Elena Ivor Carwyn hidup sebagai Duchess yang dibenci, dihina, dan dijadikan pion dalam permainan politik kaum bangsawan. Namun ketika hidupnya direnggut secara tragis, takdir memberinya kesempatan kedua kembali satu tahun sebelum kematiannya. Kali ini, Elena bukan lagi wanita naif yang mudah dipermainkan. Ia bertekad membalikkan keadaan, mengungkap pengkhianat di sekitarnya, dan melindungi masa depan yang pernah dirampas darinya.
Namun di balik senyuman manis para bangsawan, intrik yang lebih mematikan menanti. Elena harus berhadapan dengan konspirasi kerajaan, perang kekuasaan, dan rahasia besar yang mengancam rumah tangganya dengan Duke Marvyn Dieter Carwyn pria dingin yang menyimpan luka dan cinta yang tak pernah terucap. Di antara cinta, dendam, dan darah, Elena akan membuktikan bahwa Duchess Carwyn bukan lagi pion melainkan ratu di papan permainannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KazSil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perdebatan
Hanya dalam dua hari, Rowen bersama para kesatria berhasil menyeret pria-pria mabuk yang hampir menodai Elena dan Myra.
Di sebuah tempat tersembunyi, jauh di balik hutan yang berada di belakang mansion Carwyn, suasana begitu pekat. Cahaya obor yang redup menjadi satu-satunya penerang di ruangan itu, menimbulkan bayangan bergetar di dinding-dinding batu yang lembap.
Para pria itu dipaksa berlutut. Tangan dan kaki mereka terikat kuat, wajah mereka pucat pasi, sementara kesatria berdiri tegak di belakang, pedang dingin teracung tepat di leher masing-masing. Rasa takut begitu nyata keringat bercucuran, napas mereka tersengal, dan tubuh gemetar menahan teror.
Suara langkah berat bergema dari lorong. Setiap dentuman sepatu seolah menggedor jantung mereka yang sudah hampir copot. Saat sosok itu muncul, hawa dingin seketika menyelimuti ruangan.
Mervyn Dieter Carwyn.
Tatapan matanya tajam bagai bilah pedang, penuh ancaman yang tak butuh kata-kata untuk menancap ke jiwa. Ia berhenti beberapa langkah di depan para tahanan, menatap mereka.
“Jadi kalian,” ucapnya rendah, suaranya berat dan menusuk.
Salah satu pria memberanikan diri membuka suara, suaranya bergetar. “Tu-tuan... kami tidak tahu... kami hanya—”
Mervyn mentap tajam kepada pria itu, membuat pria itu langsung membeku tidak melanjutkan perkataannya.
Ruangan hening. Hanya suara dedaunan bergesekan di luar, dibawa angin malam, yang terdengar samar.
Mervyn melirik Rowen. “Sudah kau temukan siapa yang menolong mereka malam itu?”
Rowen menunduk. “Belum, Tuan. Tapi beberapa saksi menyebut pria itu bukan penduduk setempat. Sepertinya orang luar.”
Mervyn terdiam sesaat, pikirannya penuh perhitungan. Bibirnya melengkung samar, lebih menyerupai ancaman ketimbang senyum. “Kalau begitu, urus mereka. Baru kita cari yang satu itu.”
Ia lalu menunduk sedikit, menatap salah satu pria yang berlutut. “Kalian ingin hidup?”
Pria itu mengangguk cepat, air mata menetes dari sudut matanya.
Mervyn menyeringai tipis, senyum yang lebih menyerupai ancaman daripada hiburan. Ia memberi isyarat singkat pada para kesatria, lalu berbalik melangkah keluar.
Sesaat setelah pintu kayu berat itu tertutup di belakangnya, suara teriakan mengguncang udara. Jeritan-jeritan putus asa bergema, bercampur dengan dentingan rantai dan bentakan kasar para pengawal. Namun, tak seorang pun tahu pasti apa isyarat yang baru saja diberikan Mervyn atau bagaimana nasib akhir pria-pria mabuk itu.
…
“T-tuan…” Seorang pelayan pria muncul terburu-buru dari arah lorong, napasnya terengah-engah saat menunduk hormat di hadapan Mervyn. “Nyonya… mencari Anda.”
Tak lama kemudian, kepala pelayan ikut menghampiri, wajahnya penuh keraguan. “Tuan, bukankah lebih baik membiarkan Nyonya keluar dengan penjagaan ketat? Sudah dua hari beliau bersikeras ingin pergi, tapi selalu ditolak.”
Ekspresi Mervyn mengeras. Sorot matanya dingin, jelas menyembunyikan rasa kesal yang menumpuk. Rahangnya menegang sebelum akhirnya ia bertanya singkat, suaranya rendah dan berat
“Di mana dia?”
...
Elena duduk di kursi tamu di dalam ruang kerja Mervyn. Ruangan itu masih dipenuhi cahaya temaram dari lampu dinding, aroma kertas tua dan tinta memenuhi udara. Di atas meja besar penuh dokumen, ada cangkir teh yang sudah lama mendingin tanda ia sudah lama menunggu.
Jemarinya mengetuk pelan lututnya sendiri, gugup sekaligus gelisah.
Pintu kayu berat itu berderit terbuka.
Elena sontak menoleh. Sosok tinggi Mervyn memasuki ruangan, sorot matanya tajam ketika melihat Elena.
Elena berdiri cepat. "Aku... ingin bicara denganmu."
“Jawabanku tetap sama. Tidak.” Suara Mervyn cepat dan tegas, seolah tak memberi celah.
Elena mengepalkan jemarinya. “Aku hanya ingin pergi ke toko makanan manis. Kenapa tidak boleh?”
“Benar, hanya toko makanan manis,” balas Mervyn, matanya menyipit. “Tapi kenapa kau begitu bersikeras untuk keluar? Ada apa sebenarnya?”
Lidah Elena kelu. Ia tidak bisa langsung menjawab.
Mervyn mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya rendah namun menekan. “Katakan. Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan?”
Elena menarik napas, lalu menjawab pelan tapi mantap, “Aku tidak akan melakukan apa pun. Aku hanya ingin membeli beberapa makanan manis.”
“Katakan pada kepala pelayan apa saja yang kau inginkan. Mereka akan membelikannya.” Balas Mervyn cepat.
Elena menggeleng, suaranya meninggi penuh tekad. “Tidak mau. Aku ingin pergi sendiri.”
“Elena!” suara Mervyn tiba-tiba keras, menggema di ruangan.
Tubuh Elena menegang, jantungnya berdegup kencang. Tapi ia berusaha menahan gemetar, menatap lurus meski sorot matanya sedikit bergetar. “Apa,” balasnya pendek, berusaha terdengar berani. “Kalau kau terus menahanku seperti ini, aku tetap akan memaksa untuk pergi.”
Mervyn melangkah semakin dekat. Aura tekanannya makin kuat. Tatapannya menusuk, seolah hendak menelan Elena bulat-bulat. “Apa kau… melawanku?”
Elena ingin mundur, namun menahan diri. Ia mengumpulkan keberanian terakhir, menegakkan dagunya, lalu menjawab tegas meski ada gemetar di suaranya. “Iya.”
Tanpa menunggu reaksi, ia berbalik. Gaunnya berayun tajam ketika langkahnya meninggalkan meja kerja.
“Elena!” panggil Mervyn, kali ini suaranya lebih dalam, setengah peringatan, setengah panik.
Namun Elena seolah tak mendengar. Ia membuka pintu ruang kerja dengan tangannya sendiri, lalu melangkah keluar tanpa menoleh sedikit pun.
...
Mervyn berdiri mematung di tempatnya, sorot matanya gelap. Ujung jarinya mengepal, sendi-sendi tangannya memutih karena terlalu kuat menahan emosi.
Amarah dan ketakutan bercampur menjadi satu di dadanya. Ia tidak tahu apa yang lebih mendominasi rasa ingin menahan Elena sekuat mungkin, atau rasa takut bahwa wanita itu mungkin terluka lagi.
Tiba-tiba, ia menghempaskan tangannya ke meja. Braak! Suara keras menggema, kertas-kertas berhamburan.
Ia menunduk, rahangnya terkatup kuat. Tatapannya berkilat penuh gejolak.
...
Pagi datang dengan sinar lembut yang menerobos kaca jendela besar ruang makan. Meja panjang sudah tertata rapi dengan roti hangat, sup daging, dan buah segar. Namun, kursi di sisi kanan Mervyn kosong.
Seorang pelayan wanita mendekat, menunduk sopan sambil berkata hati-hati, “Tuan… Nyonya menyampaikan pesan bahwa beliau akan sarapan di kamarnya.”
Genggaman garpu di tangan Mervyn berhenti sejenak. Tatapannya menajam, garis wajahnya menegang.
Rowen yang berdiri di sisi ruangan, memberanikan diri bersuara sambil mengangkat alis. “Sepertinya… Nyonya sedang marah,” ucapnya setengah bercanda.
Tatapan Mervyn langsung beralih ke arahnya. Tajam. Membeku. Membuat Rowen menutup mulut seketika, menunduk cepat sebelum hawa dingin itu semakin menusuk.
Suasana ruang makan kembali hening, hanya terdengar bunyi pisau yang dipaksa mengiris daging dengan gerakan kasar.
…
Beberapa saat kemudian, Mervyn berdiri di depan pintu besar, bersiap meninggalkan mansion untuk urusan pekerjaannya. Jubah hitamnya menjuntai, bayangan panjangnya jatuh di lantai marmer.
Namun sebelum melangkah keluar, ia berhenti. Pandangannya sempat beralih ke lantai atas, ke arah kamar Elena berada. Ada pergulatan yang jelas di sorot matanya keras kepala yang bertabrakan dengan sesuatu yang lebih lembut.
Akhirnya, dengan suara berat tapi tegas, ia berkata pada kepala pelayan yang menunduk menunggu instruksi,
“Sampaikan pada Elena… kalau dia ingin pergi keluar, dengan syarat harus ditemani para kesatria.”
Kepala pelayan membungkuk dalam. “Baik, Tuan.”
…
Di kamar, Elena baru saja selesai menyentuh bibir cangkir tehnya ketika pintu diketuk pelayan wanita. “Nyonya, saya diutus untuk menyampaikan pesan dari Tuan.”
Elena menoleh.
“Beliau berkata… Anda boleh pergi keluar. Tapi harus ditemani para kesatria.”
Cangkir di tangan Elena nyaris bergetar. Tatapannya kosong beberapa detik, lalu perlahan bibirnya tertarik bukan senyum penuh, melainkan sesuatu yang lebih samar, campuran lega sekaligus rasa tak percaya.
‘Dia… mengalah?’