NovelToon NovelToon
Berjalan Di Atas Luka

Berjalan Di Atas Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Ibu Mertua Kejam / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Dina Aisha

Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.

Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.

Bagaimana kisah mereka selanjutnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kematian Tragis

Tiga bulan berlalu.

Cahaya lampu menggantung di ruang makan membias ke meja makan—tempat Anin dan Giandra duduk bersebelahan. Aroma masakan memenuhi udara, menyengat di hidung, membuat perut mereka keroncongan.

“Setelah makan, kita ke rumah sakit buat susul bapak dan burum ya,” tutur Giandra sembari mengambil sendok.

“Burum mau lahiran ya?” tanya Anin, memandang lekat wajah Giandra.

“Iya, sayang.”

Anin mengangguk kecil, kembali menyuap nasi. Giandra tersenyum tipis, ikut menyuap makanannya.

Beberapa menit kemudian, Anin dan Giandra berdiri di teras depan.

“Kita naik apa?” tanya Anin.

“Kamu mau naik sepeda? Soalnya kalau malam, angkutan umum jarang ada yang lewat,” jawab Giandra.

“Tapi rumah sakit kan jauh dan aku lagi hamil. Aku takut kamu nggak kuat bawanya,” sahut Anin.

Anin menghela napas, tatapannya kosong menyapu jalanan. Tiba-tiba sebuah sedan berhenti di depan pagar.

“Itu ayah. Kenapa ke sini?” tanya Anin sembari melirik Giandra.

Giandra mengernyit, menatap gerbang yang bergeser. Tak lama, Sudarsono masuk, dan mendekati Giandra.

“Bapakmu dan Ningrum dalam bahaya!” katanya tanpa basa-basi.

“Apa?” Giandra terperanjat.

“Tadi saya mampir ke rumahmu buat menemani Yasir ke rumah sakit. Tapi belum masuk gerbang, saya dengar ibumu menyuruh tiga pria berbadan besar untuk membunuh Ningrum.” Sudarsono menjelaskan detail.

Giandra membelalak, terpaku sejenak.

“Kamu harus tolong mereka, Mas!” seru Anin, membuyarkan lamunan.

Giandra mengangguk kecil, kemudian mengunci pintu rumah.

“Ayo, berangkat, Pak!” titah Giandra.

“Tunggu! Anin jangan ikut. Terlalu berbahaya apalagi dia sedang mengandung,” ujar Sudarsono.

“Tapi aku nggak tenang kalau biarin Giandra pergi sendiri,” sahut Anin.

Sudarsono menghela napas panjang. “Kau memang keras kepala. Persis seperti ibumu,” celetuknya.

Sudarsono melangkah keluar, dan masuk ke dalam mobil. Giandra dan Anin pun ikut masuk, duduk di kursi belakang. Setelah itu, mobil meleset menembus kesunyian malam.

...🌹🌹🌹...

Di sisi lain, Yasir mengemudikan mobil, menerobos kesunyian jalan raya. Sesekali Yasir melirik Ningrum yang tengah mengusap perutnya.

“Sabar ya, cinta ... Sebentar lagi kita sampai,” ujar Yasir lembut.

Ningrum tersenyum, menatap Yasir dengan mata berbinar. “Aku nggak sabar lihat anak kita, pasti dia cantik.”

“Seperti kamu,” sahut Yasir.

Din! Din! Din!

Suara klakson meraung, memecah keheningan malam. Yasir menatap spion, tampak sebuah mobil melaju kencang di belakang mereka.

“Mereka siapa, Mas? Kok kayak ngejar kita?” tanya Ningrum gelisah.

“Aku tidak tahu. Kamu pegangan yang erat,” ujar Yasir.

Yasir langsung menginjak pedal gas, membuat mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi. Namun, mobil asing ikut mempercepat lajunya, kemudian menyalip, dan berhenti mendadak.

Yasir menghentikan mobilnya, tatapannya tertuju pada mobil asing itu. Tak lama, pintu terbuka, muncul tiga pria berbadan kekar, seperti preman.

“Turun kalian!” teriak mereka sembari menggedor kaca mobil.

“Gimana ini, Mas? Jalanan sepi banget. Kamu nggak mungkin lawan mereka,” ucap Ningrum dengan tubuh gemetar.

Yasir menghela napas panjang. “Kamu tunggu di sini! Jangan keluar apa pun yang terjadi sama aku di luar!”

Ningrum mencengkeram tangan Yasir. “Jangan, Mas ... Aku nggak mau kamu terluka,” katanya dengan nada lirih.

Yasir mengusap lembut tangan Ningrum, sembari menatapnya lekat. “Kamu tenang saja, aku akan mempertaruhkan segalanya demi kamu dan anak kita. Jika hari ini adalah hari terakhir, aku ikhlas. Asal kamu bisa melahirkan anak kita dengan selamat.”

Ningrum membisu, air matanya mengalir. Yasir tersenyum tipis, keluar dari mobil, dan menguncinya rapat.

Yasir menghampiri ketiga penjahat itu.

“Apa mau kalian?” tanyanya.

“Kami cuma mau perempuan itu!” Salah satu penjahat menunjuk Ningrum.

“Jika kalian menginginkan dia, langkahi dulu mayat saya!” tegas Yasir.

“Serang!!”

Pertarungan pun pecah. Ketiga penjahat langsung menyerang Yasir dengan pukulan dan tendangan. Namun, Yasir menangkis semua sekarang mereka.

Saat dua penjahat hendak meninju wajahnya, Yasir mencengkeram tangan mereka, kemudian memelintir lengan, dan menendang perut mereka. Sementara satu penjahat lain, mengayunkan kayu besar. Yasir menghindar, mencengkeram lengannya, lalu membanting penjahat itu ke aspal.

“Siapa yang suruh kalian?” tanya Yasir.

Tak ada jawaban, Yasir pun melangkah mendekati dua penjahat. Tiba-tiba seorang penjahat menyergapnya dari belakang, dan mengunci tubuhnya.

Dua penjahat di depannya kembali bangkit, kemudian memukuli Yasir secara membabi buta. Tubuh Yasir ambruk, dan terduduk di aspal.

“Awass!!” Ningrum menjerit dari dalam.

Bukk!!

Sebuah kayu besar menghantam keras kepala Yasir. Seketika Yasir tergeletak di aspal dan dalam hitungan detik, darah mengalir deras membasahi aspal.

“Arghh!!” Ningrum meraung histeris, sembari menarik rambutnya.

Ningrum mematung, sedangkan para penjahat memecah kaca mobil, dan menyeretnya keluar. Mereka mendorong Ningrum hingga tersungkur tepat di belakang tubuh Yasir.

Ningrum memangku kepala Yasir, tubuhnya gemetar hebat saat mengetahui suaminya sudah tak bernapas. “Bangun, Mas ... Jangan tinggalin aku!” serunya sembari terisak.

Ningrum menunduk, tiba-tiba seorang penjahat menghantam punggungnya dengan kayu. Namun, Ningrum tak menjerit, dan menerima pukulan demi pukulan hingga tidak sadarkan diri.

“Bawa mereka ke mobil,” titah pemimpin preman itu.

“Baik, Bos!” sahut dua anak buahnya.

Mereka mengangkat tubuh Yasir dan Ningrum, hendak membawanya ke mobil. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depannya—menghadang mereka.

Pintu mobil itu terbuka, Giandra, Sudarsono dan Agus keluar. Sementara Anin tetap berada di dalam mobil.

“BAPAAAKK!!” Giandra menjerit histeris melihat kepala Yasir yang remuk.

Giandra hendak mendekat, tetapi Sudarsono mencengkeram tangannya. “Mereka bawa senjata,” bisiknya.

Giandra terpaku menatap tajam ketiga penjahat sembari mengepalkan tangan.

“Siapa kalian? Kami nggak ada urusan sama kalian,” jawab pemimpin preman.

“Bajingan! Kalian bunuh orangtuaku!!” pekik Giandra.

Tanpa aba-aba, Giandra langsung menendang perut pria itu, lalu berlari, dan mendorongnya. Sudarsono dan Agus melawan dua anak buahnya.

Giandra menghantam wajah pemimpin preman itu bertubi-tubi. Tinju dan tendangan mendarat tanpa henti, membuat preman itu terhuyung. Dengan napas memburu, Giandra menarik lengannya, lalu mencekik lehernya hingga napasnya tersendat.

“Akan kubuat kau menyusul bapakku!”

Giandra menyeringai bengis, kemudian menendang dagu preman itu. Seketika darah muncrat, mengotori wajahnya. Giandra mengelap darah di wajah, memutar tubuhnya, dan langsung membanting preman itu ke aspal.

“Anin!!” teriak Sudarsono.

Giandra langsung menoleh, matanya membelalak melihat Anin disekap oleh penjahat yang mengalahkan Agus.

“Lepasin istri saya!” perintah Giandra.

“Kami nggak akan melepaskannya sebelum kalian menyerah,” jawab salah satu penjahat sembari menyeringai.

Giandra mengepalkan tangan, dan melangkah maju, tiba-tiba tubuhnya didekap oleh pemimpin preman.

“Habisi mereka!” raung si pemimpin.

“Siap, Bos!” sahut anak buahnya.

Tanpa aba-aba, Anin menghantam dada penjahat dengan sikutnya. Penjahat itu menjerit, melepas tubuhnya. Anin langsung berlari ke arah Sudarsono.

“Kamu nggak apa-apa, Nak?” tanya Sudarsono sambil meraih pundaknya.

Anin menggeleng cepat. “Ayah baik-baik aja, kan?” tanyanya panik.

Sudarsono mengangguk kecil, lalu berdiri di depan Anin sembari merentangkan kedua tangannya. Tanpa sadar, seorang penjahat mengeluarkan pisau, dan berlari ke arahnya.

“Anin awas!!” teriak Giandra.

Sudarsono menoleh, langsung menarik tubuh Anin, dan berdiri di depannya. Seketika pisau itu menancap perutnya.

“Ayahhh!!” Anin menjerit histeris, suaranya memecah keheningan malam.

Tubuh Sudarsono terhuyung, lalu ambruk di pelukan Anin. Darah hangat mengalir membasahi tangan Anin.

“Ayah ... Kenapa ngelindungin aku?” tanya Anin dengan terisak.

Sudarsono tersenyum tipis. “Lebih baik saya kehilangan nyawa ... Daripada kehilangan peninggalan satu-satunya dari almarhumah istri saya ...” katanya dengan napas tersendat.

Air mata Anin jatuh membasahi wajah Sudarsono. Tangannya gemetar, memeluk tubuh itu erat-erat.

Giandra terpaku, tubuhnya gemetar hebat. Napasnya memburu.

“Hahaha, tamatlah riwayat kalian!” pekik para penjahat.

Tak ada jawaban. Dalam sekejap, Giandra menghantam wajah preman yang menyandera tubuhnya.

“Pak Agus, bawa mereka ke rumah sakit sekarang!” perintah Giandra.

Dengan sisa tenaga, Pak Agus mengangkat Yasir, Ningrum dan Sudarsono satu-persatu, kemudian masuk ke dalam mobil.

“Masuk Anin!” perintah Giandra.

“Tapi—”

“Nggak ada tapi-tapian! Cepat masuk!” bentak Giandra.

Anin membisu, matanya berkaca-kaca. Ia pun masuk ke dalam mobil. Pak Agus langsung menjalankan mobilnya, meninggalkan Giandra sendiri.

Giandra berdiri tegak, tatapannya menusuk tiga penjahat di depannya.

“Kau mau mati seperti bapakmu juga?” tanya penjahat itu.

“Kita lihat siapa yang akan mati,” balas Giandra sembari menyeringai.

Tanpa aba-aba, Giandra melompat, dan bersalto hingga mendarat dekat kayu yang tergeletak di aspal. Giandra menggenggam kayu itu, berlari, memantul ke batang pohon, lalu memutar tubuhnya seperti pusaran.

Brakkk!

Satu tendangan keras menghantam telinga dan wajah ketiga penjahat sekaligus. Dalam hitungan detik, tubuh mereka ambruk dan jeritan melengking.

Giandra berdiri tegak, sorot matanya berkilat di bawah cahaya bulan, dan rambutnya tertiup angin malam.

“Siapa dia? Kenapa tenaganya besar banget?” tanya seorang penjahat.

Tak ada jawaban, salah satu penjahat memaksa bangkit, pisau di tangannya terangkat. Dia berlari, hendak menusuk Giandra. Namun, Giandra menepis pisau dengan lengannya.

“Hahaha, pisau itu tidak akan bisa melukai saya,” ucap Giandra.

Penjahat itu melangkah mundur, matanya membelalak melihat lengan Giandra yang tak terluka sedikit pun.

“Ja–jangan-jangan dia punya ilmu kebal,” ucapnya dengan suara gemetar.

Dengan sekali putaran, Giandra menghantam penjahat di depannya dengan tendangan keras. Lalu, dia masuk ke mobil Yasir, dan meninggalkan tempat tersebut.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!