Operasi Gelap
Ditengah kesunyian malam yang gelap gulita, club itu terasa begitu riuh. Lampu berkelap - kelip mengikuti dentuman musik. Aroma rokok yang bercampur dengan alkohol memenuhi ruangan. Wanita-wanita dengan gaun ketat dan berkilauan menari liar, disambut dengan bayangan pria - pria yang siap memangsa.
Di luar, dua buah van hitam berhenti di belakang pintu club Malam.
“Semua unit siaga,” tegas Kasat Narkoba, Kompol Alfian. Matanya menatap gedung yang berdenyut cahaya.
“Kita masuk tiga menit lagi. Ingat Traget Prioritas kita adalah Lucian! Hidup atau mati, dia harus kita bawa!" sambil memberikan satu aba - aba, belasan kru berompi hitam bertuliskan POLISI bersenjata laras panjang memaksa masuk.
Tepat satu langkah dibelakang sang komandan, berdiri seorang wanita dengan rambut terikat kencang, tatapan matanya tajam seperti sebilah pisau. Amara, seorang polisi wanita yang namanya mulai diperhitungkan di Satuan Reserse Narkoba.
"Eksekusi!" Komandan mengangkat tangannya ke atas lalu memberikan isyarat untuk memasuki club itu.
Pintu ditendang. "POLISI!!!JANGAN BERGERAK!!"
Suara keras musik pecah oleh teriakan panik pengunjung. Amara melesat mengikuti langkah Kompol Alfian memasuki VIP Room.
Pintu di dobrak, pistol teracung. Pria berjas hitam menghadang cepat, sementara yang berada di belakang berhamburan sambil mengangkati tas - tas hitam yang terisi penuh.
Dua orang bodyguard langsung mengeluarkan senjata api dari balik jas hitamnya. Tembakan pertama meletus, meja kaca VIP pecah berhamburan. Tim polisi merunduk berlindung dibalik sofa hijau tosca. Mereka mencoba membalas dengan tembakan terukur.
"Dum! Dum! Dum!", suara Glock 17 milik Kompol Alfian mengenai para pengedar yang berhamburan di balik badan-badan besar para bodyguard. Beberapa berhasil kabur, beberapa meringis kesakitan.
Situasi melengah, mereka terkecoh. Amara yang sadar, bergerak gesit menendang pistol dari tangan salah satu bodyguard hingga meluncur jauh ke sudut ruangan. Ia lalu menekan pria itu ke lantai dengan lutut di punggungnya.
“Jangan bergerak!” sergahnya dingin.
Di sisi lain, Kompol Alfian sudah menahan seorang pengedar yang mencoba meraih tas hitam berisi kristal putih.
“Kau pikir bisa kabur, hah?!”
"Kreek!"Borgol baja melingkar di tangan.
“Unit Alfa, HT masuk, Target kedua Clear pak!”Suara dari Handy Talky terdengar parau bercampur bisingnya dentuman musik yang tak juga padam.
“Copy, Alfa. Lanjutkan penyisiran!” Balas Kompol Alfian.
Kompol Alfian menunduk, membuka tas hitam yang tertinggal di lantai. Isinya berhamburan keluar. Bungkusan plastik bening berisi kristal putih tercecer berserakan.
“Ini bukan transaksi biasa. Ini transaksi besar.” Matanya menyempit, mengendus kecurigaan lain.
Amara menatap sekeliling, mencoba mencari target prioritasnya. Pintu belakang VIP Room sedikit terbuka, hembusan angin tipis memasuki ruangan.
“Lucian kabur,” bisiknya.
Alfian mengangguk singkat.
“Tim dua, amankan area belakang! Amara, ikut aku. Kita tidak boleh kehilangan dia!”
Amara dan Kompol Alfian memasuki pintu belakang VIP, mencoba menelusuri jejak Lucian. Udara pengap bercampur dengan aroma terbakar dari rokok menggantung di atap lorong yang mereka masuki. Langkah sepatu berdentum cepat di atas lantai kayu yang lengket oleh minuman tumpah.
Di ujung lorong, terlihat bayangan seseorang berlari cepat. Sekilas, tampak kilatan jam tangan emas yang memantul dari pergelangan tangannya.
“Lucian! Berhenti!!!” teriak Alfian, suaranya menggelegar.
Pelatuk ia tekan, “Klik!” hampa.
Alfian mendongak sekilas, wajahnya menegang. Sial, chamber kosong! Peluru habis tepat saat target prioritas ada di depan mata, pikiran Alfian gusar.
Tak ada waktu untuk mengisi ulang, Langkah jangkung Lucian semakin menjauh. Alfian mempercepat langkahnya. Sepatu bootnya terdengar semakin keras menghantam lantai kayu. Nafasnya kian memburu, jantungnya memompa cepat, tapi tatapannya tak lekang dari punggung Lucian.
Saat jarak semakin berkurang, kerumunan orang keluar dari balik pintu darurat. Menghilangkan bayangan Lucian dari pandangannya.
"Sialan!" Alfian mengumpat.
Tubuhnya masih terhimpit diantara kerumunan pengunjung yang berdesakan. Keringat dingin menetes dari pelipisnya, sementara matanya terus menyapu ruangan, mencari bayangan Lucian. Lucian lolos.
Amara yang tertinggal berhasil menyusul, " Bagaimana?"
"Dia lolos, sial... " Alfian mengepalkan tangannya geram.
Mereka masih terjebak, ditekan puluhan orang yang terus mencoba keluar.
Berharap ada kesempatan, mereka terus mengejar hingga ke basement. Hanya jejak hitam ban mobil yang tertinggal di lantai semen, membentuk garis berkelok menuju pintu keluar.
“Dia sudah jauh. Kita tak bisa lagi mengejarnya.” Alfian mengepalkan tangan, "dhumm!!" Tangannya memerah setelah memukul dinding karena geram.
Amara mengamati sekeliling, matanya masih awas. “Sebaiknya kita kembali komandan, mereka yang kita tangkap bisa kita interogasi. Ini akan membuka jalan untuk mencari jejak Lucian.”
Mereka menggiring para tersangka keluar. Ekspresi panik terpampang di wajah para tersangka.
“Masukkan mereka ke dalam!” teriak Alfian, salah satu anggota membukakan pintu mobil tahanan. Dengan langkah terseret, mereka menunduk memasuki van hitam yang bersiap meluncur.
Amara melirik Alfian, “Lucian pasti sudah mempersiapkan diri. Dia bukan pemain baru.”
Alfian menarik napas panjang. “Kita lihat saja! Ingat Amara, jejak akan selalu tertinggal. Cepat atau lambat, dia akan jatuh. Dan kali ini, aku ingin dia jatuh di tanganku sendiri.” Sambil menepuk-nepuk bahu Amara, Alfian masuk ke dalam van, meninggalkan Amara yang masih menatap basahnya jalan karena hujan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ruangan interogasi di penuhi dengan pengapnya ketakutan, keringat dan sedikit bau amis darah. Tas hitam penuh dengan plastik-plastik berisi kristal bening diletakkan di atas meja.
Brakkk!
Suara hantaman keras ke atas meja bergema dalam ruangan.
“Jangan main-main dengan kami!” Suara penyidik terdengar penuh emosi, wajahnya merah menahan emosi.
Bara, Pria kurus dengan tatoo harimau di lengan kanannya tersenyum tipis. Darah terlihat merembes dari ujung mulutnya, tapi keringat di pelipis tak bisa ditutupi. Dia ketakutan, mulai goyah.
"Aku mau pengacaraku! Kalian tidak berhak menekankanku seperti ini! Biar pengacaraku yang bicara." Jawabnya angkuh.
Penyidik mencondongkan tubuh ke depan, mendekatkan wajahnya dengan Bara. “Ini kesempatanmu untuk bicara sebelum kau menyesal dengan apa yang akan kulakukan.”
“Menyesal? Kau bercanda!"ia menahan tawanya sebentar, lalu melanjutkan dengan suara rendah," Aku lebih sering mencium bau darah dibandingkan kalian. Kau pikir ancaman recehmu berguna?!"
Brakkk!
Tangan penyidik menghantam keras wajahnya, meninggalkan darah yang mulai muncul dari pelipisnya.
“Sudah kubilang, aku tidak akan buka mulut tanpa pengacara,” dia menekan suaranya. Dia tahu ada mata yang mengawasi di balik kaca.
Amara dan Alfian saling menatap, mereka memutar otak agar mendapatkan celah untuk menangkap mangsa yang lebih besar.
"Dasar tikus licik!"Alfian bergumam dibalik one-way mirror sambil menggertakkan gigi-giginya.
Pintu diketuk, “Komandan, barusan bapak Kapolres memberi kabar...", suara IPDA Haris tercekat. "Pengacara mereka sudah datang membawa surat penangguhan penahanan.”
Alfian berbalik cepat. “Apa? Secepat itu?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments