Di tahun 2032, keluarga Wiratama mengikuti program wisata luar angkasa perdana ke Mars—simbol harapan manusia akan masa depan antarplanet. Namun harapan itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika sebuah entitas kosmik raksasa bernama Galactara menabrak jalur pesawat mereka.
Semua penumpang tewas.
Semua… kecuali mereka berempat.
Dikubur dalam reruntuhan logam di orbit Mars, keluarga ini tersentuh oleh sisa kekuatan bintang purba yang ditinggalkan Galactara—pecahan cahaya dari era pertama semesta. Saat kembali ke Bumi, mereka tak lagi sama.
Rohim, sang Suami, mampu mengendalikan cahaya dan panas matahari—melindungi dengan tangan api.
Fitriani, sang Istri, membentuk ilusi bulan dan mengendalikan emosi jiwa.
Shalih anak pertama, bocah penuh rasa ingin tahu, bisa melontarkan energi bintang dan menciptakan gravitasi mikro.
Humairah anak kedua, si kecil yang lembut, menyimpan kekuatan galaksi dalam tubuh mungilnya.
Bagaimana kisah sebuah keluarga ini ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisikan Bintang
Di kamar utama, Rohim Wiratama sudah berbaring di sisi tempat tidur, menanti sang istri. Ia mengenakan piyama couple berwarna biru dongker yang serasi dengan piyama Fitriani, kain katunnya terasa lembut di kulit. Pandangannya kosong menatap langit-langit, pikirannya masih berkelana jauh, memikirkan Project Tesla Nova dan perjalanan ke Mars. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka pelan. Fitriani Ayu Dewi keluar, rambutnya tergerai setelah mandi malam, aroma sabun lavender menguar tipis. Ia melangkah anggun menuju tempat tidur, senyum tipis terukir di bibirnya.
"Ayah belum tidur?" tanya Fitriani lembut, suaranya seperti bisikan malam. Ia memposisikan dirinya di samping Rohim, lalu menyandarkan kepalanya dengan nyaman di dada bidang suaminya. Kehangatan tubuh Rohim seketika menjalar, menenangkan setiap sarafnya.
Rohim melingkarkan lengannya di bahu istrinya, mengusap puncak kepala Fitriani penuh sayang. "Belum, Ibu. Nunggu bidadari bulan cantik dulu," jawabnya dengan nada bercanda, mengecup kening Fitriani. Gerakannya begitu alami, menunjukkan kemesraan yang sudah terjalin bertahun-tahun.
Keheningan sejenak menyelimuti mereka, hanya suara pendingin ruangan yang mendesir pelan. Fitriani memainkan ujung piyama Rohim, jemarinya bergerak gelisah. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya sejak sore. Ia menarik napas dalam, lalu bertanya dengan suara yang sedikit lebih serius.
"Ayah... soal Project Tesla Nova itu. Ayah beneran yakin? Maksud Ibu... itu kan ide besar banget, dan Ayah cerita ada pihak-pihak yang mungkin enggak suka." Fitriani mendongak, menatap mata suaminya dalam temaram. Ada secuil kekhawatiran di sana, gurat cemas seorang istri yang peduli.
Rohim tersenyum tipis, merapikan anak rambut yang menutupi wajah Fitriani. "Ibu masih ingat yang Ayah bilang tadi pagi? Ini bukan cuma proyek, Bu. Ini misi. Aku yakin banget. Lebih dari yakin malah." Bola matanya memancarkan keyakinan yang tak tergoyahkan. "Tadi di kantor, Bapak Dharma, CEO Indo Tech Energy, datang langsung ke briefing. Dia kasih dukungan penuh, Bu. Seluruh sumber daya perusahaan buat Project Tesla Nova ini." Rohim menceritakan dengan nada bangga, tangannya mengelus lembut lengan Fitriani.
"Dukungan penuh?" Fitriani sedikit terkejut. Ia tahu betapa berwibawanya CEO perusahaan suaminya itu. "Wah, berarti memang ide Ayah luar biasa. Alhamdulillah..." Ada kelegaan yang mengalir di wajahnya. Firasat cemas soal pekerjaan Rohim sedikit mereda.
"Tentu saja luar biasa! Siapa dulu suaminya..." Rohim terkekeh, mencubit hidung mancung istrinya pelan. "Tapi, Ibu, Ayah juga mau dengar. Gimana sekolah pertamanya Shalih tadi? Ibu cerita dong."
Fitriani langsung tersenyum lebar, matanya berbinar. Kegelisahannya menguap digantikan kehangatan seorang ibu. "Ya ampun, Ayah! Anakmu itu ya, Masya Allah... beneran jagoan. Tadi dia betah banget, langsung akrab sama teman-teman. Malah, dia bantuin temannya benerin tas, terus pas istirahat bagi-bagi permen ke teman-teman sampai habis permennya." Fitriani bercerita dengan antusias, gerak tangannya mengiringi ceritanya, ekspresinya penuh kebanggaan dan kekaguman. Bibirnya melengkung membentuk senyum tulus, membayangkan kembali kelucuan dan kebaikan Shalih.
Rohim mendengarkan, senyum bangga mengembang di wajahnya. Matanya memancarkan kebahagiaan seorang ayah. "Wah, jagoan Ayah! Bangga banget aku sama dia. Kecil-kecil sudah punya jiwa penolong. Persis kayak Ayahnya," candanya lagi, mengedipkan mata.
Fitriani meninju pelan dada Rohim. "Ih, narsis!" Ia tertawa kecil. "Tapi beneran, Yah. Tadi ibu-ibu lain pada muji-muji. Aku sampai bingung mau jawab apa. Ayah tahu sendiri kan, aku paling enggak suka pujian berlebihan." Nada suaranya sedikit berubah, menunjukkan ketidaknyamanan yang tulus.
"Nah, itu dia. Justru itu yang bikin Ibu istimewa. Ibu enggak haus pujian, kebaikanmu tulus. Sama kayak Shalih," kata Rohim, memeluk istrinya lebih erat. Ia mengerti betul prinsip istrinya itu. "Pujian itu memang kayak racun manis. Kalau keseringan, bisa bikin kita lupa diri."
Keheningan kembali menyelimuti. Kali ini, Fitriani tidak langsung mengisi dengan cerita lain. Jemarinya masih bermain di piyama Rohim, namun kini gerakannya lebih lambat, lebih ragu. Rohim merasakan perubahan suasana hati istrinya.
"Ayah..." Fitriani memanggil lagi, suaranya kini lebih pelan, sarat akan emosi. Ia mendongak, matanya yang indah menatap Rohim lekat-lekat, ada gurat kecemasan yang jelas di sana. "Aku... aku punya firasat aneh, Yah. Sejak tadi sore rasanya campur aduk. Senang banget kita bisa ke Mars, itu kan impian kita dari dulu. Tapi... ada rasa takut juga. Takut banget. Kita... kita akan pulang selamat, kan?"
Napasnya sedikit tercekat di akhir kalimat. Tangan Fitriani mencengkram piyama Rohim erat, seperti ingin mencari pegangan. Kekhawatiran yang ia pendam seharian kini meluap. Ia takut bukan karena diri sendiri, melainkan untuk suami dan anak-anaknya. Perjalanan ke Mars ini adalah sesuatu yang belum pernah terjadi. Mereka adalah keluarga sipil pertama. Ribuan skenario buruk melintas di benaknya, meskipun ia berusaha menepisnya.
Rohim merasakan getaran tubuh istrinya. Ia membalas cengkraman tangan Fitriani, menggenggamnya kuat. Ia memutar tubuhnya agar bisa menatap Fitriani sepenuhnya. Tangannya yang bebas menangkup wajah istrinya, ibu jarinya mengusap lembut pipi Fitriani. Mata Rohim memancarkan ketenangan, mencoba menularkan ketenteraman pada jiwa istrinya yang gelisah.
"Ibu..." Rohim memulai, suaranya dalam dan menenangkan. "Dengar aku. Firasat itu wajar, Ibu. Apalagi ini perjalanan pertama kita ke luar angkasa, ke Mars pula. Pasti ada rasa takut, rasa khawatir. Aku juga merasakan itu." Rohim jujur, ia tidak ingin menyembunyikan perasaannya. Kejujuran akan membuat mereka lebih kuat.
"Tapi yang perlu Ibu tahu, di mana pun kita berada, Ayah akan selalu di samping Ibu dan anak-anak. Di Bumi, di roket, sampai nanti di Mars. Apapun yang terjadi, kita akan hadapi bersama. Aku janji." Rohim menatap mata Fitriani lekat-lekat, memberikan seluruh keyakinannya melalui pandangan matanya. "Dan soal pulang selamat... itu semua sudah rencana Allah, Ibu. Kita sudah berusaha, kita sudah berdoa. Selebihnya, kita serahkan sama yang di Atas. Yang penting, kita bersama, kan?"
Rohim memeluk Fitriani lebih erat, mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Ia merasakan tubuh istrinya perlahan mengendur, ketegangan di bahu Fitriani mulai mereda. Kata-kata Rohim, janji dan ketulusannya, adalah penenang terbaik bagi Fitriani. Ia tahu ia bisa mengandalkan suaminya. Piyama couple yang mereka kenakan seolah menjadi simbol ikatan mereka yang tak terputus.
"Iya, Yah... Ayah benar," gumam Fitriani, suaranya masih sedikit serak. Ia memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan hangat suaminya. Rasa lega perlahan membanjiri hatinya, mengusir awan-awan kekhawatiran yang menggelayuti. Kekuatan Rohim bukan hanya pada bahunya, tapi juga pada kata-katanya yang menenteramkan.
Setelah beberapa saat, Fitriani mendongak lagi, senyum tipis kembali merekah. "Ayah, dulu waktu pertama kali kita ketemu, aku enggak pernah nyangka bakal sampai di titik ini."
Rohim tersenyum. "Memang Ibu, kita berdua sama-sama enggak pernah nyangka. Tapi ini kan takdir," katanya, mengusap lembut pipi Fitriani.
"Dulu itu ya, Yah. Aku masih ingat banget, pas di acara Seminar Teknologi di kampusmu. Aku kan ikut karena disuruh Ibu Dosen buat liputan," Fitriani mulai bercerita, matanya menerawang, mengenang masa lalu. "Aku lihat Ayah presentasi di depan. Wah, gayamu itu lho, keren banget! Pake kemeja rapi, kacamata tipis, ngomongin inovasi energi terbarukan. Aku langsung mikir, 'Wih, Mas ini calon orang penting nih'." Fitriani terkekeh, mencubit pinggang Rohim pelan.
Rohim tertawa terbahak-bahak mengingat momen itu. "Hahaha! Itu trik lama, Bu! Kan aku emang modus biar bisa kenalan sama Ibu. Masa Ibu enggak sadar?"
"Ih, Ayah! Mana aku tahu! Aku kan polos waktu itu," balas Fitriani, memukul dada Rohim pelan, tapi senyumnya mengembang. "Aku kan mikirnya kamu beneran butuh bantuan. Makanya aku bantuin. Eh, enggak tahunya modus. Dasar buaya!" Ia mencemberutkan bibirnya, namun matanya berbinar geli.
"Buaya-buaya gini, jadi suami kan?" Rohim mencolek hidung Fitriani. "Terus akhirnya kita tukeran nomor, terus chatting-an sampai larut malam, terus ketemuan lagi, terus... jatuh cinta deh." Rohim merangkum kisah mereka dengan cepat, senyumnya romantis.
"Terus Ayah ngajak aku ke taman kota. Nembak aku di bawah pohon rindang pas sore hari. Romantis banget!" Fitriani melanjutkan, matanya berbinar mengenang masa-masa pacaran mereka. "Ayah bilang, 'Fitriani, aku enggak tahu masa depan akan seperti apa. Tapi aku yakin, bersamamu, aku bisa menghadapi apa pun. Maukah kamu berjalan bersamaku, membangun masa depan yang penuh cahaya?'" Fitriani menirukan ucapan Rohim dengan gaya yang dibuat-buat dramatis.
"Hahaha, Ibu inget detail banget!" Rohim memeluk Fitriani lebih erat, mencium puncak kepalanya. "Itu memang janji aku, Sayang. Dan sampai sekarang, janji itu masih berlaku. Aku siap menghadapi apa pun bersamamu dan anak-anak kita. Bahkan ke Mars sekalipun."
Fitriani mendongak, menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Perjalanan panjang hidup mereka, dari pertemuan tak terduga hingga janji di bawah pohon, dan kini, impian gila untuk menjelajahi Mars. Semua terasa begitu sempurna dalam dekapan Rohim. Firasat aneh tadi sore seolah hilang ditelan kehangatan dan kenangan indah ini. Mereka adalah tim. Mereka adalah keluarga. Dan mereka akan menghadapi semuanya bersama.
"Aku cinta Ayah," bisik Fitriani, mengusap rahang Rohim lembut.
"Aku juga cinta Ibu, lebih dari apa pun," balas Rohim, menunduk, bibirnya menyentuh bibir Fitriani. Sebuah ciuman lembut, penuh cinta, dan janji yang tak terucapkan.
Mereka berdua lalu memejamkan mata, tidur saling memeluk. Di luar jendela, bulan bersinar terang, seolah menyaksikan dua insan yang siap menghadapi takdir, di Bumi maupun di antara bintang-bintang.