Wen Yuer dikirim sebagai alat barter politik, anak jenderal kekaisaran yang diserahkan untuk meredam amarah iblis perang. Tetapi Yuer bukan gadis biasa. Di balik sikap tenangnya, ia menyimpan luka, keberanian, harga diri, dan keteguhan yang perlahan menarik perhatian Qi Zeyan.
Tapi di balik dinginnya mata Zeyan, tersembunyi badai yang lambat laun tertarik pada kelembutan Yuer hingga berubah menjadi obsesi.
Ia memanggilnya ke kamarnya, memperlakukannya seolah miliknya, dan melindunginya dengan cara yang membuat Yuer bertanya-tanya. Ini cinta, atau hanya bentuk lain dari penguasaan?
Namun di balik dinding benteng yang dingin, musuh mengintai. Dan perlahan, Yuer menyadari bahwa ia bukan hanya kunci dalam hati seorang jenderal, tapi juga pion di medan perang kekuasaan.
Dia ingin lari. Tapi bagaimana jika yang ingin ia hindari adalah perasaannya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sungoesdown, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Healer
"Kau hebat," Qi Zeyan memulai, suaranya rendah, tapi menggigit. Ia mengambil beberapa langkah, memutari meja kerjanya dan berjalan mendekat. "Bukan hanya menghilang diam-diam, kau juga berhasil membuat dua saudara bertengkar karenamu."
Yuer tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya tegak, matanya menatap lantai dan tidak menjawab.
Zeyan menghentikan langkahnya beberapa jengkal dari Yuer.
"Tidak ada penjelasan?" tanyanya tajam.
Masih tak ada jawaban.
"Kau bahkan tidak berpikir untuk menjelaskan, hanya diam?"
"Apa kau ingin aku minta maaf?" Yuer akhirnya bersuara, lirih tapi tegas. Ia mengangkat wajahnya. "Kalau iya, aku minta maaf. Tapi aku tidak menyesal."
Zeyan mengerutkan alis. "Tidak menyesal pergi tanpa izin?"
Yuer menatapnya lurus. "Aku hanya ingin bernapas."
Seketika, jarak antara mereka menyusut saat Zeyan melangkah mendekat, hanya sejengkal dari wajah Yuer. Bayangannya menutupi cahaya di belakang mereka.
"Kau pikir di dunia ini, wanita sepertimu bisa bernapas dengan bebas?" suaranya dingin. "Kau tahu berapa banyak musuh mengincar lehermu?"
Wanita sepertimu..
Yuer bergeming. "Kalau mereka ingin membunuhku, mereka akan tetap melakukannya. Bahkan di dalam bentengmu yang megah. Wanita sepertiku pun tidak bisa memiliki sedikit kesenangan, ya."
Zeyan menahan napas. "Kau benar-benar tidak takut mati ya? Kau selalu berhasil mengejutkanku, Wen Yuer."
"Tapi aku tidak akan membiarkanmu mati semudah itu." Ada kekerasan dalam nada bicaranya.
Ia menghentikan diri. Rahangnya mengeras. Napasnya cepat, dan dadanya naik turun seolah ada sesuatu yang mendidih tapi tertahan.
Yuer menunduk, entah mengapa merasa tertikam oleh nada itu. "Tentu, kau adalah malaikat mautku."
Zeyan terkesiap.
Lalu ia terkekeh pendek. Matanya menggelap.
Ia menyentuh pelipis Yuer dengan dua jari, lembut tapi mengancam. "Kau tidak salah untuk itu, tapi musuhku bukan hanya ayahmu dan kekaisaran. Orang luar akan mengira kau kekasihku dan kau bisa diburu oleh mereka untuk menghancurkanku melaluimu, nyawamu akan menghilang sia-sia hanya karena kesalahpahaman."
Yuer menahan napas. Suara jantungnya membentur keras dinding dadanya.
Zeyan membungkuk lebih dekat, bisikannya seperti racun dan madu di telinga Yuer. "Tapi seharusnya aku tidak peduli, bukan? Kau seharusnya tidak membuatku merasa seperti ini, Wen Yuer. Ini tidak adil."
Dan sebelum Yuer bisa berkata apa pun, ia berbalik dan pergi meninggalkan ruangan. Meninggalkan Yuer berdiri sendiri di tengah badai emosinya.
Di luar ruangan, angin malam menampar pelan wajah Zeyan. Tapi yang berputar dalam kepalanya hanya satu, tatapan Yuer yang tidak pernah menghindar darinya, bahkan ketika ia sedang marah.
Itu membuatnya gila.
Dan ia takut.
Takut karena semakin dalam ia tenggelam, semakin sulit baginya untuk sekadar melepaskan.
...
Keesokan harinya, Wen Yuer masih memikirkan ucapan Qi Zeyan semalam. Sikapnya yang aneh dan tatapannya yang sialnya tak bisa Wen Yuer singkirkan dengan mudah di kepalanya.
Wen Yuer melangkahkan kakinya entah kemana, dia hanya terus berjalan hingga suara gaduh dari arah gerbang benteng membuat halaman utama kacau. Dua prajurit berlari sambil membawa seorang pria dengan luka parah di dada dan perut. Darah membasahi jubahnya, dan matanya telah setengah tertutup.
Han Zichen muncul. "Siapa dia?"
"Tuan Han Lin, Jenderal!" jawab salah satu prajurit. "Ia kembali dengan luka tusuk. Sepertinya... dari pedang beracun!"
Mata Han Zichen terbuka lebar dan melihat sendiri adiknya yang berdarah.
Tabib benteng segera didatangkan dan membawa pria itu ke ruang pengobatan. Beberapa perwira dan penjaga berkumpul, termasuk Yuer yang melihat keributan dari jauh.
Namun saat ia hendak masuk berniat membantu, sebuah insting seorang yang menyembuhkan orang-orang bertahun-tahun, namun seorang penjaga mencegahnya.
"Anda tidak boleh masuk."
Yuer mengangkat alis. "Kenapa?"
"Karena Anda bukan bagian dari penyembuh disini... dan Anda bukan orang yang dipercaya."
Yuer tidak menjawab. Ia tahu benar makna dari penolakan itu.
Namun waktu berjalan, dan suara panik dari ruang pengobatan semakin parah. Tabib utama keluar dengan wajah pucat.
"Racunnya tidak dikenal. Luka tidak terlalu dalam, tapi pembuluh darah di sekitar luka menghitam. Jantungnya mulai melemah. Saya rasa, saya tidak bisa menanganinya."
Han Zichen menggertakkan gigi.
Seorang penjaga lain berbisik pelan, "Kalau dia mati, informasi yang dia miliki juga akan hilang."
Akhirnya, Zichen menoleh ke arah pintu masuk dan berkata, "Biarkan dia masuk."
Tak lama kemudian, Yuer masuk. Ia langsung mengambil alih tanpa menunggu instruksi begitu melihat kondisi pria yang terbaring tak berdaya itu.
"Tolong siapkan air hangat. Dua mangkuk."
Ia mengeluarkan beberapa bungkusan kecil dari dalam lengan bajunya. Campuran daun dan bubuk. Setelah melihat luka lebih dekat, ia mendesis.
"Pedangnya dilumuri racun darah beku. Jenis ini tidak menyerang cepat, tapi mengikis fungsi jantung sambil mempercepat pendarahan dalam."
"Bisa diselamatkan?" tanya Zichen, dingin.
"Aku belum pernah menangani hal seperti ini, tapi aku pernah melihat guruku melakukannya."
Ia segera mulai menempelkan ramuan, menusukkan beberapa jarum untuk memperlambat peredaran racun, dan mengoleskan salep khusus di titik-titik nadi. Tangannya tidak gemetar, meski ada belasan mata memperhatikan.
Waktu berlalu. Nafas si mata-mata tetap pendek dan berat, tapi detaknya kembali stabil sedikit demi sedikit.
Salah satu prajurit berbisik pelan, "Apakah dia... baru saja menyelamatkannya?"
Zichen mendekat. "Apa kau bisa memastikan dia akan bangun?"
Yuer menatapnya datar. "Kau terlihat meragukanku."
Zichen tidak menjawab, tapi matanya mengamati Yuer lama sebelum akhirnya berkata, "Kau bukan sekutu."
Yuer mengeluarkan senyum tipis. “Apa aku terlihat berbahaya?”
"Wanita bisa menjadi senjata berbahaya yang tidak terduga."
Yuer mengangguk. "Kau benar. Mudah untuk menyembunyikan racun di balik tubuh yang terlihat lemah ini. Tapi tenang saja, aku belum ingin mati."
"Dia akan bangun, butuh beberapa waktu sampai racunnya keluar sepenuhnya."
Han Zichen memicingkan matanya kemudian tangannya terulur ke arah pintu.
"Kau sudah selesai disini, silakan keluar."
Meninggalkan pasien yang belum sadar bukanlah hal yang bijak dilakukan oleh seorang tabib. "Tapi dia belum sadar."
"Ada orang lain yang akan menunggunya."
"Tap–"
"Silakan. Nona Wen." Zichen terus menunjuk arah pintu.
Bibir Wen Yuer mengerut menahan kesal tapi tak punya pilihan selain melangkahkan kakinya keluar.
Namun, belum selesai di situ.
Beberapa jam kemudian, saat hari mulai condong ke sore dan langit memerah, Yuer kembali datang ke ruang pengobatan. Tabib sudah tidak berada di situ, hanya satu penjaga yang bertugas dan mengangguk diam padanya.
Pria yang ia selamatkan masih belum sadar, tubuhnya lemas, tapi dadanya naik turun perlahan. Luka tusuknya telah dibersihkan, tapi dari bekas jahitannya merembes cairan berwarna gelap, bercampur dengan sedikit darah.
Yuer duduk di bangku kecil di sisi ranjang dan menghela napas pelan. Ia mengambil kain bersih dari lengan bajunya, lalu dengan perlahan memipil cairan yang menggenang di sekitar luka. Tangannya bekerja hening, seperti ritual yang telah ia jalani bertahun-tahun.
Beberapa pelayan muda hanya mengintip dari kejauhan. Bisik-bisik kembali terdengar.
"Dia tidak menyerah ya, terus datang ke sini."
"Aku dengar dia anak jenderal."
"Kenapa dia bisa tahu soal racun itu? Aneh..."
Yuer mendengar semuanya, tapi tak menanggapi. Matanya fokus, wajahnya tenang.
Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar dari lorong. Yuer tahu siapa itu bahkan sebelum pintu terbuka.
Qi Zeyan masuk bersama tabib utama.
Matanya langsung menangkap sosok Yuer yang duduk di sisi tempat tidur, masih memegang kain basah di tangan.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya. Nada suaranya sedikit tajam, seperti ujung pedang yang belum sepenuhnya disarungkan.
Yuer berdiri dengan tenang, menyeka tangannya dengan kain. "Memeriksa pasienku."
Zeyan menajamkan tatapannya. "Dia bukan pasienmu."
Yuer menatap balik tanpa takut. Tapi kemudian ia menoleh pada tabib utama dan berkata santai, "Lukanya akan terus mengeluarkan cairan selama dua sampai tiga hari. Kalau tidak rutin dibersihkan, akan menjadi tempat tumbuhnya racun kedua. Gunakan kain bersih setiap empat jam. Campur air rebusan biji jingtan dan akar lamiu untuk menekan sisa racunnya."
Tabib itu mengangguk cepat. "Baik, Nona Wen. Akan kami lakukan."
Qi Zeyan masih menatapnya, tapi tidak lagi berkata.
Yuer tersenyum tipis. "Kalau kau sangat marah padaku karena semalam, jangan libatkan hal lain. Zichen memberi izin untuk mengobatinya."
Zeyan hanya diam menatap Wen Yuer yang membungkuk kecil, lalu berjalan keluar ruangan dengan tenang.
Zeyan menatap punggungnya sampai menghilang di balik pintu.
"Wanita yang unik," gumamnya.
Tabib itu menoleh. "Nona Wen memang sangat luar biasa, Tuan. Masih sangat muda tapi, dia tahu apa yang dia lakukan.”
"Dia bekerja dengan cepat dan bahkan tanpa ragu, pengetahuannya tentang racun yang saya sendiri tidak mengenali racun itu sungguh luar biasa. Mungkin Nona Wen pernah mempelajari ilmu penyembuhan dari seseorang yang luar biasa tentunya."
Qi Zeyan tidak menjawab. Tentu dia mengetahuinya, dia sudah mengirim orang secara khusus untuk mencari tahu tentang Wen Yuer setelah gadis itu mengobatinya di hutan. Bahwa Wen Yuer adalah putri Jenderal Wen yang dirumorkan tak pernah diijinkan keluar. Juga seorang putri bangsawan yang memiliki bakat alami penyembuhan sehingga mampu mempelajari ilmu penyembuhan dengan cepat.
Pria itu menatap luka di dada bawah mata-mata mereka, yang kini perlahan mulai menunjukkan warna hidup.
Satu sudut bibir Qi Zeyan naik membentuk senyum yang terlihat seperti seringai tipis. Sebuah pemahaman diam-diam bahwa Wen Yuer memang tidak seperti putri bangsawan lain.
Di luar, angin berhembus pelan. Yuer berjalan melewati lorong panjang menuju kamarnya. Dalam hatinya, ia tahu hari ini ia telah menunjukkan bahwa ia bukan hanya sekadar tamu politik.
Ia bukan alat.
Ia adalah ancaman. Seorang putri bangsawan yang diberikan pada seorang 'iblis' seolah hidupnya tidak berharga yang dikira tidak berguna kini menunjukkan bakatnya.
"Tidak mungkin kan aku biarkan dia mati? Hati nuraniku tidak akan mampu menanggung rasa bersalah yang seharusnya bukan milikku."
Kabarnya akan tersebar ke seluruh dewan Qi Zeyan. Situasi tadi mungkin akan membuat mereka mencurigainya, dibanding menghilangkan kecurigaan.
"Kurasa tempat ini akan menjadi kematianku, tapi kalau aku beruntung, mungkin aku akan aman disini." Yuer menghela napas, "mari kita hindari sorotan, Wen Yuer." Ucapnya pada diri sendiri.
susunan kata nya bagus