NovelToon NovelToon
Operasi Gelap

Operasi Gelap

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mafia / Balas Dendam / Mata-mata/Agen / Gangster / Dark Romance
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Radieen

Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ciuman Terakhir di Dermaga

Pukul 02.07 WIB.

Langkah Dimas terdengar pelan menghantam papan kayu Dermaga Lama yang sudah lapuk. Suara kayu berderit bersahutan dengan debur ombak kecil yang pecah di tiang-tiang penyangga dermaga. Aroma asin laut bercampur bau amis ikan menusuk hidung.

Ia baru saja menutup telepon. Suaranya terdengar pelan, penuh kecemasan. “Ya… aku ada di sini. Jangan lama.”

Ponselnya kembali diselipkan ke saku jaket lusuh. Jemarinya gemetar, bukan hanya karena udara dini hari yang menusuk, tapi juga karena rasa takut yang tak bisa ia sembunyikan.

Dimas menyalakan rokok. Asap pertama ia hembuskan panjang, seolah berusaha menenangkan diri. Namun tatapannya terus berpindah ke arah gelap kebun bakau, ke jalan masuk dermaga, lalu ke laut yang hitam pekat.

Sesekali ia menendang kecil papan dermaga, seolah melampiaskan kegelisahan.

“Kenapa mereka belum datang?” gumamnya lirih.

Motor tuanya diparkir agak jauh, ban depan masih kempis. Ia tahu itu jebakan, tapi ia tidak punya pilihan. Yang menakutkan bukanlah paku di jalan itu, melainkan kenyataan bahwa ia sedang di buru.

Bayangan tentang Mafia itu membuat dadanya seketika sesak. Dimas bukan kurir biasa, dia menyimpan banyak rahasia yang tak seharusnya dia tahu. Tapi ia malah menyimpan niat untuk keluar dari dunia gelap itu. Ia bahkan sudah menunda dua kali dalam pengiriman barang. Telepon tadi adalah harapan baginya.

Ia kembali menghisap rokok, matanya memandang kosong ke laut. Dalam hati ia bergumam, "Kalau aku bisa kabur malam ini… kalau ada kesempatan lari, aku akan hilang."

Detik demi detik berjalan lambat. Suasana makin sunyi. Hanya ada suara tiang kayu dermaga yang berdecit diterpa angin laut. Dari ujung jalan aspal, tampak cahaya lampu mobil perlahan mendekat, memantul samar di genangan yang basah.

Dimas berdiri, jantungnya berdegup kencang.

"Bara.. " Dimas terbata-bata, yang tidak di tunggu malah datang lebih dulu. Dia tau dia akan selesai malam ini.

Pukul 02.22 WIB.

Dari kegelapan, suara mesin mobil berhenti di depan gerbang Dermaga Lama. Lampunya padam. Pintu berderit terbuka, seorang wanita dengan dress merah turun perlahan, siluetnya kontras dengan gelapnya dermaga.

Dimas terdiam kaku. Tangannya refleks menyeka keringat dingin di pelipis kirinya. Saat wanita itu melangkah ke arahnya, rasa takutnya berubah dengan rasa bahagia.

“Raras…” suara Dimas terdengar serak, rasa bahagia itu tak bisa ia sembunyikan. Ia memandangi Raras mantan istrinya dengan mata yang berkaca-kaca.

Raras berhenti beberapa langkah di depannya. Wajahnya tenang. Lipstik merah di bibirnya yang tampak mencolok menjadi satu-satunya kehidupan di tempat suram itu.

“Lama tidak bertemu, Dim,” ucapnya lirih.

"Ya..yah, bagaimana kabarmu?" Suara Dimas bergetar, gugup dan bahagia bercampur menjadi satu

Tangan Raras mengambil perlahan rokok yang Dimas hisap, "Boleh aku minta? Aku sedikit kedinginan. " Matanya melirik Dimas penuh godaan.

Bibir berlipstik merahnya menyentuh filter yang sebelumnya dihisap Dimas. Ia menarik asap pelan, lalu menghembuskannya dengan elegan.

Dimas menatapnya begitu dalam, sedalam perasaannya pada Raras. Ada rasa rindu bercampur getir di hatinya. Hanya saja ia sadar, kali ini berbeda. Tatapan mata Raras tidak lagi di isi dengan cinta untuknya.

Dimas mencoba mencairkan suasana. “Kau masih sama seperti dulu. Selalu terlihat cantik dengan lipstik merah itu.”

Raras hanya tersenyum tipis. Lalu ia melangkah lebih dekat, sangat dekat.

“Benarkah aku masih terlihat sama di matamu?” tanyanya pelan, hampir berbisik.

Dimas menelan ludahnya. Bibir Raras kemudian menyentuh bibir Dimas. Ciuman itu dalam, hangat, dan...aneh. Ada cairan yang terasa pahit samar masuk ke dalam mulutnya bercampur dengan rasa alkohol yang sebelumnya ia minum. Ah... ini pasti sekadar efek minuman dan rokok. Pikir Dimas.

Dimas mendorong tubuh Raras, "ada yang ingin aku bicarakan," ia memegang kedua lengan Raras.

"Apa kau tidak ingin menikmati malam ini?" Raras menyentuh dada Dimas.

"Ini.. soal Tita anak kita.. " rasa bersalah terbesit pada wajah Dimas.

Raras melepaskan tangan Dimas dari tubuhnya, " kau membuat malam ini tidak menyenangkan, Dim." Raras membalikkan tubuhnya.

"Ada yang harus aku katakan, aku minta maaf Ras atas semua penderitaan yang ku berikan padamu.. " suaranya terhenti sebentar, "Sebenarnya ada yang belum aku katakan.. "

Raras berbalik, wajah putihnya memerah, "Cukup!! Terlambat Dimas, Tita sudah tidak ada! Kau pembunuh buah hatiku!"

Dimas mendekati Raras, menggenggam tangannya. "Tidak.. aku tidak membunuhnya, Tita... "

Pandangan Dimas tiba-tiba berkunang-kunang, “Ra… ada apa ini?” suaranya tercekat, ia mulai kehilangan kendali pada otot-ototnya.

Raras menatapnya dingin. Ia menahan tubuh Dimas yang mulai goyah, membisikkan kata-kata yang hanya bisa didengar mereka berdua.

“Kau merusak kebahagiaan terakhir kita, Dim. Anggaplah ini adalah bayaran atas nyawa Tita.”

Dimas ingin menjawab, tapi bibirnya kelu. Lututnya goyah, lalu ia terjatuh berlutut di depan Raras. Tubuhnya gemetar sebentar, kemudian makin lunglai. Nafasnya tersengal, namun ia masih cukup sadar untuk melihat wajah wanita itu.

Raras berdiri tenang, tidak sedikit pun menolong. Ia menatap mantan suaminya yang kini terkulai.

Pukul 02.37 WIB.

Dimas yang tak berdaya mendengar langkah lainnya, lebih berat. Dari kegelapan, seorang pria berjaket hitam dan topi biru tua muncul, membawa tas ransel hitam dengan garis abu-abu. Ia berjalan cepat mendekati Raras.

"Bantu aku menyeretnya," ucap Raras pada pria itu.

Mereka menyeret tubuh Dimas yang sudah lumpuh menjauhi kayu Dermaga, memastikan ombak tidak menarik tubuh itu.

Raras menoleh sebentar pada pria itu, lalu kembali menunduk menatap Dimas yang hampir tak berdaya.

“Berikan padaku!” Raras menadahkan tangannya, memberi kode pada si pria.

Pria itu jongkok, tersenyum pada Dimas yang tak lagi berdaya. Bara?! Dimas yang hanya bisa melihat kini paham apa yang akan terjadi selanjutnya. Bara mulai membuka ransel, mengeluarkan spuit dan vial berisi cairan bening.

Raras menarik nafas panjang. Melihat ada keraguan pada wajah Raras, Bara berbisik pelan mendekatinya. " Dia adalah pembunuh anak semata wayangmu. Apa yang kau ragukan? Dia terlalu kejam untuk hidup!"

Tanpa banyak bicara, Raras menarik dosis besar ke dalam suntikan. Dimas hanya bisa merasakan tusukan dingin menusuk ke dalam lengannya, tak ada perlawanan.

Jarum masuk dengan rapi. Cairan mematikan itu mendorong detak jantung Dimas hingga ke titik akhir.

Raras berdiri tegak, menatap pemandangan itu dengan wajah tanpa ekspresi. Tidak ada air mata, tidak ada senyum puas, hanya terlihat kehampaan pada matanya.

Dimas terkulai penuh, tubuhnya lunglai di dekat papan Dermaga yang basah.

Suara laut kembali mendominasi suasana. Angin membawa aroma asin bercampur tipis dengan bau alkohol dan asap rokok yang masih menggantung.

Raras menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik tanpa menoleh lagi. Bara segera membereskan peralatannya dengan cekatan. Merogoh kantong Dimas, mengambil telepon selulernya lalu, meninggalkan beberapa bukti. Keduanya pun melangkah pergi meninggalkan dermaga menuju mobil Honda Accord hitam yang menunggu di gerbang Dermaga.

1
Piet Mayong
so sweet deh fai dan Amara...
Piet Mayong
semanggad Thor...
Piet Mayong
musuh yg sesungguhnya adalah komandannya sendiri, Alfian.
sungguh polisi masa gthu sih....
Piet Mayong
seru ceritanya..
semangat.....
Radieen: 🙏🙏 Makasih dukungan, sering sering komen ya.. biar aku semangat 🩷
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!