Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 05
“Apa yang kau inginkan?” pada akhirnya Thariq bertanya, ia menumpukan kaki kanan pada lutut kiri. “Pertanggungjawaban atas kehilangan mahkota mu kah?”
Meskipun dulu dalam keadaan dipengaruhi obat perangsang, tapi samar-samar dirinya menyadari telah merenggut kesucian seorang gadis, diperkuat dengan dua tetes noda merah di atas sprei putih.
“Saya tahu diri untuk tidak serakah meminta hal mustahil itu, Tuan. Sebab Anda telah beristri, dan saya sudah mengikhlaskan kejadian lampau, karena memang murni kecelakaan, lagipula Anda dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar.” Sahira mengatur napas dan detak jantungnya yang mulai menggila.
“Tolong rancang skenario terlihat nyata tentang kematian saya. Buat mereka mempercayai bila saya sudah meninggal dunia.” Ia kembali menunduk, meremas kuat telapak tangannya.
“Apa itu sepadan?” Thariq menaikkan alis kanannya.
Sahira mendongak menatap yakin, sedikitpun tidak ada keraguan pada pancaran matanya. “Sangat. Mereka pasti sedang kelimpungan mencari cara agar cita rasa masakan khas Wita resto tetap sama. Sebagai seorang chef, saya sangat pelit perihal resep andalan, dan tak pernah membocorkan kepada siapapun.”
“Hanya itu saja?” ia menatap heran, wanita dihadapannya ini lain dari kebanyakan. Yang akan bertindak ekstrim, memanfaatkan keadaan, menuntut dinikahi, ataupun minimal dijadikan simpanan asal bisa hidup bergelimang harta.
“Iya.” Sahira mengangguk yakin.
“Apa kau tak ingin balas dendam? Bila iya, saya memiliki rekaman cctv tersembunyi, yang mana isinya dua orang terdekatmu tengah bercumbu ria di area basement. Kau bisa langsung menjatuhkan mereka dengan menyebarkan video itu.” Thariq menelisik raut wajah Sahira yang sama sekali tidak terlihat berminat.
'Tepat seperti dugaan ku. Area hotel itu banyak camera pengintai tersembunyi,' dalam hati ia tertawa, penelusuran orang kepercayaannya tak pernah salah.
“Saya telah mengikhlaskannya, Tuan. Lebih memilih menjauh, pergi, daripada harus berurusan dengan mereka lagi,” terangnya lirih dengan mimik wajah pasrah.
“Setelah keinginanmu terwujud dan berhasil mengelabui mereka, bagaimana dirimu menjalani kehidupan kedepannya?” Thariq masih berusaha mengulik, menerka isi pikiran Sahira.
“Em … saya akan pergi sejauh mungkin, bersembunyi di tempat teraman yang jelas jauh dari jangkauan mereka.”
“Sampai berapa lama kau bisa bertahan hidup layaknya seorang buronan?” ia mendengus, menatap geli wajah polos dan pemikiran sangat sederhana Sahira yang lebih memilih jalan rumit.
“Lantas saya harus bagaimana, Tuan? Hanya itu yang saya mampu, pergi, menghindar, dan bersembunyi. Saya tak punya siapa-siapa selain mengandalkan diri sendiri,” nada suaranya terdengar bergetar, ia menatap dengan pelupuk dipenuhi genangan air mata.
“Tinggallah disini untuk sementara waktu. Kau akan aman.” Thariq menoleh menatap Damar.
'Ini yang kuinginkan,' lagi-lagi batin Sahira tersenyum puas, tapi mimik wajahnya tetap memelas.
Sang asisten paham akan tatapan perintah tanpa suara itu, dia langsung mengambil ponsel dan barang penting lainnya. Bersiap melaksanakan skenario seperti yang dipinta. Tidak ketinggalan cincin tunangan Sahira diambil dan bawa serta.
Sepeninggal Damar, suasana ruangan kembali senyap.
Sahira menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, menatap pada jemarinya yang saling bertautan, ia sadar sedang ditatap sedemikian rupa.
Thariq Alamsyah tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya, menatap Sahira dengan ekspresi rumit.
“Kembalilah ke kamar tadi, tidurlah! Esok pagi, kita bicarakan lagi.” Ia beranjak.
“Sahira … maaf, telah mengambil paksa sesuatu yang begitu berharga milikmu.” Thariq menatap penuh penyesalan.
Sahira mengangkat dagunya, netranya langsung bertemu pandang dengan Thariq. Ia tidak sanggup berkata-kata, hanya mampu mengangguk dalam.
Kemudian Thariq masuk ke kamar utama, begitu juga dengan Sahira, ia kembali memasuki kamar tadi.
Wanita yang beberapa menit tadi menampilkan raut sedih, putus asa, kini menyeringai sambil menutup daun pintu kamar. 'Selangkah lagi.'
.
.
Masih mengenakan pakaian semalam, kemeja putih yang panjangnya setengah paha, tapi kini sudah mengenakan dalaman miliknya yang ternyata digantung pada belakang pintu kamar mandi.
Sahira terlihat memasuki area dapur mini, tapi nyaman dengan peralatan masak lengkap. Dirinya ingin membuat sarapan untuk pemilik apartemen sebagai tanda terima kasih, membuka isi kulkas yang ternyata berisi bahan makanan lumayan lengkap.
Tangannya begitu lincah, terlihat sekali dirinya mahir menggunakan peralatan dapur. Sahira memutuskan membuat menu sarapan sederhana, mie rebus Medan dengan topping ebi sangrai yang didapatkannya dalam botol kaca pada lemari berisi makanan kemasan, lalu merebus kentang dan telur.
Setengah jam kemudian, tiga piring mie rebus menggugah selera telah terhidang di atas meja.
Tidak lama setelahnya, terlihat Thariq keluar dari kamar utama dengan rambut acak-acakan, kaos oblong dan celana selutut. Ia menatap sosok wanita dewasa sedang berkutat di wastafel cuci piring, membelakangi dirinya.
Sosok Sahira terlihat begitu mempesona, rambut digelung asal memperlihatkan leher jenjangnya, sedang mencuci peralatan masak yang kotor.
Ehem.
“Eh … maaf.” Cepat-cepat ia menoleh lalu kembali memalingkan wajah, mengelap tangan pada handuk kecil yang tergantung pada dinding.
“Tuan, maaf kalau saya lancang. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, begitu tak sopan menggunakan dapur Anda.” Ia menunduk dalam, menarik sisi kemejanya agar lebih panjang, padahal kain itu tidak terbuat dari bahan elastis.
“Kau membuat sarapan?” tanyanya mencoba mencairkan kecanggungan.
“Iya Tuan, saya membuat mie rebus Medan, kebetulan cuaca diluar sedang hujan, saatnya yang cocok makan mie berkuah kental,” katanya seraya mendongak, menatap polos.
Sepersekian detik Thariq terkesima melihat semburat merah di pipi, dan senyum begitu tulus pada bibir berbentuk love milik Sahira. Tak ingin dianggap lancang, ia langsung mengalihkan pandangan. “Apa sudah boleh disantap?”
“Tuan, suka?” tanyanya dengan mata berbinar cerah, menambah kadar kecantikan alaminya.
“Menu itu salah satu kesukaan saya.” Ia melangkah ke meja makan, menarik kursi, lalu menghempaskan bokongnya. “Mengapa ada tiga porsi?”
Sahira melakukan hal yang sama, duduk di seberang Thariq. “Satunya lagi untuk Tuan Damar.”
“Dia tak ada disini,” jawabnya singkat tanpa menatap lawan bicara, mengambil garpu dan sendok mulai menyuap kuah kental ke dalam mulut.
Sahira menunggu reaksi Thariq, ia menatap lekat dengan ekspresi lugu.
“Cukup enak,” responnya sambil menatap manik bulat Sahira yang bagaikan mata Rusa, polos, tulus.
“Benarkah? Saya senang bila Anda cukup menyukainya,” ia berikan senyum termanis nya lalu menunduk dan mulai makan.
Hanya ada suara dentingan sendok di atas piring, kedua insan itu makan dalam keheningan.
“Bagaimana kau tahu bila saya tak suka makan sayur itu?” Thariq menunjuk menggunakan garpu pada piring Sahira yang terdapat sayur toge.
“Hah ….?” Sahira melongo, tapi langsung paham. “Sewaktu saya bekerja di Wita resto, sering mendapatkan pesanan menu olahan tanpa sayur toge, saya pun menjadi penasaran siapa sebenarnya yang memesan. Diam-diam mencari tahu, ternyata kebanyakan para pria tidak menyukainya, makanya tadi berinisiatif untuk tak memasukkan ke dalam piring anda, Tuan.”
Mendengar jawaban umum yang masuk akal, Thariq tidak lagi mencoba mencari bahan obrolan, dia begitu lahap mengunyah menu sarapan buatan wanita asing, sampai-sampai milik Damar pun dihabiskannya.
.
.
Sementara di kediaman luas dan tergolong mewah Wiguna, tengah terjadi perdebatan sengit antara dua keluarga.
“Goblok! Selama itu dia menjadi chef di Wita resto, mengapa tak ada satupun dari kalian yang menguasai resepnya, hah?!” Sigit Wiguna terlihat murka sampai wajahnya memerah.
“Ada apa ini …?” tanya sosok anggun bergaun terusan, wajahnya terlihat begitu cantik tanpa cela. “Apa benar anak pungut itu sudah mati?”
.
.
Bersambung.
makasih kak dah Doble up, semoga besok pun sama😁😁😘
semua tokoh punya peran penting dalam cerita baik itu peran baik., jahat maupun hewan sekalipun...
menyala Otor'Ku....
aku ngak sabar part selanjutnyaaaa
Aku kurang yakin...
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🏃🏻♀️🏃🏻♀️🏃🏻♀️
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣