Althea hanya ingin melupakan masa lalu.
Tapi takdir membawanya pada seorang Marco Dirgantara ,CEO Dirgantara Corp sekaligus mafia yang disegani di Eropa.
Kisah cinta mereka tidak biasa. Penuh luka ,rahasia dan bahaya.
Bab 7 - Batasan yang Mulai Goyah
Pagi itu, sinar matahari kota Rotterdam menyelinap malu-malu lewat celah tirai kamar hotel. Althea terbangun di sofa panjang, dengan leher terasa kaku dan selimut tipis masih melingkupi tubuhnya. Di meja kecil di depannya, ada termos logam elegan dengan cangkir mungil berisi teh yang masih mengepul hangat.
Keningnya berkerut. Itu bukan miliknya.
Ia menoleh, mengedarkan pandangan. Pintu kamar utama sedikit terbuka, dan dari dalam terdengar suara air yang mengalir.
Langkahnya pelan mendekat.
Belum sempat mengetuk, suara berat itu terdengar dari dalam, membuatnya refleks berhenti.
“Minumlah sebelum dingin.”
Althea tersentak. “Kapan Anda...”
“Aku bangun lebih dulu darimu, dan aku menyiapkan teh ,hanya Itu saja.”
Suara Marco terdengar santai namun dalam, dari balik pintu yang sedikit berembun.
Althea menggigit bibir bawahnya ,ada sesuatu yang terasa berbeda. Sikap Marco... keheningan itu... dan teh hangat pagi ini, semua terasa terlalu... intim.
*****
Di dalam mobil, perjalanan kembali ke Amsterdam terasa sunyi. Tapi bukan sunyi yang canggung ,lebih terasa seperti ketenangan menjelang badai.
Marco menyetir sendiri kali ini ,tanpa supir, tanpa asistennya, hanya mereka berdua. Jarak antara tempat duduk mereka terasa sempit, tapi suasananya seperti laut dalam yang menahan gelombang.
Althea melirik pria di sebelahnya ,wajah tegas dan tampan Marco menatap lurus ke jalanan, tapi rahangnya mengeras ,seperti sedang berpikir keras.
“Apa saya duduk di depan membuat mu tidak nyaman?” tanyanya hati-hati.
Marco meliriknya sekilas, lalu kembali menatap ke depan. “Kalau aku tidak nyaman, kamu sudah pasti duduk di luar mobil sejak tadi.”
Althea mengerucutkan bibirnya ,menoleh penuh rasa tidak percaya. “apa kamu selalu bicara setajam ini?”
Marco mengangkat salah satu sudut bibirnya, menyunggingkan smirk tipis.
“Karena orang-orang di sekitarku terbiasa takut ,kecuali kamu.. kamu tetap duduk di sini, dan itu sedikit menyebalkan.”
Althea terkejut tak percaya “Menyebalkan?”
“Ya,” jawab Marco, lirih. “Karena aku sedikit sulit membaca pikiranmu.”
Ucapan itu menggantung di udara.
Althea terkekeh pelan kemudian kembali memandang keluar jendela. Jalanan yang berlalu cepat tidak membantu menenangkan detak jantungnya.
“Saya sudah lama belajar menyembunyikan banyak hal ,Marco.. karena kalau tidak ,saya pasti sudah hancur sejak dulu.”
Marco tak menjawab ,dan suasana kembali Hening.
Hanya ada desah napas mereka dan dengung mesin mobil.
Lalu, tanpa menoleh, Marco bertanya pelan, “Apa kau punya rasa takut padaku, Althea?”
“Sedikit,” jawabnya jujur.
“Kenapa tidak sepenuhnya?”
Althea menelan ludah kasar.
Karena saya ingin tahu... apa yang ada di balik dinginmu...
Dan tentunya jawaban itu hanya ia ucapkan dalam hati.
---
Sesampainya di kantor, suasana kembali menjadi rutinitas. Tapi ada udara yang terasa berbeda ,ketegangan yang tidak bisa dijelaskan.
Althea baru saja menaruh tas di ruangannya ketika Siska, salah satu staf HRD yang terkenal cerewet, langsung datang menghampiri dengan senyum menyebalkan.
“Wah, akhirnya datang juga ,prok prok prok...
Bagaimana rasanya bermalam dengan CEO tampan dan Berkuasa seperti Tuan Marco, apa itu Nikmat?” suaranya penuh sindiran.
“Tentuuu ,dan rasanya Capek sekali.. ditambah banyak revisi,” jawab Althea datar.
“Siska memberengut ,Oohh capek karena cuma revisi, atau..... ? Katanya, CEO kita itu jarang ngajak karyawan perempuan pergi sendirian...” godanya sambil mengedipkan mata.
Althea hendak menjawab, tapi sebelum sempat bicara, tangan Siska dengan sengaja menyenggol bahunya.
Dan saat itu ,sebuah tangan besar mencengkeram pergelangan tangan Siska.
Semua kepala menoleh ,suasana kantor seketika sunyi.
Marco.
“Tuan Marco...” Siska panik ,wajahnya pucat
Marco menatapnya tajam.
“Siska ,Kembali ke mejamu. Dan selesaikan laporan yang sudah kau tunda sejak minggu lalu. Sekali lagi aku dengar kau menyentuh stafku tanpa izin... maka aku pastikan kau tidak akan menyentuh meja kerja ini lagi!”
Wajah Siska semakin pucat. Ia menunduk dan cepat-cepat pergi.
Althea masih berdiri di tempat, menahan napas.
Marco menatapnya dalam. “Masuk ke ruanganku. Sekarang.”
---
Di dalam ruangan Marco, udara dingin AC terasa kontras dengan panas yang menguar dari tubuh Althea.
Ia berdiri dengan jarak aman dari meja kerja, sementara Marco menatapnya dari sisi lain ruangan ,bahunya sedikit tegang.
“Anda tidak perlu membela saya seperti itu,” ucap Althea pelan.
Althea kembali berbicara dalam Mode on Bawahan dan Atasan
Marco berjalan pelan menghampiri.
“Aku tidak membela ,aku hanya melindungi milikku.”
Althea terhenyak ,kemudian mengangkat dagu.
“Saya bukan milik siapa pun.”
Tatapan Marco menggelap, namun bukan karena marah. Justru sebaliknya ,ada bara dalam matanya.
Langkahnya mendekat. Satu. Dua. Tiga.
Sekarang hanya ada beberapa jengkal di antara mereka.
“Belum,” bisik Marco.
“Tapi kau harus tahu... aku paling tidak suka berbagi.”
Tangannya terulur, menyentuh helai rambut Althea yang jatuh ke bahu. Gerakan itu lembut, namun mengandung kepemilikan yang menggetarkan.
“Apalagi sesuatu yang selalu mengganggu pikiranku. Dalam pandanganku dan dalam tidurku.”
Althea menahan napas.
“Tuan Marco...” bisiknya.
“Ya?”
“Kita tidak seharusnya seperti ini.”
“Siapa yang bilang begitu?”
“Dunia ,Kantor ,Status Anda ,Semuanya.”
Marco menyentuh dagunya ,membuat wajah cantik Althea terangkat ,dan mata sebening kristal itu menatap dalam wajah Marco.
“Lalu kenapa kau belum pergi?”
Althea tidak bisa menjawab.
Saat itu, ketukan pelan terdengar di pintu.
Reno.
“Tuan Marco, ada rapat mendadak di lantai tujuh.”
“Lima menit,” jawab Marco, tanpa mengalihkan tatapannya dari Althea.
Reno mengangguk patuh dan pintu kembali tertutup.
Sekarang hanya mereka berdua. Tapi udara di dalam ruangan semakin terasa lain ,padat ,panas. Seperti bara sebelum meledak.
Marco memandang mata Althea ,lalu tubuhnya tiba-tiba condong maju.
Tangannya menyentuh pinggang Althea, menariknya lebih dekat. Tubuh mereka kini bersentuhan ,napas mereka menyatu.
“Jika aku menciummu... apa kau akan pergi?”
Althea membeku. Jantungnya berdebar tak karuan. Ia ingin menjawab, tapi bibirnya kelu.
Tangannya mengepal di sisi dress nya, badan nya menggigil.
Marco menunggu ,matanya tajamnya sama sekali tak berkedip.
Hingga akhirnya...
Cup.
Bibir Marco menyentuh bibir ranum Althea
Bukan ciuman lembut.
Bukan juga sekadar sentuhan.
Ciuman itu mendalam ,menuntut. Menyerap udara dari paru-parunya dan membakar setiap denyut darahnya.
Althea terkesiapn,matanya membola. Tangannya berusaha mendorong dada Marco, tapi seperti mendorong dinding baja.
“Tuan Marco...” suaranya serak. “Lepas!”
Tapi Marco tidak melepaskannya. Justru semakin dalam ****** bibir Althe ,tangannya mulai menjalar ke punggung Althea, menyentuh resleting dress nya. Membuat tarikan napas Althea tertahan.
Sial ,Bibirnya sangat manis namun terasa kaku ,Lebih dari yang pernah kusentuh. Gumam Marco dalam hati, matanya terpejam, menikmati rasa itu.
Tiba-tiba ..... Brugh!
Althea mendorong tubuh Marco sekuat tenaga. Pria itu mundur selangkah.
Althea terengah. Matanya berkaca-kaca.
belum sempat Althea berkata....
“Masih ada waktu ,Kapan pun aku mau,” kata Marco tenang.
“Kenapa?” tanya Althea, nyaris berbisik.
Marco mendekat lagi, tapi kali ini tidak menyentuh. Hanya menatap tajam.
“Karena aku ingin kau tahu, kau milikku. Dalam sadar... dan dalam luka.”
Lalu dia berjalan ke pintu. Sebelum keluar, ia menoleh.
“Satu hal lagi ,mulai sekarang, kau harus memberiku madu dari bibir ranum mu itu... kapan pun aku mau. Karena itu... sangat memabuk kan.”
Pintu menutup ,dengan hilangnya bahu tegap itu dari pandangan Althea.
Althea berdiri mematung ,nafasnya masih belum teratur. Jantungnya seolah belum kembali ke tempatnya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Althea merasakan ciuman pria.
Marco Dirgantara. Sang CEO dingin dan berbahaya.
Dia... mengambil ciuman pertamaku ,desisnya.
Althea menatap cermin kecil di dinding ,bibirnya masih bergetar.
Tolong jangan terulang lagi... meskipun... rasanya tidak mungkin.