaan.
“Kamu sekarang sering bareng sama Pak Adrian, ya?” suaranya datar.
Jenia sedikit terkejut dengan pertanyaan itu.
“Ehm… cuma kerja kok, Re. Nggak ada yang lain.”
Rehan menunduk sejenak, mencoba menyembunyikan rasa cemburu yang menggelayut di dadanya. Ia ingin berkata lebih, tapi menahan diri.
Sementara itu, tanpa mereka sadari, dari lantai atas kaca gedung… Bastian berdiri diam, menatap pemandangan di bawah.
Ia melihat bagaimana Rehan dan Jenia berbicara dekat di lobi, dan ada rasa tak nyaman yang menusuk hatinya.
Setelah berminggu-minggu tenggelam dalam pekerjaan, Jenia akhirnya mengajukan cuti. Ia mengetuk pintu ruang HRD untuk menyerahkan surat cutinya.
“Cuti seminggu? Wah, acara apa, Jen?” tanya salah satu staf HRD ramah.
“Kakak laki-laki saya mau menikah, Mbak. Jadi saya harus pulang ke kampung untuk bantu persiapan,” jawab Jenia dengan senyum tipis.
Begitu izin disetujui, hatinya terasa lega. Ia butuh jeda dari hiruk pikuk kota… dan dari segala perasaan rumit terhadap Bastian maupun Rehan.
Hari keberangkatan pun tiba. Kereta membawa Jenia jauh ke arah selatan, melewati hamparan sawah hijau dan perbukitan yang membuat hatinya damai. Begitu turun di stasiun kecil, udara desa yang sejuk langsung menyapa.
Di rumah, suasana penuh kebahagiaan. Keluarga sibuk menyiapkan pesta pernikahan kakaknya. Tawa dan canda memenuhi halaman. Jenia ikut membantu, mengenakan daster sederhana, rambutnya diikat asal-asalan, tapi tetap terlihat cantik alami.
Saat sedang mengangkat tumpukan piring ke dapur, tiba-tiba suara berat menyapanya.
“Masih suka sibuk sendiri kayak dulu, ya?”
Jenia spontan menoleh. Tubuhnya langsung menegang.
Di hadapannya berdiri seorang pria tinggi, berwajah tegas, dengan senyum yang begitu familiar namun terasa lebih matang sekarang. Jas kasual melekat rapi, jam tangan mahal melingkar di pergelangan tangannya.
“Raka…?” suara Jenia hampir berbisik.
Pria itu terkekeh.
“Akhirnya masih inget juga. Masa kecilku, si gadis tomboy yang selalu rebutan layangan sama aku.”
Jenia membeku. Ingatannya melayang ke masa SD dan SMP, ketika ia dan Raka selalu bersama. Mereka dulu saling menyukai, bahkan pernah berjanji polos di bawah pohon mangga: “Kalau besar nanti, kita nggak boleh lupa satu sama lain.”
Dan kini, Raka benar-benar berdiri di hadapannya. Lebih dewasa. Lebih mapan. Lebih tampan dari yang pernah ia bayangkan.
Malam harinya, saat pesta keluarga kecil dimulai, Raka duduk bersama Jenia di teras rumah. Angin desa berhembus lembut, suara jangkrik menemani percakapan mereka.
“Kamu nggak banyak berubah, Jen. Masih punya tatapan mata yang sama kayak dulu.”
Jenia tersenyum kikuk. “Ah, kamu bisa aja. Padahal aku ngerasa udah banyak banget yang berubah.” Raka menatapnya serius.
“Justru itu. Kamu makin dewasa… dan makin cantik. Aku seneng banget bisa ketemu lagi setelah sekian lama.”
Hati Jenia bergetar. Ada rasa nyaman yang lama ia lupakan, kini hadir kembali. Rasa yang sederhana… tapi tulus.
Sementara itu, di kota, Bastian membuka berkas laporan mingguan. Tangannya terhenti ketika melihat catatan kecil di bawah:
“Cuti : Jenia Prameswari (alasan: kakak menikah, pulang kampung).”
Entah kenapa, dadanya terasa kosong. Seakan ada bagian dari rutinitasnya yang hilang.
Ia menatap layar cukup lama, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Kenapa aku harus peduli?”
Namun hatinya tahu jawabannya.