Di Culik Tuan Mafia
Suara benda jatuh yang diikuti bunyi pecah mengagetkan Sofia Putri dari tidurnya. Ia bahkan tak sempat menguap atau meregangkan badan karena tubuhnya sudah terlonjak berdiri, tergerak oleh gaduh dari lantai bawah.
Dengan dahi berkerut, ia melirik jam dinding—baru pukul enam pagi. Ia mendesah, mengacak rambutnya yang kusut, dan berharap dalam hati semoga suara itu bukan ulah Cantika lagi.
Cantika adalah putri tunggal pamannya—si anak emas keluarga. Karena terbiasa dimanja, Cantika tidak pernah bisa menerima penolakan. Baginya, dunia harus selalu berputar sesuai keinginannya. Dan jika sesuatu tidak berjalan seperti yang ia mau, ia akan meledak-ledak. Sofia menyebutnya “episode” karena gadis itu benar-benar seperti kehilangan kendali.
Sofia sendiri adalah yatim piatu. Ia bahkan tidak pernah tahu wajah ibunya seperti apa. Ayahnya meninggal karena kanker saat ia baru berusia sepuluh tahun. Sejak saat itu, saudara laki-laki ayahnya menjadi walinya. Tapi tinggal bersama mereka lebih mirip hidup di neraka.
Meski pamannya tidak pernah menyentuhnya, Sofia sangat paham peran yang diberikan istri dan putrinya untuknya: pembantu, sekaligus samsak untuk melampiaskan kekesalan mereka.
Itu sebabnya ia tidak buru-buru turun. Kalau Cantika sedang mengamuk lagi, pilihan terbaik adalah menjauh sejauh mungkin. Cantika bisa melempar apa saja yang terjangkau tangannya, dan Sofia sudah cukup sering menjadi korban.
Namun baru saja ia hendak menjatuhkan kepala ke bantal, terdengar ketukan di pintu kamarnya. Bukan ketukan biasa keras, terburu-buru, hampir seperti dentuman.
“Nona muda!”
Sofia langsung terlonjak. Itu suara Susan, pengurus rumah tangga mereka satu-satunya orang di rumah ini yang memperlakukannya layaknya manusia. Kalau Susan sampai panik, pasti ada sesuatu yang gawat.
“Susan!” Sofia segera membuka pintu. “Ada apa? Aku dengar suara ribut.”
“Maaf, Nona, tapi Anda harus lihat sendiri.” Susan langsung menarik tangannya, tak memberinya waktu untuk berpikir.
Mereka bergegas menuruni tangga spiral. Semakin dekat ke lantai bawah, suara gaduh semakin jelas, membuat jantung Sofia berdebar kencang. Apa yang sedang terjadi?
Tak perlu lama bertanya-tanya. Begitu kakinya menapak lantai ruang tamu, pemandangan itu membuatnya membeku. Sekelompok pria berwajah garang tengah merusak isi rumah. Televisi dihantam palu, vas bunga besar dijatuhkan hingga pecah.
Jantung Sofia berdegup keras. Bagaimana mungkin orang-orang ini bisa lolos dari pemeriksaan keamanan rumah? Gangster tidak akan mendatangi rumah seseorang tanpa alasan. Lalu, apa yang sudah dilakukan pamannya kali ini?
Pandangan ke sudut ruangan memperlihatkan bibinya dan Cantika yang meringkuk ketakutan di sofa. Mereka menjerit setiap kali terdengar benda terhempas ke dinding, sementara para pria itu jelas sengaja membuat keributan untuk menakut-nakuti.
Meski gemetar, Sofia menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, jika memilih diam, ia justru akan menanggung amarah bibinya nanti. Maka dengan sisa keberanian, ia maju selangkah.
“Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” suaranya terdengar tegas.
Tidak ada yang menjawab. Justru pertanyaannya membuat suasana semakin menegang. Para pria itu tetap melanjutkan perusakan, seolah ia tak lebih dari udara.
Amarah merayap di nadinya. Sofia berusaha menahan diri, tapi akhirnya ia bersuara lebih keras:
“Pasal 19-77: memasuki properti orang lain dengan tujuan merusaknya adalah tindakan yang dilarang keras. Setiap pelanggar dapat dikenai pidana pelanggaran ringan Kelas 1!” katanya dalam satu tarikan napas.
Kali ini, mereka menoleh. Setengah dari mereka langsung menatapnya, sisanya ikut berhenti setelah melihat teman-temannya terpaku. Tatapan mereka panas, menusuk, seakan hendak menguliti keberaniannya. Sofia merasa ingin lenyap ditelan bumi. Orang waras mana yang berani berdebat dengan para penjahat bersenjata?
Tetapi ia tidak mundur.
Salah seorang pria maju, bertepuk tangan lambat dengan senyum mengejek.
“Wah, rupanya ada pengacara di rumah ini.”
Sofia mengangkat dagunya. “Aku bukan pengacara. Tapi setiap warga negara berhak tahu dan melindungi haknya. Jadi, apa maksud semua kegilaan ini? Kau tidak bisa begitu saja masuk ke rumah orang lalu bertindak semaumu.”
Ia bahkan tak percaya kata-kata itu keluar dari mulutnya. Orang-orang itu membawa palu, belati—dan mungkin pistol tersembunyi di pinggang. Satu gerakan salah bisa saja mengakhiri hidupnya.
Namun lelaki itu hanya menyeringai. “Kau benar, aku tidak bisa. Tapi hukum juga mengajarkan bahwa keluarga kalian seharusnya tidak mengambil pinjaman tanpa membayarnya kembali.”
“A-apa?” suara Sofia tercekat. “Pinjaman?” Wajahnya mendadak pucat.
Dan seketika ia sadar mereka bukan gangster sembarangan. Mereka rentenir.
Ya Tuhan… ini benar-benar mimpi buruk.
Oke Terimakasih yang sudah mampir semoga kalian suka novel ini.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments