Orang bilang Abel yang jatuh cinta duluan dengan gombalan-gombalan itu, tapi Abi juga tahu kalau yang rela melakukan apa saja demi membuat Abel senang itu Laksa.
.
Berawal dari gombalan-gombalan asbun yang dilontarkan Abel, Laksa jadi sedikit tertarik kepadanya. Tapi anehnya, giliran dikejar balik kok Abel malah kabur-kaburan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanadoongies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
***
Laksa menyimak grup sembari menyaksikan Donghua favorit. Sebuah animasi 3D versi Tiongkok dengan jalan cerita yang seru disertai tampilan grafik yang memukau. Tapi, Laksa tidak menyebut dirinya sebagai wibu kok, sebab yang ia tonton hanya khusus Donghua saja.
“Dek, peralatan buat besok udah disiapin semua?” tanya sang ibu.
“Udah.”
“Yang teka-teki itu udah juga?” Mitha datang sembari membawa tahu isi ala-ala. “Crosscheck ke Abi dulu sana, mumpung masih jam segini. Nanti kalau udah kemaleman jadi susah nyarinya.”
“Udah tadi.”
Mitha menoleh dengan gelengan kecil. “Dek?”
“Apa, Nda?”
“Kalau lagi ngomong sama bunda tuh nggak bisa lebih dari lima kata, ya? Berasa lagi pdkt-an sama cowok yang nggak suka sama bunda aja. Agak ramean dikit dong! Bunda nggak ada demen ngobrol karena ayahmu belum pulang nih.”
“Bingung mau ngobrolin apa.”
“Ngga bapak, nggak anak, sama aja kalau disuruh ngomong. Untung rasa sayang bunda ke kalian masih utuh kayak sebelum-sebelumnya.”
Laksa terdiam lagi. Mitha jadi harus cari cara agar keduanya bisa mengobrol lebih panjang. Kalau terus diam-diaman seperti ini, yang ada dia malah mati kebosanan.
“Dek.”
“Apaa?”
“Katanya pulang sekolah tadi adek dibeliin siomay sama kakak pendamping, ya?”
“Kata siapa?”
“Mamanya Abi.” Laksa sedikit mendengus kecil. Meskipun sudah menduga, tapi mendengarnya secara langsung ternyata tetap menjengkelkan juga.
“Yang lain juga dibeliin.”
“Tapi yang diajarin secara mandiri, ‘kan, cuma adek.” Mitha mulai ancang-ancang menggoda. “Ciee baru hari kedua udah diperhatiin sama kakak pembimbing aja. Mana katanya cantik lagi.”
“Diperhatiin apanya orang Laksa nggak bisa baris-berbaris.”
“Terus latihan berdua?”
“Ya, iya. Laksa dikeluarin dari barisan karena bikin temponya berantakan.”
Mitha menyenggol-nyenggol lengan putranya. Senyumnya terlihat mentereng. “Baik tuh dia karena sabar ngajarin adek sampai bisa.”
“Orang habis itu dilombain. Bunda jangan kebanyakan nonton drama romansa deh.”
“Kalau cocok sama dia juga nggak apa-apa tau, Dek. Yang penting nilai sekolahnya nggak terganggu dan bisa meningkatkan produktivitas belajar. Adek udah remaja nih, udah bunda bolehin buat kenalan sama lawan jenis. Jangan cuma main sama Abi mulu, bergaul sama yang lain sana.”
“Nggak minat.”
“Adek punya nomornya, ‘kan? Kasih lihat ke bunda gimana orangnya dong.”
“Nggak nyimpen.”
Pada akhirnya, Mitha hanya bisa pasrah. Merayu putra tunggal yang lahir dari jelmaan bongkahan es kutub utara memang cukup merepotkan. Kalau tidak dibalas seadanya, pasti terdengar tidak suka.
Meskipun begitu, Laksa cocok sekali kalau disandingkan dengan ayahnya. Selain plek-ketiplek, keduanya juga sama-sama tidak suka bicara.
“Besok bunda mau titip risol mayo buat kakak pendampingmu. Dikasih ke orangnya langsung bukan malah ditilep terus dimakan sama Abi.”
“Yang dibeliin siomay bukan cuma Laksa aja, Nda. Itu tuh wujud apresiasi karena peleton Extraordinary udah bekerja keras sampai akhir. Harus banget dibalikin pake risol mayo? Nggak sebanding banget.”
Laksa jelas tidak terima. Wong risol mayo itu camilan kesukaannya, masa harus diberikan pada si petasan banting dengan cuma-cuma. Ya, ndak ikhlas lah!
“Kata siapa bunda mau berterima kasih pake risol mayo? Orang bunda mau kenalan sama kakak pendampingmu itu.”
Laksa kontan memejam sembari memijat pangkal hidungnya. Nggak Abi, nggak bundanya, sama-sama suka bikin gosip yang iya-iya.
***
Laksa tak henti-hentinya memaki. Tapi bukan karena sekotak risol mayo yang dihias dengan ala-ala. Melainkan karena ban motornya bocor di tengah jalan. Ia yang sudah bangun terlalu pagi—sang bunda terlalu antusias— terpaksa kesiangan juga kalau begini caranya.
“Bang, bisa agak cepetan lagi nggak? Saya harus MPLS nih, nanti kena semprot sama OSIS kalau datangnya kesiangan.”
“Bentar lagi, Dek. Lagian udah tahu nggak boleh telat, bukannya cek kendaraan sebelum berangkat malah ngomel-ngomel di sini. Masih untung saya tolongin nih, kalau nggak sabar, cari ojek aja. Kerjaan saya bukan cuma ngurusin motor kamu doang.”
Hal yang paling menyebalkan dari itu semua adalah ketika tidak ada satu pun dari teman-temannya yang bisa menolong. Bahkan sejenis manusia anti offline seperti Abel Kalula, kini malah tak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Ah, semesta benar-benar ingin menghukum mentang-mentang ia menertawakan Bian kemarin, ya?
“Bel, angkat telepon gue. Angkat telepon gue.”
Bahkan setelah panggilan kelima, Abel tetap tak menjawab teleponnya juga. Harus banget, ya, di saat genting seperti ini, Abel malah menyalakan mode jangan ganggu?
Kalau sudah begini caranya, Laksa terpaksa pasrah daripada buang-buang tenaga untuk menyalahkan keadaan.
“Udah nih, Dek. Kasirnya ada di sana tuh. Lain kali sebelum pergi ke mana-mana cek kendaraan dulu biar hal kayak gini nggak terulang lagi.”
“Makasih, Bang.”
Meskipun tak begitu lama, namun Laksa masih harus berperang dengan lalu lintas yang terasa cukup padat. Sekalipun jago selap-selip macam pembalap nomor satu, ujung-ujungnya tetap terlambat juga. Bukan hanya pagar yang ditutup tinggi-tinggi, tapi Bian sudah nangkring di sana untuk cari perkara dengannya.
Oh, mungkin segalanya akan bercampur dengan rasa cemburu.
“Telat?”
Bian mengamati Laksa dengan tangan menghuni kantong celana. Lebih dari itu, seringaian tipis tiba-tiba muncul dari sudut bibir. Mencemooh kesalahannya. Mungkin diam-diam tengah merayakan momen baiknya juga.
“Cek barang bawaannya. Kalau ada yang kurang atau salah, push-up 10 kali.”
Abel benar-benar tidak ada di sana. Seolah tengah membuktikan ucapannya kemarin. Yang terlihat sekarang hanya antek-antek pribadi milik Bian : Evan, Chandra, Rezza dan sosok-sosok lain yang ahhhh Laksa enggan menghafalnya satu persatu.
“Lengkap, Bi.”
“Hebat juga.”
Bian berjalan memutari lawan bicaranya. Di detik netra keduanya bertatapan lagi, ia terang-terangan mengejek dengan kekehan sarkas.
“Mentang-mentang jadi anak gugusnya Abel, langsung berani cari gara-gara. Lo tahu? Abel sekarang nggak ada di sini, jangan harap lo bisa cari perhatian dia kayak kemarin. Sampah!”
Laksa ikut mengejek dengan menelengkan kepala. “Ketua OSIS SMA Dream Catcher ternyata gampang bias sampai ngga bisa bedain mana urusan pribadi, mana urusan organisasi.”
Bian tergelak. Dia menyilangkan tangan dengan wajah angkuh. “Oh, ya? Tapi nggak ada yang nyadar soal itu tuh. Sekali pun gue memanfaatkan jabatan gue buat bikin lo jauhin Abel, juga sah-sah aja. Pemenangnya tetap gue, Megantara Laksa. Seharusnya lo sadar lagi berhadapan dengan siapa lo sekarang.”
“Ngoceh aja semau lo.” Laksa pura-pura mengorek telinganya. “Gue juga nggak peduli sama omong kosong lo itu.”
Bian memutar arah, kini tengah menuju lantai tiga tempat dilaksanakannya MPLS hari ketiga. Tapi sebelum itu, ia sempat berpesan :
“Suruh dia cari semanggi berdaun empat sampai dapat. Sebelum bisa nunjukkin daun itu ke gue, jangan harap bisa mengikuti rangkaian MPLS hari terakhir.”
Evan kontan menyahut. “Lo denger itu, ‘kan?”
Laksa mendengus, sedikit mengejek keangkuhan itu. Dia segera bergegas ke taman belakang sekolah, meskipun tak yakin tumbuhan yang dicarinya ada di sana, tapi tidak ada salahnya mencoba.
Di saat yang sama, Abel berpapasan dengan Bian di anak tangga.
“Mau ke mana?”
“Laksa telat karena ban motornya bocor. Gue mau kasih tau anak-anak buat kasih dia keringanan karena udah kirim bukti.”
“Atas alasan apapun itu, telat bakal tetap jadi telat, Bel. Jangan mentang-menang dia anak gugus lo, lo bisa kasih keringanan sampai segininya. Nggak usah turun, dia udah diurusin sama anak-anak.”
Ketika lengannya dicekal, Abel refleks membalas dengan tatapan nyalang. “Kemarin kita udah sama-sama setuju buat kasih toleransi selama mereka kasih bukti kenapa bisa terlambat. Sekarang lo mulai lupa sama peraturan yang lo buat sendiri?”
“Kalau dia ngecek kendaraan sebelum berangkat, dia nggak akan telat kayak gini.” Bian mendorong bahu Abel sampai punggungnya membentur dinding.
"Berhenti belain dia terus. Lo nggak profesional kalau selalu bias sama dia.”
“Terserah lo.”
Abel mendorong daksa Bian, lalu menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Mungkin bagi beberapa orang, sikapnya memang bias, tapi bagi seorang kakak pendamping, muncul perasaan tidak rela jika anak gugusnya dicurangi oleh orang lain.
“LAKSA, LO NGAPAIN KAYAK GITU?!”
Dan, segala cara pandang tentang Bian, mulai berubah drastis setelahnya.