NovelToon NovelToon
Aku Pergi Membawa Benih Yang Kau Benci

Aku Pergi Membawa Benih Yang Kau Benci

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Lari Saat Hamil / Single Mom / Obsesi / Ibu Mertua Kejam / Menikah dengan Kerabat Mantan
Popularitas:39k
Nilai: 5
Nama Author: Rere ernie

Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.

Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.

"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.

Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.

Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.

Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...

Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter - Tujuh.

Mobil Davin berhenti tak jauh dari gerbang sekolah TK. Beberapa orang tua tampak berdatangan, mengantar anak-anak mereka. Suasana biasa itu sedikit berubah saat Davin turun dari mobil dan berjalan berdampingan dengan Alina, menggandeng tangan kecil Daffa.

Padahal, Alina sempat menahan, tapi Davin punya caranya sendiri. Dan seperti biasa, Alina tak mampu melawan keyakinan pria itu.

Bisik-bisik pun tak terelakkan.

“Itu... Papa-nya Daffa, ya?”

“Wah, gagah dan berwibawa.”

“Loh, katanya Bu Alina itu janda. Nggak ada yang tahu siapa ayah nya Daffa. Dari anak itu lahir pun, Bu Alina sudah sendiri...”

Desas-desus itu sampai ke telinga Alina, tapi wajahnya tetap tenang. Ia sudah terlalu akrab dengan cibiran semacam itu sejak pertama kali menginjakkan kaki di Jogja. Dulu, ia dituduh hamil di luar nikah. Ketika ia luruskan bahwa dirinya adalah janda, gosip justru malah semakin menjadi.

Wajah cantiknya jadi permasalahan, banyak ibu-ibu merasa terancam lalu mulai menyebar fitnah agar suami mereka tak tergoda oleh janda muda yang katanya pandai bersolek.

Davin mendekat sedikit, suaranya pelan tapi jelas. “Kamu sepertinya sudah terlalu sering jadi bahan pembicaraan.”

Alina mengangguk kecil. “Aku hanya punya dua tangan, Davin. Tak mungkin kupakai untuk menutup semua mulut yang berbicara. Maka... kupilih menulikan telinga. Selama aku tak menyakiti siapa pun, untuk apa aku peduli?”

Alina menghela napas, namun sorot matanya tetap tegar.

Dengan senyum tipis yang nyaris tak terbaca, Davin menoleh pada Alina. Sorot matanya teduh, namun menyimpan sesuatu yang lebih dalam semacam kemarahan diam pada dunia yang terlalu gemar menghakimi tanpa tahu kisah di baliknya.

“Lucu ya, mereka bicara seolah hidupmu adalah milik mereka. Padahal... mungkin saja tak satu pun dari mereka tahu rasanya bertahan sendirian seperti kamu.”

Alina menatap pria itu sejenak, ada ketenangan dalam ucapannya namun juga ketegasan yang membuat dada Alina terasa aneh. Hangat... tapi juga getir.

“Aku sudah terbiasa, Davin. Mereka hanya melihat dari apa yang terlihat... tapi mereka tak pernah tahu apa yang benar-benar aku perjuangkan.”

Davin mendekat, meraih pundak Alina dengan satu sentuhan ringan namun protektif. “Tapi sekarang kau tak perlu hadapi semua ini sendiri.“

Alina terdiam.

Suasana pagi di depan gerbang sekolah tetap sibuk, namun bagi mereka berdua... waktu seperti berhenti sejenak.

Di seberang, beberapa ibu masih mencuri pandang sambil berbisik. Namun kali ini, Davin menatap balik dengan begitu tegas. Tanpa senyum, seolah berkata 'hati-hati memilih kata, sebab aku di sini berdiri di pihaknya'.

Dan seperti biasa, sorotan dingin dari pria berjas itu cukup untuk membuat bibir yang tadinya sibuk menggosip, perlahan bungkam.

Daffa yang belum mengerti apa-apa, hanya menoleh ke atas dan menggenggam lebih erat tangan Alina. “Bunda, nanti jemput Daffa ya…”

Alina menunduk dan tersenyum, suaranya lembut. “Iya, Sayang.”

Davin ikut menunduk, mengacak rambut Daffa sekilas. “Met sekolah jagoan!“

Daffa mengangguk dengan senyum mengembang, lalu melangkah masuk ke halaman sekolah. Kecil, tapi percaya diri. Seolah dia pun tahu, ada dua sosok kuat yang kini berdiri di belakangnya.

Saat itu, tanpa sadar Alina mengembuskan napas panjang. Bukan karena lelah, tapi anehnya karena untuk pertama kalinya... dia merasa tak lagi sendiri.

.

.

.

Suasana kafe itu tenang, lampu gantung bergoyang pelan tertiup angin pendingin ruangan. Alina duduk di hadapan Davin, menyentuh cangkir kopinya yang sudah agak dingin. Ada ketegangan samar yang menggantung di antara mereka namun bukan karena debat, tapi karena sesuatu yang belum diucapkan.

Davin duduk tegak, kedua tangannya bertaut di atas meja. Kali ini tak ada sikap sok tenang atau wajah kaku seperti biasanya. Pria itu terlihat lebih serius, bahkan terlalu serius hingga Alina merasa jantungnya ikut tegang.

“Jadi?” Alina akhirnya memecah keheningan.

Davin menoleh pelan, sorot matanya tajam namun bibirnya tetap datar. “Aku ingin menanyakan sesuatu padamu. Ini... agak sensitif.”

Alina mengangguk kecil. “Tanyakan saja.”

Davin menarik napas seolah sedang membaca catatan di kepalanya. “Nama mantan suamimu... Rama Mahendra, betul?”

Alina terperanjat, Ia nyaris menjatuhkan sendok kecil di piring tatakannya. “Dari mana kamu tahu nama itu?”

“Semalam, ada pertemuan bisnis. Dan, ada delegasi dari Jakarta. Salah satunya adalah Pria itu. Dia mengatakan sedang mencari mantan istrinya, yang menghilang lima tahun terakhir.”

Davin berhenti sejenak, lalu menatap Alina lurus-lurus. “Itu kamu, kan?”

Alina mengalihkan pandangannya, menarik nafas dalam-dalam. “Ya, itu aku. Lima tahun lalu... aku pergi darinya dan menghilang. Temanku yang mengurus semua proses perceraian, aku bahkan tak pernah hadir di pengadilan.”

Ia diam sebentar, tangannya menggenggam pangkuannya erat. “Aku... tidak ingin mengingat apa pun tentang masa lalu itu. Tapi aku tahu, seandainya jika kami bertemu lagi... dia pasti tak akan membiarkanku pergi begitu saja. Karena aku pergi tanpa berpamitan, setelah semua yang dia lakukan padaku.”

Davin mengangguk perlahan, tak ada ekspresi berlebihan di wajahnya. Hanya ketenangan yang nyaris membuat Alina bingung, apakah pria ini benar-benar manusia?

“Aku tidak tahu detailnya. Dan... aku tidak ingin mendesakmu untuk menceritakan hal-hal yang membuatmu tidak nyaman. Tapi... bisakah kamu, maksudku izinkan aku untuk memberikan semacam perlindungan padamu?”

Alina menaikkan alis. “Perlindungan?”

Baru lah Davin tampak canggung, ia mengangkat cangkir untuk meredakan kecanggungan, namun lupa kalau isinya sudah habis. Lalu ia meletakkannya kembali, seolah itu bagian dari gestur yang disengaja. “Ya... secara moral dan mungkin logistik juga. Maksudku, kalau ada yang perlu dibantu... aku siap.”

Kali ini Alina tak bisa menahan senyum gelinya. “Seperti kataku sebelumya... kita baru beberapa kali bertemu, Davin. Tapi, kamu tiba-tiba ingin menjaga aku dan Daffa. Kamu bicara seperti—”

“Seperti aku mencintaimu?” potong Davin dengan cepat dan wajahnya langsung memerah setelahnya.

Alina terdiam, tak menyangka Davin akan se-frontal itu. Bahkan, ekspresi gugup pria itu justru membuat pernyataan Davin terdengar lebih tulus.

Davin membersihkan tenggorokannya. “Maksudku… ya, mungkin terdengar tidak proporsional. Tapi… bagaimana kalau aku memang menginginkanmu, Alina?”

Alina menatap pria itu dalam diam.

Untuk sesaat, yang terdengar hanya detak jam kafe dan alunan jazz yang mengalun dari speaker.

Davin menunduk sedikit, lalu bergumam dengan suara hampir tak terdengar. “Dan… aku menginginkan Daffa juga.“

Alina menatap pria itu lamat-lamat dan entah kenapa untuk pertama kalinya, hatinya berdebar. Bukan karena takut seperti saat ia memikirkan tentang mimpi buruknya, tapi hatinya berdebar karena seorang pria yang terlalu kaku, terlalu jaim dan terlalu jujur... namun justru baginya perasaan Davin terasa nyata.

Dengan senyum yang nyaris tak bisa ia tahan, Alina menunduk pelan menatap uap tipis yang sudah menghilang dari cangkir di hadapannya. Suasana di antara mereka kembali diam, tapi bukan hening yang canggung melainkan jeda yang terasa hangat… dan agak absurd.

Davin, di sisi lain mengatur ulang posisi duduknya. Menegakkan punggung, memutar sendok kecil tanpa alasan lalu dengan usaha yang sungguh tak perlu berusaha terlihat tenang.

“Kalau pernyataan ku barusan dianggap terlalu agresif dalam konteks emosional, aku mohon abaikan saja. Anggap itu... kesalahan logika spontan.” Davin mengangkat bahu sedikit, seperti sedang berpidato di rapat direksi.

Alina menatapnya tak percaya. “Kesalahan logika spontan?”

Davin mengangguk mantap, ekspresinya super serius. “Ya! Karena, secara statistik... aku sepertinya belum pantas membuat pengakuan semacam itu. Seperti katamu, frekuensi pertemuan kita belum mencapai level yang representatif untuk komitmen emosional.”

Davin kembali ke setelan awal, berpikir dan bicara sebagai seorang insinyur.

Alina langsung tertawa kecil meski tertahan, tawa sopan tapi jelas terhibur. “Kamu sadar nggak sih, kamu tuh kayak robot yang lagi belajar untuk jatuh cinta?”

Davin tidak tersinggung, tapi justru ekspresinya membuatnya makin terlihat menggemaskan dalam kejanggalannya.

“Aku hanya tidak ingin merusak tatanan logika. Perasaan itu... kompleks. Tapi aku mencoba menyampaikan dengan cara yang paling efisien.”

Pria itu menghela napas pelan, lalu menatap Alina tanpa topeng. “Intinya, Alina. Aku ingin kamu tahu… kalau kamu butuh seseorang, aku bersedia jadi seseorang itu meskipun aku belum tahu caranya.”

Seketika, Alina terdiam. Senyumnya meredup menjadi sorot mata yang menyimpan banyak luka.

Davin membungkuk sedikit ke depan, ke arah Alina duduk. Masih dengan tatapan canggung khasnya, tapi kali ini ada ketegasan yang menguat.

“Kalau kamu sedang berdiri goyah, aku ada berdiri di belakangmu. Kalau kamu akan terjatuh… aku mungkin kaku dan telat menangkap mu. Tapi aku akan mencoba, aku akan terus belajar.”

“Davin, kamu itu kaku tapi bagiku sangat lucu. Kamu versi seseorang yang bisa membuatku nyaman...“

Davin akhirnya membiarkan senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Bukan senyum yang ia rencanakan, bukan pula hasil analisis logika. Tapi senyum yang muncul... karena hatinya mulai ikut campur.

Dan di dalam kafe kecil itu, di antara dua cangkir yang mulai dingin. Keduanya sama-sama tahu, mungkin mereka masih asing tapi langkah menuju rasa... baru saja dimulai.

Setelah perpisahan singkat mereka di kafe, Davin melangkah keluar dengan langkah tenang namun mantap. Matanya langsung menatap mobil hitam yang sejak tadi membuntuti, menyaksikan setiap gerak-geriknya bersama Alina.

Ia mendekat hingga berdiri di sisi pintu pengemudi, tak lama jendela mobil itu perlahan terbuka.

“Kenapa kau mengikutiku?” Suaranya tenang, tapi nadanya mengandung peringatan dingin.

Pria di dalam mobil menunduk hormat. “Maaf, Tuan Muda. Nyonya Besar mendengar kabar bahwa Anda... tengah dekat dengan seorang wanita. Saya hanya menjalankan perintah untuk mencari tahu.”

Davin menyipitkan mata, lalu menatap pria itu tanpa berkedip. “Katakan pada Mama, jangan ikut campur urusan pribadiku.”

Nada suaranya tegas, tanpa celah untuk dibantah.

Glek.

Orang suruhan itu menelan ludah, tubuhnya menegang namun akhirnya ia hanya bisa mengangguk patuh.

1
Fani Indriyani
Syukur banget deh kalo Ratna mengirim foto2 itu ke Gendis biar Gendis ga asal nerima Galang lagi,jijik banget deh ma Galang...msh mending Rama walaupun dia bego tapi dia ttp setia ma Alina walaupun Erika selalu nempel
Fani Indriyani
Cih,najis banget kamu Lang..semoga Gendis ga mau menerima kamu lagi
Fani Indriyani
Kucing dikasih ikan asin ya dimakan pdhal ada ikan segar malah dibuang 🤦‍♀️🤦‍♀️nasibmu Lang ga beda ma kakakmu,buang berlian demi batu kali
Fani Indriyani
Wow ternyata...ya sdh Gendis ma Rama aja ya,tapi Rama jg harus berubah jgn cepet percaya dgn apa yg dilihat dan didengar,selidiki dulu ... semoga ingatan Rama kembali dan bs berjodoh ma Gendis
Tiara Bella
kan biar seru ceritanya jd ngedrama dl....klu langsung cerai tar ceritanya hbs deh hehehhee....
Tri Yoga Pratiwi
gak usah, mending sama Rama 🤔
Mineaa
Gaaaaaakkkkkkkkk.........😡
Eli sulastri
saudara seayah
Lot 59
jangan diterima. Galang dah selingkuh.. Biar Gendis dengan Rama.
nonoyy
mampusss si galang suami ngak ada akhlak
Rita
iyalah gitu donk
Rita
good
Rita
olahraga b2
Rita
kapokmu mbojo
Rita
bagus
vj'z tri
tuman lah author ini bikin akoh penasaran pake banget loh 🤭🤭🤭🤭
vj'z tri
hahahahhahahahaha pelindung gendis gak main main bro 😎
vj'z tri
gak gak gak Sudi gak gak Sudi ,gak ikhlas gak redo balik sama boneka Mampang 🤣🤣🤣🤣🤣
vj'z tri
boom 🤣🤣🤣🤣 siap siap drama ikan terbang di mulai ku menangisss membayangkan betapa bodoh nya kena tipu sekarang ku menyesali 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Anonymous
pengusaha lho harusnya lebih peka dalam membaca situasi,eh tapi kembali lagi kalau othor udah mentakdirkan ya pasti terjadi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!