Sofia Putri tumbuh dalam rumah yang bukan miliknya—diasuh oleh paman setelah ayahnya meninggal, namun diperlakukan tak lebih dari seorang pembantu oleh bibi dan sepupunya, Claudia. Hidupnya seperti neraka, penuh dengan penghinaan, kerja paksa, dan amarah yang dilampiaskan kepadanya.
Namun suatu pagi, ketenangan yang semu itu runtuh. Sekelompok pria berwajah garang mendobrak rumah, merusak isi ruang tamu, dan menjerat keluarganya dengan teror. Dari mulut mereka, Sofia mendengar kenyataan pahit: pamannya terjerat pinjaman gelap yang tidak pernah ia tahu.
Sejak hari itu, hidup Sofia berubah. Ia tak hanya harus menghadapi siksaan batin dari keluarga yang membencinya, tapi juga ancaman rentenir yang menuntut pelunasan. Di tengah pusaran konflik, keberanian dan kecerdasannya diuji.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yilaikeshi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Sofia Putri baru saja menaruh tasnya di meja ketika suara lantang bosnya menggema.
“Sofia, kamu baru masuk kerja jam segini?!” bentak pria berusia sekitar empat puluh lima tahun itu. Rambutnya mulai menipis, wajahnya keras, dan sikapnya benar-benar menyebalkan.
“Tidak, Pak,” jawab Sofia tenang sambil pura-pura sibuk mengatur meja. Ia sudah hafal sifat aneh bosnya. Menatap matanya dianggap menantang otoritas, tapi kalau menghindari tatapan, malah dibilang meremehkan.
Setiap karyawan punya cara sendiri untuk bertahan dari amukan pria itu. Namun bagi Sofia, setelah bertahun-tahun tinggal bersama pamannya yang penuh tipu muslihat dan keluarga penyihirnya, menghadapi bos seperti ini hanyalah persoalan kecil.
“Apa maksudmu tidak?” bosnya mencibir. “Baru kali ini aku melihatmu!”
Sofia menarik napas dalam-dalam, menahan kesal. “Saya tadi sudah masuk, Pak. Lagi beresin kotak-kotak berisi perlengkapan,” ucapnya sambil menggertakkan gigi. Kebohongan kecil yang ia lancarkan sudah jadi senjata sehari-hari.
“Kalau tidak percaya, bisa tanya Mimi,” tambahnya, sambil melirik sahabatnya yang baru kembali membawa nampan.
“Iya, Pak. Sofia memang ada di sini, cuma sibuk saja,” sahut Mimi cepat, menguatkan temannya.
Bos mereka tampak ragu. Ia tahu Mimi selalu membela Sofia, tapi saat salah satu karyawan lain lewat dan ikut menyahut, “Benar, saya lihat dia tadi,” sang bos akhirnya hanya mendengus kesal sebelum pergi.
Sofia sempat beradu pandang dengan Julian—rekan kerja yang diam-diam mendukungnya. Ia tersenyum tipis. Di kafe ini, mereka memang seperti keluarga; saling menjaga meski punya atasan yang sulit ditoleransi.
Padahal Sofia hanya terlambat lima menit. Tapi baginya, perdebatan itu sudah tak penting. Yang jelas, bos mereka lebih sibuk menghitung keuntungan daripada peduli dengan kesejahteraan karyawannya.
Begitu suasana agak tenang, Mimi mendekat dengan wajah berbinar. “Hei, coba tebak?”
“Jangan bilang kamu ketemu cowok baru lagi,” sahut Sofia tanpa menoleh, tangannya sibuk memilah kacang kopi.
Mimi terperangah. “Kok kamu tahu?”
Sofia terkekeh kecil. “Karena kita sudah melakukan percakapan ini ratusan kali.”
Mimi mengerucutkan bibir, lalu berbisik heboh, “Dia pesan dua cangkir kopi hitam.”
“Dua cangkir kopi hitam?” Sofia mendongak, alisnya terangkat. “Siapa orang waras yang suka kopi pahit polos begitu?”
“Menurutku itu keren. Laki banget,” Mimi berkilah sambil menopang dagu.
Sofia mendecak. “Dasar bodoh. Kamu belum baca penelitian, ya?”
“Penelitian apa lagi?” Mimi mengernyit, bingung.
Sofia mencondongkan tubuh, suaranya dibuat misterius. “Ada studi terhadap lima ratus orang. Hasilnya, orang yang lebih suka rasa pahit daripada manis cenderung punya sifat psikopat, narsis, atau sadis.”
“Hah?!” Mimi melongo. Baginya, pria yang baru dilihatnya itu terlalu tampan untuk disebut psikopat.
Singkatnya, kalau seseorang ngajakmu ngopi dan dia pesan kopi hitam tanpa gula, lebih baik kamu cepat-cepat kabur sambil bawa latte-mu keluar pintu belakang. Bisa saja dia calon psikopat.
Akmal sudah terbiasa dengan tatapan orang-orang yang terpana pada ketampanannya. Ia bahkan tidak terusik ketika pelayan—atau siapa pun perempuan itu—hampir saja meneteskan air liur saat menerima pesanannya.
Ia memesan dua cangkir kopi hitam, dipanggang sepekat mungkin. Ia butuh rasa pahit itu, butuh sensasi perih yang mengingatkannya pada luka lama sekaligus alasan untuk terus bertahan hidup. Baginya, bertahan hidup berarti menyingkirkan segala keinginan, bebas dari emosi. Sebab emosi hanyalah kelemahan yang membuat seseorang buta. Dan ia tidak pernah dilatih untuk menjadi manusia yang penuh perasaan. Pekerjaannya hanya satu: bertahan hidup. Membunuh, atau dibunuh.
Dengan kesal, Akmal menggosok pelipisnya. Kenapa lama sekali? Mana kopi sialan itu? Meski sering berpura-pura seolah ia bukan manusia, kenyataannya ia tetap manusia biasa yang kecanduan kopi.
Tangannya mengetuk meja kayu yang agak bergelombang, pikirannya sibuk menimbang langkah berikutnya. Haruskah ia menunggu lebih lama, atau pindah ke kedai lain sepuluh blok dari sini? Tidak. Ia harus tetap di sini.
Lagipula, jika ia keluar, ia akan langsung berada di bawah pengawasan ketat. Anak buahnya sudah tersebar di luar, berbaur dengan kerumunan di titik strategis, memastikan tak ada bahaya yang mendekat.
Di dalam kedai ini, justru ia merasa lebih bebas. Satu-satunya mata yang mengawasinya hanyalah tatapan penuh kagum atau nafsu yang kadang ia nikmati. Akmal tahu ia tampan, dan ia tidak menyangkalnya. Tapi, kenapa kali ini ia merasa terganggu oleh perhatian itu?
Meskipun tanpa pengawalan, ia tidak gentar. Ia jauh lebih terlatih daripada bawahannya. Rasa hormat yang mereka berikan bukan sekadar karena ia anak dari ayahnya, tapi karena ia adalah Akmal.
Sementara itu…
“Dari mana lagi kau dapat cerita konyol itu?” tawa Mimi pecah, membuat Sofia Putri mendengus kesal. Seandainya mereka tahu, ada bos mafia yang mulai gelisah hanya karena kopinya belum sampai.
“Harusnya aku lebih tahu daripada buang-buang waktu menjelaskan pada otak burung,” gerutu Sofia sambil menyiapkan dua cangkir kopi hitam. Tanpa repot menambahkan krim atau hiasan, karena toh minuman itu hanya akan berakhir di perut dan keluar jadi ampas.
Mimi sama sekali tidak terusik dengan sindiran itu. Ia sudah terbiasa dengan pertengkaran kecil mereka. Dengan senyum lebar, Mimi berkata, “Kalau begitu, kau saja yang antar kopi untuk si psikopat itu.”
Belum sempat Sofia membalas, Mimi sudah lebih dulu meletakkan nampan di dadanya. Sofia terpaksa meraihnya agar gelas tak jatuh berantakan.
Mimi menatap dengan tatapan nakal seolah berkata, ‘Hati-hati, kalau pecah gajimu terpotong.’
Sofia membalas dengan lirikan tajam, ‘Tenang saja, tidak ada yang rusak.’
Dengan dengusan kesal, Sofia melangkah keluar dari balik konter. Matanya langsung tertuju pada meja dekat jendela di sanalah pelanggan itu duduk.
Namun, langkahnya sempat goyah. Bahkan dari kejauhan, pesona pria itu terasa terlalu kuat. Astaga… bagaimana mungkin ada orang setampan ini? Harusnya dilarang hukum.
Tak heran Mimi langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Mantan-mantannya memang menarik, tapi tak ada yang bisa menandingi sosok ini. Wajahnya perpaduan unik antara kelembutan dan ketegasan.
Sofia sampai harus mengingatkan dirinya sendiri: Hentikan pikiranmu! Ini cuma pelanggan. Lagipula siapa sih yang minum dua cangkir kopi hitam sekaligus?
Akmal sudah lebih dulu menyadari kehadirannya. Instingnya yang terlatih membuatnya peka pada setiap tatapan. Ia merasakan perhatian Sofia, tapi tidak ada niat membunuh di sana. Jadi, ia membiarkan perempuan itu menatapnya.
Saat akhirnya ia menegakkan kepala, Akmal hampir bersiul. Rambut merah menyala itu—warna yang biasanya tidak ia sukai tiba-tiba terlihat sangat cocok di kepalanya. Berbahaya. Sangat berbahaya.
Dan ketika jarak semakin dekat, ia bisa melihat jelas mata Sofia. Hijau berkilau, seperti hutan yang tenang sekaligus menyesatkan. Instingnya langsung berteriak: Bahaya! Jauhi perempuan ini!
“Ini pesanan kopi hitam Anda, Tuan,” suara Sofia terdengar lembut di telinganya.
Peringatan! Peringatan! Suara itu bagai sirene di kepalanya. Gadis ini bisa jadi bencana.
“Kau lama sekali,” kata Akmal, terdengar lebih lemah dari yang ia maksudkan. Seharusnya ia bisa menegur dengan dingin, tapi entah kenapa nada suaranya melunak.
Tatapannya sempat menangkap kerutan kecil di dahi Sofia. Apakah kata-katanya barusan menyakiti hati perempuan itu? Jika benar, maka dia lebih rapuh daripada dugaannya. Dan orang rapuh tidak ada gunanya di dunianya.
Sofia menatap balik, berusaha mengingatkan dirinya sendiri: Hanya karena wajahnya tampan, bukan berarti dia bukan psikopat.
Akmal meneliti sorot matanya. Ada sesuatu yang aneh—seolah Sofia bisa membaca sisi gelap yang ia sembunyikan.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Akmal merasa terusik.